“Mau sampai kapan kamu keras kepala dan terus membangkang Papa begini, Dev?!”
Baru saja menginjakkan kaki di rumah, Deva yang baru pulang disambut teriakan amarah papanya. Sungguh, dia tidak lagi punya tenaga untuk berdebat dengan pria tua itu. Tanpa menoleh langkahnya terus menuju ke arah tangga. Capek, dia butuh tidur setelah beberapa hari ini pontang-panting diuber pekerjaan sampai terpaksa lembur hingga malam.
“Radeva!” teriak pria yang sengaja menunggu kedatangan putranya itu makin emosi merasa diremehkan.
Kaki Deva urung menapak anak tangga. Dia berbalik dan menatap papanya jengah, karena tahu hal apa yang mau diributkan.
“Berhenti merecoki hidupku! Aku sudah bilang tidak sudi mewarisi perusahaanmu!” tegasnya untuk kesekian kali menolak perintah papanya yang ingin dia mulai masuk ke perusahaannya.
“Otakmu taruh mana?! Punya perusahaan sendiri tidak mau mengurus, malah kerja mati-matian di tempat mereka dengan bertaruh nyawa. Hentikan rencana gilamu sebelum mereka mengendus keberadaanmu yang menyelinap di perusahaannya!” hardik Akbar Adipramana tampak habis kesabaran menghadapi sikap keras kepala Deva.
Menyeringai sinis, Deva dengan setelan kerjanya yang sudah kusut berdiri menyandar tiang tangga seperti sengaja menantang papanya.
“Tidak usah sok peduli? Bukankah reputasimu lebih penting dari nyawa anakmu? Karena itu juga kakakku mati sia-sia dan kamu pilih tutup mata. Menolak fakta kematian Kak Lana yang tidak wajar, hanya karena tidak ingin kasusnya melebar dan mencoreng nama baikmu!” geram Deva mulai tersulut begitu mulai membahas mendiang kakaknya.
“Tutup mulutmu!” bentak Akbar dengan suara gemetar, tapi Deva justru terkekeh tidak peduli.
“Kenapa harus marah? Bukankah aku bicara fakta? Luar biasa ada orang tua tidak punya hati sepertimu! Bagaimana bisa kamu tidur nyenyak selama dua tahun ini, setelah anakmu mati dibunuh pria b*****t itu?!”
“Radeva!”
Teriakkan itu bahkan sampai menggema di tengah hening rumah besar mereka. Akbar Adipramana, pria paruh baya yang menduduki kursi pimpinan utama Millenium Grup itu melangkah menghampiri anaknya. Sorot matanya menguar marah. Jangankan menerima limpahan tanggung jawab sebagai pimpinan, bahkan sejak dulu menginjakkan kaki di kantor pun anaknya tidak sudi.
Buntut dari memergoki perselingkuhannya, Deva melampiaskan amarahnya dengan hidup menjauh ke luar negeri hingga puluhan tahun. Menolak muncul ke publik dan dikenalkan sebagai pewarisnya. Sekarang begitu kembali bocah bodoh itu justru nekat menantang bahaya dengan menyusup ke perusahaan musuh mereka untuk membalas dendam kematian kakaknya.
“Ini peringatan terakhir dariku. Keluar dari sana dan jangan coba bikin ulah yang membahayakan nyawamu! Masalah ini biar Papa yang selesaikan. Jangan lagi menambah beban pikiran mamamu!” tegurnya penuh peringatan.
“Kalau Papa becus menyelesaikan masalah Kak Lana, Faris b*****t itu tidak akan berkeliaran menikmati hasil rampasannya hingga sekarang!” sahut Deva kasar dengan tatapan kecewanya.
“Dua tahun mama sampai harus tergantung pada obat tidur, karena belum bisa menerima kematian anaknya yang mengenaskan. Sedang kamu selalu sibuk dengan urusan kantor dan gundik simpananmu! Itu yang kamu maksud menyelesaikan masalah!” lanjutnya berteriak di depan papanya.
Satu tamparan menghantam keras wajah Deva. Tepat saat pintu kamar mamanya terbuka, hingga wanita yang terjaga karena suara gaduh itu pun menyaksikan semuanya.
“Kurang ajar!” gertak Akbar mendelik dengan tangan berdenyut panas.
“Kamu apakan anakku, Pa?!” teriak Arumi mengagetkan keduanya.
Akbar menghela nafas kasar mendapati istrinya mendekat dengan muka merah padam. Padahal biasanya Arumi tidak pernah terjaga karena pengaruh obat tidur yang diminumnya. Dia bukan takut kena amuk karena sudah menampar anak mereka, tapi Akbar was-was istrinya mendengar ucapan Deva barusan.
“Aku hanya meminta Deva untuk menghentikan kelakuan gilanya, sebelum semua terlambat dan nasibnya berakhir di kuburan! Sudah dibilang aku telah membayar orang untuk mengusut soal Lana, tapi Deva malah ngelantur dan menganggapku abai karena lebih berat ke reputasi! Kurang ajar kan mulutnya?!” Akbar berusaha merendahkan suaranya di hadapan istrinya supaya tidak salah paham kenapa dia menampar anak mereka barusan.
“Sakit?” Arumi mengusap lembut pipi anaknya yang memerah.
“Nggak,” geleng Deva tersenyum meraih tangan mamanya dan menggenggam erat.
“Mama percaya Dev, kan? Aku pasti bisa mengungkap kematian Kak Lana dan membalas mereka, Ma. Berbulan-bulan aku bekerja keras untuk mendapat kepercayaan mereka. Sedikit lagi, aku akan membuat mereka membayar semua. Ya?” pinta Deva berusaha meyakinkan mamanya.
“Deva ….”
“Sekali ini saja, Ma! Biarkan aku membalas mereka. Demi Tuhan, seumur hidup aku tidak rela kakakku mati tersiksa di tangan si b******n Faris!”
“Papamu juga sudah berusaha, Deva!” bujuk Arumi.
Deva tertawa getir melempar tatapan remeh ke papanya yang berdiri dengan sorot mata penuh peringatan. Dia tahu, tua bangka itu takut kelakuan busuknya yang suka selingkuh di luar sana bakal dibongkar di depan mamanya.
“Mama masih percaya bualannya?”
“Jaga mulutmu, Radeva!” geram Akbar mendesis.
“Membual bagaimana maksudmu?” Arumi mengernyit bingung.
“Aku kalau jadi mama lebih baik cerai dari pada punya suami egois dan tak punya hati model begini! Pengecut!” lontar Deva sebegitu bencinya ke sosok papa yang sejak puluhan tahun lalu telah kehilangan wibawa di matanya itu.
“Bocah kurang ajar!” teriak Akbar kembali mengayunkan tangan ke pipi anaknya yang benar-benar sudah kelewatan. Sayang, justru istrinya yang kemudian terhuyung sempoyongan setelah tanpa diduga maju menghadang tamparan Akbar.
“Maaa!”
“Arumi! Apa-apaan, kamu!”
Deva menyangga tubuh mamanya yang nyaris jatuh tersungkur saking keras tamparan papanya. Matanya menatap nanar ujung bibir wanita kesayangannya yang lebam. Mendesis dengan nafas terengah dia berbalik hendak menghantamkan kepalan tangannya yang gemetar, tapi lebih dulu dihalangi mamanya.
“Tidak boleh! Jangan kayak gini, Deva! Dia papamu!”
“Papa yang tidak berguna dan suami b******k!” teriak Deva di pelukan mamanya. Air matanya meleleh. Dia sudah sejauh ini membiarkan mentalnya hancur demi menjaga hati mamanya, tapi pria tua itu makin egois dan menjadi-jadi kelakuannya.
“Aku hanya mengingatkanmu untuk tidak cari mati dengan berurusan dengan mereka. Lihat apa yang terjadi ke Lana akibat tidak menggubris omonganku menjauh dari Faris!” sanggah Akbar tidak terima disalahkan atas apa yang menimpa anak perempuannya dua tahun lalu.
Deva tertawa. Sebegitu fasihnya drama yang papanya lakoni saking terbiasa dengan dustanya. Sayang, dia tidak sebodoh itu. “Bukankah seharusnya kamu senang kalau aku mati?! Karena tidak ada yang akan membongkar borokmu!”
