PESAN-PESAN TAK PENTING

976 Kata
“Loh, kamu kenapa di sini” tanya Rusdi pada sosok perempuan yang sedang meneduh di lobby gedung sekretariat yayasan yang dipimpinnya. “Iya Pak, tadi habis mengembalikan buku pada Pak Gilbert. Ngobrol lama eh hujan. Pak Gilbert nya barusan pulang,” saat akan pulang kerja hampir malam ada Wati pegawai baru bagian umum yang seharusnya beda gedung dengan Rusdi. “Kamu kenapa masih berteduh di sini?” “Saya lupa tadi enggak bawa motor, biasanya saya pakai motor, jadi saya nunggu sampai hujan agak reda baru mau pesan ojek online,” jawab Wati lancar tanpa kesan berbohong. Rusdi adalah seorang yang welas asih. Dia tentu bertanya agar bisa ada yang menemani atau mengantar karyawan nya itu. Rusdi bertekad mencari satpam guna menemani perempuan itu berteduh. “Memang kamu arahnya ke mana?” tanya Rusdi, entah mengapa dia bisa tidak ketus pada Wati kali ini. Mungkin karena kasihan sudah sore dan hujan lebat. “Ke arah Jalan Penang Pak,” jawab Wati. “Lho itu saya lewati, kamu ikut saya saja. Saya akan turunkan kamu di dekat arah rumahmu. Saya tidak akan antar sampai rumah,” Rusdi tentu menjaga agar tak ada salah paham bila ada yang melihat dia mengantarkan karyawan hingga di rumahnya. “Wah tidak usah Pak, nanti merepotkan,” tampik Wati basa basi. “Enggak merepotkan karena hanya sampai tempat terdekat dengan rumahmu, bukan sampai rumahmu. Itu hanya sekadar kelewatan saja. Dan hanya satu kali ini saja bukan untuk tiap hari,” jawab Rusdi saat melihat mobilnya sudah sampai di lobby, diambilkan oleh satpam seperti kebiasaannya setiap hari. Rusdi memang tak menggunakan jasa sopir bila hanya kegiatan rutin sehari-hari. Tak banyak yang dibicarakan dalam mobil dan seperti yang tadi Rusdi katakan, dia menurunkan Wati di halte dekat rumah kost nya. Tidak belok kiri ke arah rumah kost Wati walau masih jalan besar. Rumah Rusdi masih lurus dan dia tak mau direpotkan orang. Yang Rusdi tak habis pikir, entah bagaimana Rusdi memberikan nomor ponselnya pada Wati. Dia pikir semua karyawannya juga banyak yang punya nomor ponselnya. Kalau tak dia kasih juga Wati akan dapatkan dari karyawan lainnya. Itu saja pikiran Rusdi saat itu. ≈≈≈≈≈≈≈≈ ‘Terima kasih ya Pak saya sudah dianterin dengan selamat,’ itu pesan pertama dari Wati. Rusdi tidak menjawab. ‘Ngapain dia kirim pesan? Kan sebelum turun tadi dia sudah bilang terima kasih?’ Sehabis bersih-bersih badan, makan malam juga shalat, Rusdi langsung menghubungi Gita di Bandung. Mereka rutin melakukan komunikasi setiap malam. Mereka bertukar info apa yang telah mereka lakukan hari ini juga rencana kegiatan mereka esok hari. “A’ siapa pengganti bu Puji?” tanya Gita pada calon suaminya. Sehabis Gita wisuda S2 memang mereka akan menikah. “A’a enggak cari pengganti. Cukup Diah dan Gilbert saja lah,” balas Rusdi. “Ada pegawai baru, tapi A’a minta ke pak Mahmud suruh taruh bagian umum saja. Kalau bagian sekretariat di kasih orang baru, kan jadi acak-acakan. Kalau bagian sekretariat butuh orang, ya nanti ambil dari bagian umum yang sudah senior, bukan orang baru,” jelas Rusdi. ≈≈≈≈≈≈≈≈ ‘Selamat pagi Pak. Semoga hari ini hari yang indah dan Bapak selalu sehat untuk menjalani hari indah ini,’ Rusdi bingung pagi-pagi ada sapaan selamat pagi selain dari calon istrinya. ‘Ngapain sih ni anak?’ Rusdi masih tak ingat tadi malam dia kasih nomor ponsel miliknya gara-gara bicara apa. Rusdi malah. Rusdi memang benar lupa memberikan nomor ponsel pada Wati untuk alasan apa, benar-benar blank. “Sarapan dulu atuh Kasep,” sang AMAH, mamanya Rusdi menegur Rusdi yang membaca pesan saat di meja makan. “Iya Mah,” Rusdi meletakkan kembali ponselnya dan berbincang dengan APA’ atau papa serta mamanya. Rusdi memang masih tinggal dengan kedua orang tuanya. Tapi semua tahu begitu menikah nanti Rusdi akan pindah ke rumah yang sudah dia bangun. Tak jauh dari rumah kedua orang tuanya ini. ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Ada apa?” tanya Rusdi heran ketika dia sedang memperhatikan berkas di ruangannya ada telepon dari Wati. “Kenapa kamu berani menelepon saya?” belum juga Wati menjawab Rusdi melanjutkan pertanyaan lagi. “Maaf, maaf Pak. Ini bu Diah terjatuh dari motor,” jawab Wati. “Lalu kenapa kamu telepon saya? Kan di situ banyak orang? Minta bantuan orang sekitarlah. Kenapa saya yang dihubungi?” Rusdi jelas tak mengerti mengapa dia dihubungi karena Diah terjatuh dari motor. “Saya kasihan saja Pak, orang terdekat bu Diah yang saya kenal, kan cuma Bapak,” jawab Wati tanpa merasa bersalah. “Cari orang lain,” kata Rusdi cepat. Rusdi bingung, ada apa sih sama Wati ini kok selalu menghubungi dia. Dan kenapa Diah bisa jatuh dari motor? Sedangkan Diah itu ke kantor naik mobil. Aneh kan? ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Anda kayaknya perlu re-posisi atau apalah karyawan baru hasil rekrutanmu terakhir deh pak Mahmud,” Rusdi langsung menghubungi kepala HRD karena terganggu dengan kelakuan Wati. Bahkan sekelas pak Mahmud saja tak berani langsung menghubunginya saat jam kerja membahas hal yang bukan masalah kerjaan. Diah jatuh dari motor kan bukan urusan kepala yayasan walau Diah adalah sekretarisnya. “Ada apalagi Pak?” jawab pak Mahmud bingung. “Saya bingung mau bersikap bagaimana pak Mahmud. Ini juga baru kali ini saya alami. Wati pegawai baru tiba-tiba menelepon saya. Ini belum jam istirahat, masih jam kerja dia berani menghubungi saya cuma bilang katanya Diah jatuh dari motor. Pak Mahmud tahu kan Diah itu kerja naik mobil. Bagaimana Diah jatuh dari motor?” “Bagaimana caranya Anda ultimatum dia atau Anda pecat dia. Saya tidak mau tahu,” jelas Rusdi. Untung saat ditelepon tadi dia sedang ada di ruangannya bukan sedang meeting. Kalau sedang dengan tamu kan tidak sopan tidak menjawab telepon masuk. Diah atau Gilbert tak pernah menggunakan telepon selular bila urusan pekerjaan dalam yayasan kecuali mereka sedang tak di kantor. Gilbert dan Diah akan menghubungi dengan nomor sekretariat sehingga Rusdi tahu apa bahwa itu adalah telepon kerja. Tidak asal telepon seperti yang Wati lakukan barusan. ≈≈≈≈≈≈≈≈
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN