Tiiiiit
Dinda menoleh kebelakang melihat siapa yang datang menjemputnya di sebuah toko buku yang tidak jauh dari rumahnya.
Ketika keluar dari mobil, dia melihat Rian tersenyum ke arahnya. "Kenapa cowok ini ya Tuhan. Papi bisa ngamuk," kata Dinda mencoba terlihat ramah kepada pria itu.
Namun, ketika pria itu mendekat. Dia berusaha untuk menghindar karena tidak mungkin pergi lagi dengan Rian. "Kamu mau ke mana?"
"Aku ada urusan," kata Dinda berbohong. Padahal sama sekali dia tidak ada kesibukan untuk hari ini. Namun karena dia sudah terlanjur pergi dari rumah untuk ke toko buku, dia harus punya alasan yang lain untuk mengelabui si Rian.
"Mami tadi nyuruh aku jemput kamu. Mami kamu telepon aku,"
Dinda tersenyum walaupun sebenarnya dia sangat kesal. Maminya bisa-bisanya menghubungi Rian di waktu yang tidak tepat. "Kenapa sih Mami telepon dia segala," ucapnya di dalam hati.
"Mami bilang kamu harus pulang sama aku,"
Dinda memanyunkan bibirnya. "Tapi apakah harus?"
Rian mengangguk. "Jelas, itu yang diminta sama Mami kamu. Papi kamu lagi nggak ada di rumah," jelasnya.
"Papi ke mana?"
"Ada kerjaan di luar kota. Jadi karena nggak ada yang jagain kamu, terus kamu juga anak gadis yang paling disayang. Jadi ya udah kamu nggak usah ngelawan kalau memang orang tua nyuruhnya apa,"
"Tapi aku masih mau jalan-jalan,"
"Ke mana? Aku temenin,"
"Kamu nggak ke kantor?"
"Nemenin kamu jauh lebih baik bukan?"
Dinda terlihat kesal lalu dia mengedarkan pandangannya untuk mencari alasan untuk kabur dari pria ini. Di seberang jalan dia melihat ada penjual kentang goreng yang menjadi alasannya untuk menghindari Rian. "Aku mau beli kentang goreng bentar,"
"Nanti kita beli ditempat lain. Yang penting sekarang kamu masuk ke mobil!"
"Nggak, aku penginnya itu,"
"Masuk Dinda! Kamu pikir nggak berat bagi aku untuk menghindari orang-orang ini? Aku nggak mau ada gosip aneh-aneh nantinya,"
Dinda menurut lalu membanting pintu mobil dengan kasar karena tidak suka dipaksa.
Sedangkan Rian hanya tersenyum melihat gadis kecilnya ini marah. "Lihat saja Dinda. Aku bakalan buat kamu jatuh cinta nanti. Papi kamu mungkin nggak setuju, tapi lihat bagaimana nanti kamu yang bakalan sayang sama aku dan nggak bakalan bisa jauh dari aku," Rian bergumam di dalam hati sambil tersenyum.
Saat dia sedang sibuk menyetir. Ada saja tingkah Dinda di dalam mobil. Entah itu menonton film di ponselnya sambil menangis. Atau bahkan Dinda yang membuang tisu sembarangan di dalam mobilnya.
"Kamu kenapa? Kenapa marah sama aku? Yang nyuruh aku itu Mami kamu,"
"Terserah,"
Rian menggeleng melihat perempuan dengan rok pendek dan baju kaos sebagai atasan yang terlihat penampilannya begitu sederhana. Tapi tidak suka karena rok itu terlalu pendek dan membuat Rian ingin menutupinya. Karena bagaimanapun juga dia adalah seorang duda yang pernah merasakan bagaimana rasanya b******u dengan perempuan. Ketika melihat hal seperti ini sudah membuatnya sedikit tergoda.
"Tahan Rian. Dinda masih nggak tahu apa-apa," rutuknya pada dirinya sendiri ketika melihat Dinda yang masih santai.
Dinda bersandar lalu membuka pahanya sedikit. "Sialan, dia malah buat aku ngerasa yang enggak-enggak," rutuk Rian di dalam hatinya melihat kelakuan Dinda yang seperti itu.
Dia membuka jasnya dan meletakkan jas tersebut di atas paha Dinda. "Ini apaan?"
Rian tetap fokus melihat ke depan. "Kamu pikir dulu sebelum melakukan hal itu. Kamu itu perempuan, aku laki-laki. Kalau kamu sama pria lain, mungkin dia sudah nyerang kamu kalau kamu ngangkang kayak gitu,"
Dinda melihat ke arah bawah lalu menarik jas itu dan menutup pahanya. "Kenapa pria itu pikirannya sangat m***m?"
"Bukan m***m, tapi itu pria normal. Aku juga seperti itu, intinya kamu nggak usah kayak gitu lagi sama siapa pun kamu berhadapan. Sekalipun itu sama Papi kamu sendiri. jangan pakai rok pendek kayak gitu, nggak baik,"
"Kok ngatur? Kamu bukan siapa-siapa aku,"
Dinda yang mulai kesal. Jangankan untuk menggunakan rok mini, memakai celana pendek pun papinya tidak pernah komentar apa pun kepadanya. Kenapa justru yang komentar itu adalah orang lain.
"Mau protes? Ayo protes aja nggak apa-apa. Lagian itu karena aku peduli kok sama kamu,"
"Ingat ya pesan Papi. Kamu nggak boleh dekat-dekat sama aku!" perintah Dinda.
Ucapan Dinda itu disenyumin oleh Rian. "Aku tahu diri kok. Kamu nggak bakalan pernah direstuin sama aku,"
Dinda mengangguk. "Awalnya aku mikir kita bakalan lanjut. Tapi kamu bikin aku nggak nyaman," ucapnya di dalam hati dan menatap pria itu.
"Ada yang salah sama aku?"
Dinda menggeleng dengan cepat lalu meletakkan ponselnya di atas paha lalu mengikat rambutnya dengan gelang karet yang dibawanya.
"Mau makan bareng?" tawar Rian.
"Langsung pulang aja,"
"Oh oke," kata Rian yang kemudian berbelok ke arah yang berlawanan karena gang menuju rumah Dinda. "Kamu nggak nyaman sama aku? Kalau memang iya, aku nggak bakalan ganggu kamu. Termasuk juga nggak bakalan jemput kamu kayak gini,"
"Karena Mami yang nyuruh. Aku nggak bakalan komentar apa pun itu Rian,"
Tiba di rumah Dinda. Pria itu masuk hanya untuk berpamitan kepada Maminya Dinda. Setelah pria itu pulang, Dinda melemparkan dirinya ke sofa. "Kamu apa-apaan Dinda? Masih untung lho Rian mau jemput kamu,"
"Mami, apa-apaan sih? Kenapa malah nyuruh Rian jemput aku? Barusan aku mau pergi jalan-jalan bentar,"
"Dinda, kamu pikir Mami bakalan sembarangan nyuruh orang. Toh juga Papi kamu yang nyuruh, lagian kamu kan bilang pengin PDKT sama Rian,"
"Udah nggak Mi, Rian itu orangnya rese banget. Masa iya dia ngatur-ngatur aku nggak boleh pakai rok mini gini. Papi aja nggak pernah komentar,"
Maminya tersenyum dan duduk bersebrangan dengannya. "Mami sih nggak belain dia ya. Cuman kalau cowok udah bilang gitu, nggak suka lihat ceweknya pakai pakaian yang seksi sedikit saja terus dia marah. Itu artinya dia nggak mau kalau kamu jadi bahan tontontan gratis bagi pria lain,"
"Tapi kan aku nggak niat buat mereka gimana gitu,"
"Rian itu laki-laki. Jadi dia ngerti gimana harus jaga kamu. Nggak usah ngeyel jadi anak, Mami juga sengaja kok mau dekatin kamu sama dia. Mami oke aja tuh sama dia. Cuman Papi kamu aja yang nggak suka kalau kamu nikah sama duda,"
"Yang suka sama Rian siapa?"
"Kamu,"
Dinda menggeleng pelan. "Nggak Mami. Aku nggak mau lagi sekarang, Rian itu nyebelin,"
"Nyebelin tapi ngangenin. Selama Papi kamu berada di luar kota, nanti dia yang bakalan jagain kamu kok untuk sementara waktu. Jadi ke manapun kamu pergi, dia bakalan nemenin,"
"Mamiiiiiii," rengek Dinda sambil mencoba untuk tidak mendengarkan ucapan maminya dengan menutup kedua telinganya. Tidak percaya jika maminya akan langsung bergerak cepat seperti itu.