Tuan Muda dan Upik Abu 6 - Senyuman Menutupi Segalanya

1473 Kata
“Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya … minggu depan sekolah kita akan mengadakan study tour ke luar kota!” “YEEEEEEEEEY …!!!” Teriakan kompak dan nyaring yang disertai suara gedebuk meja yang dipukul langsung memenuhi ruang kelas. Semua orang terlihat bersemangat dan tidak sabar menanti hari itu datang. Sosok guru berjilbab dengan senyum manis itu pun kembali berkata. “Okey … jadi hari ini Ibu akan mengabsen lagi nama-nama yang sudah mendaftar dan juga membayar biaya Administrasinya, ya!” “IYA, BUUUUUUK …!!!” Cahaya yang duduk di bangku paling depan, tepat berhadapan dengan guru yang sedang mengabsen itu tampak gelisah. Dia banyak menunduk dan hanya tersenyum setiap kali teman-temannya berteriak heboh. “Aditya Hermawan!” “Saya, Buk!” “Anggia Nila Pertama!” “Hadir, Bu!” “Bobby Agustra!” “Ikut dong, Bu.” Satu persatu nama murid yang akan mengikuti kegiatan itu mulai dipanggil satu persatu. “Ermalina!” “Ferdiansyah!” “Gilang Anggara!” “Heri Yunarko! Proses Absensi itu terus berlangsung. Setiap nama yang dipanggil mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan menjawab dengan sangat antusias. “Terakhir … Zamzami Jamil!” “Saya, Bu!” Suara gemuruh tepuk tangan kembali menggema. Wajah-wajah exited itu terpampang nyata tanpa fartamogana. Memang, kegiatan study tour ke luar kota bersama teman-teman akan menjadi moment indah di masa sekolah. Kegiatan seperti itu akan selalu terasa menyenangkan. Setiap detik akan terasa berharga. Bahkan terkadang para siswa tetap membahasnya selama berminggu-minggu setelah kegiatan itu selesai. Dan kelak … mereka juga akan membicarakannya lagi sebagai kenangan indah yang akan selalu terpatri di dalam hati masing-masing. “Baiklah … total peserta dari kelas ini adalah 35 orang dari 36 orang murid.” nada sang guru terdengar melambat saat ia menyadari bahwa itu berarti hanya ada satu orang yang tidak mengikuti kegiatan itu. “Jadi ada satu orang yang tidak ikut?” tanya sang guru. Murid-murid saling pandang, mencari-cari nama siapa yang tadi tidak disebutkan. Mereka tampak mengingat-ingat seraya heboh bertanya satu sama lain.” “Eh, satu orang … siapa, ya?” “Aku tadi nggak nyimak soalnya.” “Si Nanad bukan?” “Si Nanad mah ada tadi namanya diabsen.” Bisik-bisik itu terdengar jelas. Ibu guru itu pun juga terlihat memeriksa kembali daftar absennya. Sementara para murid masih heboh mempertanyakan satu orang yang dimaksud. Hingga tiba-tiba… Cahaya mengangkat tangannya. “Saya, Buk!” Eh. Seketika kelas berubah hening. Semua murid-murid lain tampak terkejut. “Aya …! kamu nggak ikut?” ibu guru itu juga tampak terkejut. Aya tersenyum. “Iya, Buk! Saya tidak bisa ikut karena satu dan dua hal.” Sang ibu guru tampak tertegun sejenak. Pun juga teman-teman sekelas Aya. Tidak ada yang bersuara. Semuanya tampak kaget saat mengetahui bahwa Aya tidak akan ikut bersama mereka. “Kamu sudah memikirkannya dengan baik, kan?” tanya sang guru lagi. Aya tersenyum. “Sudah, Buk. Ibu guru mengangguk tanda mengerti. “Hmmm … baiklah kalau begitu.” . . . Sepeninggal ibu guru, teman-teman sekelas Aya langsung berkerumun mengelilingi tempat duduk gadis itu. “Aya kenapa nggak ikut?” “Yah … nggak asik kalo nggak ada kamu!” “Ikut aja yuk!” Teman-teman Aya mulai menginterogasinya. Aya mengembuskan napas panjang. “Maaf ya, teman-teman. Tapi aku nggak bisa ninggalin Bapak aku sendirian.” Sunyi. Mereka terdiam mendengar alasan itu. “Tapi kamu yakin nggak apa-apa?” tanya seorang siswa berkacamata dengan rambut keriting. “Iya. Aku nggak apa-apa, kok,” jawab Aya. “Duh … aku jadi males ikut karena Aya nggak pergi.” “Aku juga!” “Aku juga!” “Aku juga deh!” Eh. Aya melotot mendengar reaksi teman-temannya itu. Seorang siswi dengan rambut dikuncir dua tiba-tiba menyeruak kerumunan itu. “Gimana kalau kelas kita nggak ikutan aja?” Aya makin melotot. “Setuju!” “Iya. Aku juga setuju!” “Boleh juga, tuh!” Aya menatap panik. Teman-temannya masih adu argumen. Sampai kemudian Aya berdiri dari duduknya dan berbicara dengan nada sedikit kencang dan keras. “TUNGGU TEMAN-TEMAN …!” pekik Aya. Hening. Suara-suara heboh itu langsung lenyap. Aya menatap teman-teman sekelasnya itu, lalu tersenyum pelan. “Kalian nggak perlu bersikap seperti ini hanya gara-gara aku,” ucap Aya dengan suara lembut. Mereka saling tatap dengan wajah ditekuk. “Kami ngerasa nggak enak aja. Masa cuma aku sendiri yang nggak ikut,” sela seseorang di balik sana. “Iya.” “Atau kalau nggak kamu ikut aja, Aya!” “IYAAAA …!” sahut yang lain serempak. “Kamu ikut aja, ya!’ “Kelas kita kan, selalu kompak!” Aya memijit pelipisnya sebentar. “Dengerin aku dulu ya, temen-temen. Aku sejak awal memang memilih untuk nggak pergi! Jadi kalian nggak perlu merasa bersalah atau pun mikirin aku. Oke! Aku baik-baik aja.” Sunyi. “Kamu yakin?” Aya mengangguk cepat. “Iya. Aku sangat yakin malah. Karena itulah … kalian nggak perlu seperti ini. Astaga … hahaha. Kalian gemes banget sih!” Suara cicit tawa kemudian mulai terdengar. Suasana ceria pun pecah kembali. Anak-anak di kelas itu kemudian saling melontarkan guyonan yang mengundang tawa. Ya … Aya memang disayangi oleh teman-teman sekelasnya. Mereka semua memberikan respect yang tinggi kepada Aya karena gadis itu memang layak mendapatkannya. Selain menjadi siswi paling pintar di sekolah, Aya juga terkenal sebagai murid dengan integritas dan jiwa sosial yang tinggi. Aya itu ibarat sosok malaikat nyata yang ada di sekolah. Murid paling bandel sekalipun akan berubah lembut saat bertemu Aya. Karena Aya memang sebaik itu. Seperti namanya … Kehadirannya selalu menerangi dan juga memberi kehangatan untuk sesama. . . . “Huuuft ….” Aya mengembuskan napas panjang. Saat ini Aya sedang duduk di dalam bilik toilet. Hanya duduk di sana untuk menenangkan diri sejenak. Perlahan sudut bibirnya melengkung. Aya merasa lega karena bisa meyakinkan teman-temannya. Tapi kemudian … Raut wajahnya berubah murung. Aya sejatinya juga ingin mengikuti study tour itu. Tapi ia sadar akan keadaan keuangan sang bapak. Terakhir kali sang bapak bahkan meminta gajinya bulan depan dimuka untuk biaya perbaikan atap rumah mereka yang ambyar diterjang angin. Kalau ia meminta, sang bapak pasti akan mengusahakannya. Namun Aya tidak ingin menyusahkan sang bapak. Aya memejamkan mata sejenak, seraya menghibur dirinya sendiri. Lama. Cukup lama ia duduk di dalam bilik toilet itu. Setelah merasa cukup tenang, barulah Aya keluar lagi. Tapi saat ia baru keluar dari pintu toilet, Aya dikejutkan oleh seorang siswa yang berdiri menantinya di sana. “D-Daus!” Aya menatap kaget. Daus menatap Aya lekat-lekat. Ia tidak bersuara, hanya menatap Aya dengan helaan napas yang terdengar tidak beraturan. “A-ada apa?” tanya Aya gugup. “Kenapa kamu bohong?” tanya Daus. Glek. Aya tersentak. “M-maksud kamu?” “Kamu barusan bohong, kan? Karena aku masih ingat jelas minggu lalu kamu pernah cerita kalau kamu ingin ikut study tour itu!” tukas Daus. Aya terdiam. “Kenapa?” tanya Daus lagi. “Aku sudah mengatakannya. Aku nggak bisa ninggalin Bapak sendirian.” Daus mengembuskan napas gusar. “Kamu mungkin bisa bohongin temen-temen yang lain, tapi kamu nggak bisa bohongin aku. Aku kenal betul bagaimana Bapak kamu … beliau pasti nggak tahu tentang hal ini. Iya kan? Kalau beliau tahu … pasti beliau yang akan memaksa kamu untuk mengikutinya!” Aya tertunduk. Daus membuka bibirnya lagi, tapi terlihat ragu untuk berbicara. “A-apa alasannya karena uang?” Pertanyaan itu membuat Aya mendongakkan wajahnya. Ia menatap Daus dengan perasaan malu yang membelit hati. Dia sungguh tidak ingin Daus melihatnya seperti itu. “Apa aku selalu terlihat menyedihkan di mata kamu?” tanya Aya. Daus mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Bukan begitu maksud aku!” “Lalu kenapa? Kenapa kamu selalu memperlakukan aku seperti ini! Terakhir kali aku tidak ikut bimbingan belajar dan kamu juga menanyakan hal yang sama. Jauh sebelum itu kamu juga membelikan buku paket saat aku hanya ingin mem-fotocopy-nya saja. Aku tau niat kamu baik … aku tahu kamu peduli … tapi … aku merasa malu! Aku tidak ingin diperlakukan seperti itu!” Aya berucap sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Daus terhenyak. Ia tertegun memikirkan kata-kata Aya. Apa itu berarti Aya merasa tidak nyaman dengan perlakuannya selama ini? Aya mengembuskan napas kasar, lalu menatap Daus yang termangu. “Apa kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti teman-teman lainnya saja?” Hening. Daus tidak menjawab sama sekali. “Aku mohon … jangan seperti ini lagi.” Aya berucap lirih, lalu berbalik pergi. Helaan napas Daus terlihat sesak. “NGGAK … AKU NGGAK BISA!” pekiknya. Deg. Aya terkejut. Langkah kakinya terhenti dan berbalik pelan menatap Daus. “Aku nggak bisa!” ulang Daus lagi. Aya menatap nanar. Ia tidak mengerti dengan maksud Daus saat ini. “Kenapa?” tanya Aya. “Kenapa kamu nggak bisa?” Daus meneguk ludah. Ia menatap Aya dengan sorot mata tajam, lalu kemudian memberikan jawabannya. “Karena aku menyukai kamu … sangat menyukai kamu ….” . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN