Mirror adalah nightclub elite dimana mereka biasa nongkrong. Hanya tempat ini yang terpikir oleh Deva untuk lari dari rasa jengahnya. Orang lain menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman di saat penat, tapi justru sebaliknya bagi Deva. Baginya rumah adalah neraka ketika ada tua bangka itu di sana. Sebenci itu dia ke pria yang sialnya bergelar papanya.
Bising suara musik yang menyengat telinga menggelegar di ruang remang dengan sorot lampu warnanya. Aroma alkohol bercampur asap rokok yang menguar pekat, makin memacu adrenalinnya dengan suguhan liuk lekuk tubuh para wanita dengan dandanan seksi di hadapannya.
Minuman di gelas ketiganya baru saja tandas, ketika teman sialannya itu datang setor cengiran menyebalkan. Sebenarnya Deva punya empat teman rasa saudara, salah satunya si paling alim Vian tetangga sebelah rumahnya. Sayang, selain Ezra yang lain adalah barisan suami takut istri. Jadi jangan harap bisa diajak nongkrong di tempat terkutuk seperti ini.
“Sialan! Tadi saja aku ajak nggak mau. Giliran aku sudah berangkat bermimpi kamu mulai rusuh!” gerutu Ezra meraih gelas kosong dari bartender dan botol Whiskey di depan Deva. Dia hanya menuang sepertiga gelas, lalu menambahkan es batu.
“Capek banget,” sahutnya bertopang dagu menikmati kerumunan para wanita molek yang meliuk menggiurkan mengikuti dentuman musik.
“Capek bukannya tidur malah pecicilan ke sini. Kalau mau cari lalat berkutang, kenapa juga ajak aku?!” dengus Ezra yang hafal betul kelakuan teman sengkleknya satu itu.
Lalat berkutang, Deva terkekeh geli. Itu sebutan konyol yang para sahabatnya sematkan untuk para wanita penghangat ranjangnya. Dirinya memang b******k, tapi tidak pernah munafik menutupi kelakuan bejatnya di depan mereka. Toh, dia tidak mengkhianati siapapun. Beda dengan pecundang tua di rumahnya yang bahkan sudah puluhan tahun mengotori kesetiaan mamanya.
“Ada apa?” tanya Ezra menuang minuman di gelas kosong Deva. Dia yang biasa paling peka seperti paham galau di balik diamnya Deva.
“Cuma lagi suntuk,” sanggahnya dengan helaan nafas kasar. Sesak masih menghimpit dadanya ingat lebam di ujung bibir sang mama.
“Tapi, sepertinya bukan suntuk biasa. Tidak harus dijawab, karena aku tahu tidak semua hal bisa kita ceritakan ke orang lain,” lontar Ezra telak mengena di hati. Mengangkat gelasnya, si tukang tato itu kembali meneguk minumannya.
“Datang padaku kalau kamu merasa perlu. Mungkin aku tidak punya pemecahan dari masalahmu, tapi setidaknya bisa jadi pendengarmu,” lanjut Ezra menoleh ke Deva yang masih bungkam. Mata keranjangnya sesekali berkedip nakal menggoda kerumunan lalat seksi yang sengaja pamer belahan d**a di sana.
“Hm,” gumamnya mengangguk. Ternyata masih menyimak ucapan Ezra.
“Kebiasaan kalau lihat pepaya bahenol langsung ngeces!” olok Ezra, tapi Deva malah tertawa ngakak.
Mengalihkan fokusnya dari para perempuan penggoda di sana, Deva meraih gelasnya dan bersulang dengan Ezra. Dia meneguk pelan, mencecap rasa pahit dan kering yang sudah akrab di lidahnya.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Jadi wakil manajer produksi apa memang sesibuk itu, sampai jam segini belum sempat ganti baju?” tanya Ezra melirik setelan kerja sahabatnya yang kusut dipakai seharian.
“Hm, capek banget.” Deva mengangguk. “Seminggu ini pontang-panting karena kerjaan menumpuk. Lembur terus sampai keriting otakku!” keluhnya seperti benar-benar lungkrah.
Ezra tersenyum menggeleng. Aneh tapi nyata saat seorang Radeva Adipramana yang punya bisnis sendiri dan beromset tinggi, justru mau capek kerja di tempat orang dengan gaji yang dilihat dari standart dia jelas tak seberapa. Lebih membingungkan lagi saat dia mati-matian menolak jadi pewaris papanya.
“Orang kalau sudah kebanyakan duit memang suka banyak tingkah!”
Merasa tersindir Deva pun cengengesan. Andai saja uangnya bisa membeli kebahagian, dia sama sekali tidak keberatan menghabiskannya.
“DevDev …,” sapa seorang perempuan cantik tiba-tiba nemplok memeluk Deva dari belakang. Saking geli mendengar panggilan konyol itu, Ezra pun tertawa sampai minuman di mulutnya muncrat.
“Haish, sialan! Jorok!” sungut Deva menyambar tisu mengelap tangannya yang basah kena semburan.
“Jadi gitu panggilnya kalau lagi peras keringat bareng? DevDev! Dih, geliiiii!” Lagi-lagi Ezra ngakak sambil menatap Deva lucu. Cuma dia sedikit risih dengan lalat yang hinggap di punggung Deva. Tanpa malu mulai mengendus leher sahabatnya. Sedang tangannya lancang menyusup masuk ke balik kemeja. Ezra bergidik. Deva yang digerayangi, dia yang jijik.
“Sombong banget sekarang jadi jarang datang. Kangen mandi bareng kamu, Devdev!” rajuknya dengan suara mendayu, bahkan makin berani menjilat telinga. Deva menggeram kesal, lalu mendorong kepala mantan teman tidurnya itu menjauh.
“Tuh kan! Paling suka kamu yang kasar gini, Dev. Apalagi kalau dibanting dan dijambak di tempat tidur.” Si cewek kembali nemplok. Tangannya hinggap di paha Deva. Merayap ke s**********n, tapi ditepis kasar.
Deva berbalik menyandarkan punggungnya ke meja. Menatap lekat perempuan yang bahkan sudah tidak begitu dia ingat lagi itu. Bukannya malu mendapat penolakan, dia justru tersenyum berbinar berusaha memeluk Deva. Enek melihat kelakuannya, Ezra pun memutar kursinya dan merangkul leher sahabatnya.
“Kalau cuma mau dijambak dan dibanting, aku bisa panggilkan anak buahku. Minta digebukin pun juga tak masalah. Di atas ada ruang kosong. Mau?” tawar Ezra sama sekali tidak bercanda.
Mendengar tawaran konyolnya Deva sampai ngakak. Sementara wanita yang kini berdiri di hadapan mereka itu merengut menekuk muka. Kalau biasa nongkrong di sini sudah pasti tidak asing lagi dengan Ezra.
“Pergi! Mengganggu saja!” Ezra mengedikkan dagu mengusir perempuan itu dengan jengahnya.
“Devdev!” rajuknya hendak mendekat, tapi tertahan oleh kaki Deva yang terangkat membuat batasan.
“Sudah nggak minat!” tolaknya tanpa basa-basi lagi.
“Haish!” dengus perempuan itu keras sebelum kemudian enyah kembali ke meja teman-temannya.
“Mau naik? Jingga di atas,” ajak Ezra untuk bertemu anak pemilik tempat ini, tapi Deva menggeleng.
“Kamu naik saja dulu!” sahutnya kembali meneguk minumannya.
Bagaimana Ezra mau meninggalkannya sendiri, sedang Deva sepertinya memang sedang tidak baik-baik saja. Sialnya saat dia masih berpikir ada apa dengan Deva, teman laknatnya itu justru turun dari kursi dan berbaur dengan kerumunan orang-orang yang sedang menggila meliuk menikmati musik.
Ezra mendengus beranjak dari duduknya. Toh, Deva tahu kemana harus mencarinya. Matanya sudah pedas menahan kantuk, ditambah alkohol membuat Ezra pilih tidur di lantai atas.
Sementara Deva semakin larut dengan dunia bisingnya. Meliuk memeluk pinggang ramping yang menempel rapat dalam dekapannya. Bibir Deva menyeringai menikmati endusan di lehernya. Dari pinggang tangannya merayap turun mengelus bongkahan montok yang hanya terbalut dress ketat pendek. Meremas pelan, lalu menyusup masuk begitu dibalas desahan di telinganya.
“Arrgghhh …”
Lenguhan menggoda itu kembali terdengar di telinga Deva saat tangannya meremas tanpa harus terhalang lagi. Sapuan lidah perempuan di pelukannya itu menjilat telinga Deva. Deru nafas tersengal menghembus panas menyulut api gairahnya.
“Keras! Mau lanjut dijilat yang itu?” bisik perempuan yang kini menggelayut di leher Deva. Tubuh mereka berhimpitan erat. Meliuk saling gesek di bawah sana hingga Deva bisa leluasa merasakan kenyal di d**a mereka yang tak lagi menyisakan batas. Bongkahan montok nyembul dari tanktop kemben perempuan yang sedari tadi sengaja menggoda Deva itu.
“Kemana?” Deva mengerling. Lidahnya menyapu bibirnya yang berkedut ingin mencicipi tawaran nikmat perempuan ini.
“Ranjangmu,” jawabnya membelai tengkuk Deva. Wajahnya mendekat, namun si ganteng incarannya justru menghindar memalingkan muka sebelum bibirnya berhasil melumat.
“Ehmmm …,” dengus si perempuan kesal.
“Ada yang lebih nikmat dari ciuman, Beb. Seperti ini misalnya!” bisik Deva mengecup bahu telanjang perempuan yang bahkan namanya saja tidak dia tahu itu. Mengendus lembut wangi rose yang membawa hidung Deva ke ceruk leher jenjangnya. Wanita itu menggelinjang, mendesah membalas lumatan perih di lehernya dengan mengulum telinga Deva.
Nafas Deva terengah. Darahnya berdesir panas hingga tangannya beralih naik meremas bongkahan montok di balik kemben yang mencuat keluar itu.
“Sialan!” umpat Deva lirih, lalu menarik wanita itu hendak menyeretnya pergi ke tempat dimana dia bisa leluasa menikmati tubuh moleknya. Sayang, baru juga membalikkan badan dia malah ditubruk perempuan yang sempoyongan.
“Haish!” geramnya kesal mencekal lengan wanita yang nyungsep di pelukannya itu. Niatnya ingin menyingkirkan pemabuk menyebalkan yang asal nemplok, tapi mata Deva justru mendelik menatap wanita yang kembali terhuyung nyaris ambruk itu.
“Ayoooo!” ajak perempuan yang masih bergelayut memeluk lengannya.
“Lain kali. Aku sibuk,” sahutnya setengah berteriak karena suara musik yang makin keras. Sayangnya si cewek tak melepasnya begitu saja.
“Mana bisa begitu?! Ayolah! Apartemenku tidak jauh dari sini.”
“Ck, haish!” Deva merengkuh pinggang wanita mabuk yang sudah tidak sanggup berdiri tegak itu, lalu menepis lepas cekalan gadis di sampingnya.
Tanpa peduli umpatan marah di belakangnya, Deva memapah wanita mabuk itu susah payah menerobos keluar dari kerumunan berjubel orang-orang yang masih meliuk liar di sana. Sesekali dia melirik wajah cantik yang terkulai menunduk. Tangannya meremas pinggang ramping Leora ketika tubuh mereka limbung kena senggol.
Leora! Iya, namanya Leora Selma Wiryamanta. Dia bukan cuma atasannya di kantor, tapi juga adik perempuan si b*****t Faris. Peluh Deva sampai bercucuran setelah akhirnya berhasil memapah Leora dari kerumunan setan di sana. Dengan sisa tenaganya Deva mengangkat tubuh Leora mendudukannya di kursi depan bartender. Namun, baru dilepas Leora malah luruh nyaris terjungkal dari duduknya.
“Haish, menyusahkan saja!” dengusnya ngos-ngosan memeluk tubuh Leora yang untungnya bisa dia tangkap sebelum tersungkur.
Untuk beberapa saat Deva berdiri membiarkan wanita itu mendusel di pelukannya. Tidak ada tas atau ponsel yang Leora bawa, lantas harus kemana dia mengantarnya pulang? Kediaman Wiryamanta jelas Deva tahu dimana, tapi dia tidak akan sebodoh itu unjuk muka di sana dan memancing kecurigaan mereka.
“Leora! Bangun! Teman-temanmu mana?” ucapnya mencoba membangunkan wanita mabuk menyebalkan itu.
“Leora!”
Tetap tak ada sahutan. Leora hanya menggumam tak jelas dan menggeliat mencari posisi nyaman di pelukan Deva. Ironisnya, dia juga masih mengenakan pakaian kerjanya hari ini. Hanya saja Leora melepas blazernya. Menyisakan tanktop ketat warna hitam yang membentuk lekukan indah bodi seksinya.
“Wah …. lalatnya cantik, Bang!” goda Pras yang sedang mengontrol kondisi nightclub sambil cengengesan.
“Ck, dia bukan lalat!” terangnya tidak ingin Pras salah sangka. Lebih tepatnya tidak enak hati karena Leora memang bukan lalat berkutang yang biasa hinggap di ranjangnya.
“Oh, berarti bidadari yang tersesat dong!" ralatnya manggut-manggut.
“Tersesat dimana?” lontar Deva greget malah diledek bocah kurang ajar satu itu.
“Di pelukanmu.” Pras cekikikan tanpa rasa bersalah.
Meraih minuman di gelas yang dia tinggalkan tadi, Deva meneguk habis sisa isinya sebelum kemudian membuat sebuah keputusan gila. Mengantar Leora pulang ke rumahnya sama saja bunuh diri. Meninggalkannya di sini Deva tidak tega. Jadi, dia terpaksa mengangkut wanita menyusahkan itu ke apartemennya.
“Pras, bilang ke Ezra kalau aku cabut dulu!”
“Cabut kemana, Bang?” tanya Pras mengulum senyum.
“Kenapa kamu jadi ingin tahu?!” omelnya.
“Ya kan siapa tahu nanti Bang Ezra tanya!”
Tak menanggapi Pras, Deva meringis saat membopong tubuh Leora pergi dari sana. Dalam hati memaki dirinya sendiri, bisa-bisanya memungut adik si b*****t Faris.
“Ekhmmmm …” Leora menggeliat mendusel membenamkan wajahnya di d**a Deva.
“Sialan!” umpatnya mendesis merasakan panas merambat di wajahnya. Jantungnya berdegup mengggila ketika hidung Leora mengendus seperti mencoba mengenali aroma tubuh Deva.
“Dev ….”