Bab 7. Membujuk Nalini

1633 Kata
Karena harus lembur, jadi saat jam pulang kantor Deva sengaja mendatangi ruang kerja Nalini dulu sebelum dia kabur pulang. Apa boleh buat dirinya lah yang salah, jadi nekad mencarinya kesana karena nomornya juga diblokir. Sampai lantai sebelas Deva bergegas ke ruang kerja sahabatnya itu. Tidak dengan tangan kosong, tapi membawa sekotak kue kesukaan Nalini. Berurusan dengan wanita yang sedang merajuk itu memang paling menyusahkan. Nalini itu mirip dengan mamanya. Kalau sudah ngambek susahnya minta ampun dibujuk. Jangankan ngeyel, bernafas pun tetap keliru di mata mereka. “Bu Nalini belum pulang, kan?” tanya Deva ke asisten di depan ruang kerja wakil manajer keuangan. “Belum, Pak, tapi lagi ada tamu di dalam,” jawab asisten Lini sopan. “Tamu? Siapa?” tanyanya. “Ibu Leora. Barusan datang, kok.” Deva mengernyit mendekat dan mengetuk pintu pelan. Mungkin seperti yang tadi siang Leora bilang, dia ingin menemui Nalini langsung untuk berterima kasih. Dua orang di dalam sana kompak menoleh saat dia muncul dari balik pintu. Muka Nalini langsung merengut, tapi Deva tetap mendekat dan duduk di sampingnya nyengir meletakkan kue bawaannya. “Sehari kamu cuekin aku sampai tidak doyan makan lho, Mbak Bro! Maaf, aku ngaku salah. Ya?” ucapnya mengabaikan Leora yang terdiam di depan mereka. “Siapa juga yang cuekin kamu. Minggir sana!” usirnya mendorong Deva menjauh. Sayangnya pria menyebalkan itu kembali beringsut mendekat pamer muka cengengesan. “Minggirnya nanti setelah dapat maafmu. Jantungku sudah gemetaran dari pagi belum makan. Sebentar lagi pasti pingsan!” gombalnya makin tidak masuk akal. “Terus yang tadi pagi minta dibawakan sarapan siapa?” sahut Nalini semakin mendelik. “Eh iya, lupa! Tuh kan, kamu sendiri tahu aku orangnya sering lupa ingatan. Yang semalam itu juga lupa. Beneran!” Deva mengusap tengkuknya dan tersenyum mengerjap di depan Nalini, tapi mukanya langsung kena toyor. “Gila dong!” oloknya sinis. “Ck, terserah apa kata kamu! Buka blokirannya dulu! Biar sejam sekali aku bisa minta maaf ke kamu. Masa iya aku harus sungkem dulu,” bujuknya menyenggol gemas lengan sahabatnya itu. “Boleh juga. Sini sungkem!” Nalini malah mengiyakan usulan konyol Deva Leora mengulum senyum. Baru sekali ini melihat Deva mode sok imut, karena biasanya mereka selalu bersikap formal. Pilih diam menonton, matanya tak lepas dari wajah ganteng yang tadi pagi membuatnya menjerit kaget karena tidur di sebelahnya. “Haish! Tega banget sih. Buka dulu blokirannya, Nal! Sumpah, aku nggak enak hati, nggak enak makan, dan nggak enak … hmmm?” Bingung tidak nemu kata yang tepat, Deva melempar pandang ke Leora. Niatnya mau minta bantuan, tapi Deva malah mengernyit mendapati Leora gelagapan salah tingkah setelah kepergok sedang menatap lekat ke arahnya. “Mau kue, Bu?” Nalini membuka kotak kue bawaan Deva. “Terima kasih, tapi aku masih kenyang,” geleng Leora. Bukan, sebenarnya karena dia tidak begitu menyukai coklat. “Kuenya dibuka, berarti blokirannya juga dong. Iya, kan?” todong Deva sumringah senang. “Nggak! Siapa bilang?!” sahut Nalini mengambil sepotong milles crepes coklat dan memakannya. Deva menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia masih suka heran, perempuan kalau sudah ngambek jadi luar biasa menjengkelkan.. “Jangan marah lagi ke Deva, Lini, karena biang masalahnya adalah aku. Disini aku ingin meminta maaf ke kalian berdua. Maaf, sudah merepotkan dan menyeret kalian dalam masalahku. Terima kasih juga atas bantuan kalian.” Leora benar-benar tulus sepenuh hati meminta maaf sekaligus mengucapkan terima kasihnya. Susah payah Nalini menelan kuenya, lalu meringis sungkan. Dia tahu Leora baik, tapi masalahnya dia adiknya Faris. Dekat dengan dia sama saja bunuh diri namanya. “Tidak apa-apa kok, Bu!” gelengnya, lalu memakan sisa kuenya. “Bohong banget! Kamu ngomong gitu karena sungkan, padahal dalam hati ingin mendampratnya. Tuh, mumpung orang di situ kalau mau kamu amuk!” “Haishh!” Mulut penuh Nalini sampai menyembur ke muka Deva. Leora tertawa terpingkal melihat Deva meringis jijik, sementara Nalini yang tertawa justru tersedak dan kembali muncrat ke Deva. “Jorookk!” dengus Deva kesal mendorong muka Lini menjauh. Leora mengambil beberapa lembar tisu dan memberikan ke Deva. Puas melihat teman sengkleknya kena karma, Nalini meraih ponselnya dan membuka nomor Deva yang dia blokir. “Sudah! Minggat sana! Awas kalau lain kali kamu bertingkah lagi!” ancam Nalini menunjukkan ponselnya juga tatapan penuh peringatan. “Ikhlas, nggak?” goda Deva terkeke lega. “Jelas nggak lah! Pakai nanya lagi!” sungut Nalini menyimpan ponselnya. “Saya balik dulu, ya? Mau lanjut lembur,” pamit Leora sekaligus mengingatkan Deva kalau dia juga masih punya tanggungan yang sama. Nalini mengangguk sopan. Sementara Deva beranjak bangun hendak menyusul atasannya, tapi sebelum pergi tangannya usil mengacak-acak rambut Nalini dan kabur dengan tawa puasnya. “Deva, bangsatt!” umpatnya saking jengkel sampai lupa masih ada Leora disitu. “Pulang sana! Sudah ditunggu ayangmu!” seru Deva sebelum menutup pintu. Datang sendirian, pulang bareng Leora. Mana suasana mulai sepi karena sebagian besar pegawai sudah pulang. Tinggal beberapa yang tinggal karena harus lembur. Masuk ke lift khusus, sekarang benar-benar hanya menyisakan mereka berdua. Kalau Deva masih main lirik, tidak dengan Leora yang berdiri menyandar fokus ke ponselnya. Cantik, wajahnya sama sekali tidak mirip dengan papanya ataupun kedua saudaranya. Sifatnya juga. Leora biarpun judes, tapi tetap ramah. Sampai kemudian matanya menemukan bekas cupang di leher belakang. Bibir Deva berkedut. Ingat seliar apa Leora semalam ketika mereka saling pagut di lantai kamar mandi. Begitupun ketika dia menggendongnya pindah ke tempat tidur. Biarpun Leora tidak semahir para wanita yang pernah diajaknya bermain di ranjang, tapi entah kenapa dia justru lebih menikmatinya. Buktinya Deva duluan yang melumat bibirnya. Hal yang tidak pernah dia lakukan dengan siapapun. Beringsut mendekat, tangan Deva menarik tali pengikat hingga rambut panjang Leora jatuh tergerai. Mata bulatnya terbelalak kaget menoleh ke Deva yang sudah berada tepat di sampingnya. “Menunduk gitu jadi kelihatan cupangnya. Kan nggak lucu kalau sudah terlanjur bilang pingsan karena sakit perut, tapi malah yang merah-merah lehernya!” bisik Deva lirih sambil merapikan rambut Leora yang sedikit berantakan. Mata keduanya saling tatap. Diam tanpa ucap, namun mati-matian menahan debar. Dari yang tadinya angkuh bilang akan bersikap profesional di kantor, tapi sekarang malah merangkul pinggang Leora mendekat. “Lain kali rambutnya jangan dikuncir! Kamu tidak tahu apa yang di otak pria saat disuguhi leher putih jenjangmu!” tegurnya masih tidak mengalihkan pandang dari mata Leora yang mengerjap tegang. Kurang ajarnya lagi Deva malah meremas pelan pinggang ramping Leora. Sumpah demi apa, jantung Leora berdetak menggila. Entah sejak kapan dia juga tidak tahu, tapi wangi parfum yang menguar dari tubuh Deva itu bahkan lebih Leora suka daripada wangi Gading. “Jangan kurang ajar!” desis Leora begitu kewarasannya mulai kembali. “Kenapa? Takut tidak bisa lepas?” ejek Deva. Leora menyeringai dengan senyum tipis mendekat dan membalas pria yang berusaha menggodanya ini. “Gading saja aku lepeh, apalagi kamu yang genit. Semalam aku mabuk, jadi sinting sampai mampir ke ranjangmu. Tapi, jangan harap bisa menggoda saat otakku waras. Paham!” balasnya menghempas tangan Deva yang masih nangkring memeluk pinggangnya. Mundur, Deva tertawa pelan dengan menggigit bibirnya. Setelah semalam dia tahu biar judes dan selalu tampak elegan, atasannya itu masih amatir. Dunianya hanya terpaku ke seorang Gading yang ternyata justru mengkhianatinya habis-habisan. “Pertama, aku bukan gading yang bisa kamu lepeh. Kedua, aku bahkan yakin yang semalam adalah pengalaman baru bagimu. Iya, kan?” tebaknya. “Sok tahu!” sungut Leora buang muka. “Lalu, bagaimana kalau ternyata kamu tergoda?” lontar Deva bersedekap menunggu hasil lemparan umpannya. “Dalam mimpimu!” tanggap Leora sinis. “Mimpi yang akan jadi kenyataan!” balas Deva dengan begitu yakinnya. Lift berhenti. Begitu pintu terbuka wajah keduanya kembali ke setelan awal, serius tanpa senyum genit Deva maupun wajah merona Leora. Melangkah keluar mereka tak lagi saling bicara. Bahkan sampai kemudian Leora masuk lebih dulu ke ruang kerjanya, Deva justru mengulum senyum. Kalau saja Nalini tahu, pasti bakal kena tonjok beneran. Dia sudah berusaha sebisa mungkin menghindar. Apa daya ternyata pesona seorang Leora begitu luar biasa. Semalam saking pusing memikirkan kalau dia sedang meniduri adik Faris sampai membuat Deva nyaris gila. Merasa bersalah ke mendiang Alana, hingga dia berpikir untuk membalas dengan menyakiti dan menghancurkan hidup Leora. Namun, semua berubah ketika melihat perlakuan yang Leora terima dari papa dan kakaknya. Bukan, tapi dari cekcok mereka sepertinya Leora dimusuhi oleh semua orang di rumahnya. Akan salah kaprah kalau sampai Deva menyakitinya karena justru itu yang Faris ingin. “Berarti membuat Leora makin merongrong mereka adalah salah satu cara membuat keluarga Wiryamanta gaduh,” gumamnya. Ponsel Deva berdering pelan. Menghempaskan punggungnya yang kaku, dia menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Ezra. “Apa? Aku masih kerja. Tidak punya waktu menemanimu nongkrong di Mirror!” celotehnya, bahkan tanpa basa-basi sapaan. “Sialan! Awas saja kalau lain kali merecokiku lagi minta ditemani kesana!” umpat Ezra kesal. “Nggak lah. Aku sudah insaf sekarang!” “Insafff?! Aku akan sunat lagi kalau yang kamu angkut bawa pulang semalam tidak kamu apa-apakan. Sebaliknya, berani nggak kamu potong emprit kalau ternyata kamu cicipi!” tantang Ezra, tapi Deva hanya cengengesan. “Sialan! Mamaku belum dapat cucu. Kalau dipotong terus aku gimana?!” gelaknya. “Lembur lagi?” tanya Ezra. “Iya,” tanpa sadar Deva mengangguk. “Masih lama, nggak? Temani aku cari makan. Agak malam juga tidak apa-apa!” ajaknya. “Makan apa?” “Seafood. Yang kapan hari kita kesana sama Hera dan Jingga.” “Pasti ayang onengmu yang mau!” tebaknya tidak meleset. “Hm.” gumam Ezra. “Haish! Makanya cari pacar yang bisa dicium. Bocil masih pakai seragam SMA kamu uber!” cibirnya ke Ezra yang memang hampir setahun ini dekat dengan Alfa Hera. “Ck, aku tunggu nanti disana!” ujar Ezra menyudahi sambungan teleponnya. Deva menghela nafas panjang dan memijat keningnya yang berdenyut nyeri. Mulai was-was bagaimana kalau ternyata dia beneran sulit menjauh dari Leora, gadis yang seharusnya pantang dia dekati?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN