Bapak Aya tampak sedang sibuk mengelap mobil di teras rumah. Lelaki bernama Sajid Kemal itu tampak melakoni pekerjaannya dengan senang hati. Tangan yang mulai Renta itu menyeka mobil dengan telaten. Sesekali ia juga bersiul ria. Segelas kopi tampak masih mengepulkan asap di atas pelataran teras. Rutinitas paginya sejak sepuluh tahun yang lalu tidak berubah. Ia masih setia menjadi sopir pribadi sang tuan besar, Handoko Sanjaya yang tak lain merupakan temannya dulu ketika masih SMA.
Sajid Kemal alias bapaknya Aya masih sibuk mengelap mobil itu dan tidak menyadari kehadiran sang tuan besar yang kini memerhatikannya.
“Kamu terlihat senang sekali!” sergah Handoko.
Sajid sedikit tergelinjang kaget. “Eh. T-Tuan! Anda sudah siap ternyata.”
Bapak Aya buru-buru membukakan pintu belakang, tapi kemudian Handoko malah menggelengkan kepala dan menunjuk ke pintu depan.
“Tuan mau duduk di depan?”
“Iya. Cepat buka pintunya.”
Sajid segera membukakan pintu. Setelah Handoko masuk, ia menutup kembali pintu itu, lalu kemudian bergegas pula masuk duduk di kursi kemudi.
“Langsung ke kantor Tuan?” tanyanya.
Handoko mengembuskan napas panjang. “Iya. Tapi pelan-pelan saja.”
“Baik Tuan!”
Mobil itu pun mulai melaju keluar dari kediaman Sanjaya. Sosok ayah Alfian itu terlihat lelah. Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan mencoba memicingkan mata. Suara helaan napasnya terdengar jelas sekali. Sesekali Sajid yang duduk di sampingnya melirik temannya di masa lalu itu. Saat masih SMA, Sajid adalah kacungnya Handoko. Sajid selalu disuruh ini dan itu. Akan tetapi hubungan itu menganut sistem mutualisme. Saling memanfaatkan satu sama lain. Jujur saja … kalau bukan karena bantuan Handoko, Sajid mungkin tidak akan bisa menamatkan pendidikannya saat SMA. Saat itu Handoko selalu mempunyai uang jajan yang sangat banyak. Sajid akhirnya ikut kecipratan. Dia akan mendapatkan upah setiap kali ada perintah dari Handoko. Uang yang ia kumpulkan bisa cukup digunakan untuk membayar uang SPP sekolah kala itu
Setelah tamat SMA, keduanya terpisah. Handoko menyambung kuliahnya di Belanda. Sementara Sajid mulai berjuang menyambung hidupnya dengan bekerja.
Sebuah perbedaan yang sangat besar memang.
Sampai kemudian Handoko bertemu lagi dengan Sajid secara tidak sengaja kurang lebih sepuluh tahun lalu. Kala itu mobil Handoko mendadak rusak di jalan. Padahal saat itu ia harus bergegas pergi ke suatu tempat untuk urusan pekerjaan. Handoko akhirnya memanggil sebuah ojek yang nangkring di pangkalan dan ternyata…
Sosok itu adalah Sajid, teman lamanya.
Pertemuan itu akhirnya membuka kembali silaturrahmi antara mereka berdua. Saat itu Handoko juga menawarkan pekerjaan sebagai supir pribadi. Tentu saja Sajid langsung menerimanya. Sajid pun melakoni pekerjaan itu dengan sepenuh hati. Karena dia sudah mengecap pahitnya bekerja serabutan di sana-sini. Pekerjaan sebagai supir terasa mewah bagi orang sepertinya. Sajid juga selalu menghormati Handoko sebagai majikannya, meskipun mereka sebaya dan juga teman lama.
Dan itulah yang membuat hubungan mereka tetap baik hingga detik ini.
Mobil itu terus melaju pelan sesuai perintah Handoko. Sosok tuan besar itu kemudian membuka matanya pelan, lalu mengembuskan napas kasar.
Sajid melirik pelan. “Pagi ini anda terlihat sedikit lelah.”
Handoko mengangguk. “Ya, saya memang lelah sekali karena kelakuan Alfian. Setiap hari anak itu selalu saja berulah. Benar-benar melelahkan. Dalam sebulan ini saja, saya harus bolak-balik ke sekolahnya sebanyak delapan kali. Anak itu selalu membuat ulah dua kali dalam seminggu.”
Sajid sedikit tergelak, tapi kemudian dia langsung mengkondisikan raut wajahnya.
“Ehem. Wajar saja, dia sedang di masa peralihan. Anak usia segitu memang sedang bandel-bandelnya. Lagipula buapaknya buandel … ya, anaknya buandel juga wajar toh!”
Handoko menatap sengit. “Apa kamu bilang barusan?”
Deg.
Sajid tersadar. “M-maaf Tuan. Saya tidak bermaksud….”
Handoko mengembuskan napas kasar, lalu melirik Sajid lagi. “Putri kamu sendiri bagaimana? Naya? Siapa itu namanya, saya lupa.”
“Cahaya.”
“Nah, bagaimana kabar Cahaya sekarang?”
Sajid tersenyum. “Saya juga capek sama putri saya itu.”
“Capek? Apa dia nakal juga?”
“Saya capek karena dia ndak pernah bikin masalah. Kadang saya yang suruh-suruh dia biar keluyuran sama teman-temannya. Tapi anak itu malah ndak mau. Dia malah belajar di rumah. Setiap menerima rapor saya juga tidak kaget lagi, soalnya dia selalu juara 1 di kelasnya,” jawab Sajid.
Jawaban itu membuat Handoko menatap sengit.
“Dan kamu capek karena itu semua?”
Sajid terkekeh.
“Katanya anak usia segitu bandel semua. Gimana, sih?” Handoko mendumel lagi.
Sajid terkekeh pelan. “Hehehe … anak saya yo, ndak!”
Handoko tersenyum pelan. Ternyata dibalik sikap cueknya, dia masih memikirkan Alfian. Tampaknya sang tuan besar sengaja tidak terlalu menunjukkan perhatiannya untuk menjaga perasaan sang istri baru dan juga anak sambungnya.
Keadaan kemudian berubah hening. Raut wajah Sajid yang tadi ceria juga tiba-tiba berubah murung. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Lah, kenapa wajah kamu jadi loyo? Tadi kamu terlihat angkuh sekali menyombongkan putri kamu dengan gaya,” sergah Handoko.
Sajid tersenyum canggung. “Ndak sih. Saya hanya merasa bersalah sama putri saya. Soalnya saya ndak bisa menjadi ayah yang baik buat dia. Saya ndak pernah bisa mencukupi kebutuhan dia. Terakhir kali dia mengatakan… dia tidak mau kuliah kalau ndak dapat beasiswa.”
Handoko hanya menyimak.
“Kamu tidak ada niatan untuk menikah lagi?” tanya Handoko tiba-tiba.
Sajid langsung tersenyum malu. “Walah. Yo ndak mungkin, to. Siapa juga yang mau sama saya dan juga … saya memang ndak pernah berniat untuk menikah lagi sejak ditinggal oleh ibunya Aya.”
Handoko terdiam.
Ibu Aya meninggal dunia tepat setelah satu jam melahirkan Aya. Terjadi komplikasi serius pasca melahirkan. Ibu Aya juga memiliki riwayat asma dan hari itu dia menyerah setelah berjuang melahirkan sang putri ke dunia.
Sajid melirik Handoko pelan. “Dan setelah melihat anda menikah lagi … saya juga jadi semakin yakin untuk ndak nambah istri.”
“KAMU MENYINDIR SAYA!” bentak Handoko.
Sajid hanya terkekeh pelan.
Handoko menatap ke jalanan di depan sana. Memang, kehidupannya semakin sulit sejak ia memutuskan untuk menikah lagi. Semua menjadi kacau. Selalu saja ada masalah. Rumah yang ia tempati pun tak lagi terasa nyaman.
“Ya … pernikahan kedua itu memang tidak mudah,” ucap Handoko kemudian.
Perjalanan itu terus berlanjut.
Handoko kembali teringat pada putri Sajid yang tadi mereka bicarakan.
“Jadi putri kamu tidak akan melanjutkan kuliahnya, jika ia tidak mendapatkan beasiswa?” tanya Handoko.
Sajid mengangguk. “Iya. Saya sendiri juga ndak mampu. Ndak punya tabungan.”
Handoko menggeleng-geleng pelan. “Saya naikin gaji kamu tidak mau. Saya kasih bonus kamu menolak.”
“Saya hanya ingin menerima gaji sesuai dengan pekerjaan dan kapasitas saya,” jawab Sajid.
Handoko tersenyum tipis. Ia lalu termenung sebentar.
“Bagaimana kalau Aya kamu pindahkan saja ke SMA yayasan saya?”
Eh.
Sajid mengerutkan keningnya. “M-maksud anda?”
“Tadi kamu mengatakan bahwa Aya selalu juara kelas, kan?”
“Iya.”
“Pindahkan saja dia ke SMA Sanjaya! Karena setiap tahunnya akan ada beasiswa untuk siswa yang berprestasi. Tunggu … saya akan menjamin bahwa Aya akan menjadi salah satu penerima beasiswa itu nanti!”
Deg.
Sajid melongo. Mobil itu bahkan sedikit berguncang karena dia kehilangan konsentrasi.
“Jadi Aya akan dapat beasiswa untuk kuliah kalau dia pindah ke SMA Sanjaya?”
“Iya. Tapi tentu saja dia juga harus menunjukkan bahwa dia layak untuk mendapatkannya. Saya rasa hanya itu yang bisa saya lakukan untuk membantu kamu! Toh, kalau pun saya kasih uang untuk biaya kuliah Aya … kamu pasti menolaknya. Iya, kan?” tanya Handoko.
Sajid meneguk ludah. Ia sedang memikirkan tawaran itu. Sajid seperti mendapatkan secercah harapan.
“Beasiswa yayasan akan lebih mudah untuk didapatkan dibanding dengan beasiswa dari pemerintah saat ini! Lebih baik kamu coba bicarakan dengan Aya,” tutur Handoko.
Sajid mengangguk-angguk pelan.
“B-baik Tuan … saya akan mencoba membicarakannya dengan Aya nanti,” jawabnya kemudian.
.
.
.
Bersambung …