“Radeva!”
“Berhenti berteriak padaku! Sebanyak apapun hartamu, jangan harap bisa membuatku menunduk di hadapanmu. Kita lihat sampai kapan kamu bisa menyembunyikan bangkai busukmu!” sahut Deva menyeringai penuh peringatan ke papanya yang melotot seperti ingin menendangnya keluar dari sama.
“Beraninya kamu mengancamku?” dengus Akbar melirik istrinya was-was.
“Jangan pura-pura pikun kenapa aku tidak sudi berdekatan denganmu! Aku tidak pernah ikut campur urusanmu selama kamu tidak menyakiti mamaku. Jadi, jangan sok merasa berhak mengaturku! Ingat! Aku lebih dari mampu menghancurkan nama baik orang gila hormat sepertimu!” tegas Deva menuding papanya sambil memeluk mamanya yang terisak.
“Cih!”
Akbar mendecih keras sebelum berbalik melangkah ke sofa ruang tamu rumah mereka. Dia juga sudah muak terus ribut dengan anaknya, tapi makin lama Deva semakin keranjingan sulit diatur. Susah payah dia meyakinkan istrinya untuk membujuk anak mereka kembali dari Jerman supaya bisa membantu perusahaannya, tapi Deva justru masuk ke Golden Grove.
Masalahnya kalau sampai penyamarannya terbongkar, bukan tidak mungkin nasib Deva akan berakhir tragis seperti anak sulungnya yang ditemukan mati bunuh diri. Dia bukan tidak tahu kematian Lana tidak wajar, tapi selain tidak ada bukti, ada banyak hal yang dipertaruhkan jika sampai kasus itu mencuat.
“Tidak apa-apa! Mama lanjut tidur lagi. Ya?” bujuk Dave merangkul mamanya yang terisak sedih melihat mereka ribut.
“Bukan maksud Mama memaksamu menuruti keinginan papamu, Dev. Tapi, bagaimana bisa Mama tenang kalau setiap hari ibaratnya kamu masuk ke kandang singa! Kehilangan kakakmu saja masih terasa sakit lukanya hingga sekarang, lalu bagaimana Mama akan melanjutkan hidup kalau sampai kamu kenapa-napa? Mama mohon, Deva, berhenti berurusan dengan mereka!” Arumi menangis tergugu memeluk anaknya erat.
Membalas pelukan mamanya, Deva seperti tercekik rasa bersalah. Tidak boleh! Kali dia tidak akan mundur barang selangkah dan membiarkan kerja kerasnya selama berbulan-bulan berakhir sia-sia. Setelah semua selesai Deva sudah berencana membawa mamanya pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Berharap mamanya bisa sembuh dari luka kehilangan Alana, juga menjauhkannya dari si tukang selingkuh. Meski hingga kini mamanya tidak tahu kelakuan b***t si tua bangka sialan itu.
“Aku bisa jaga diri, Ma. Tidak perlu khawatir, karena aku tidak akan tumbang sebelum bisa membalas kematian Kak Lana,” bujuk Deva menenangkan ketakutan mamanya.
“Tapi, Dev ….”
“Sekali ini saja, Ma, tolong biarkan aku menyelesaikan semua. Setelah itu aku janji akan menuruti semua keinginan Mama. Ya?” pintanya memohon restu sang ibu.
“Jangan bodoh! Kalau sampai mereka mengetahui identitasmu adik Alana yang sengaja menyusup ke perusahaannya itu untuk balas dendam, maka bukan cuma nyawamu taruhannya. Kita semua akan ikut menanggung …”
“Hartamu tidak akan kamu bawa mati! Kalau memang setakut itu bakal kena dampaknya, ceraikan mamaku!” sela Deva kembali berteriak ke papanya.
“Bocah sialan! Kamu tidak berhak meminta kami bercerai. Kamu bebas angkat kaki dari rumah ini dan melakukan apapun maumu, tapi jangan harap bisa membawa pergi mamamu dariku!” tegas Akbar.
Deva tertawa terkekeh mengejek keangkuhan papanya. Dikira jika mamanya tahu hobi selingkuhnya bakalan masih sudi hidup bersama.
“Tentu saja setelah selesai urusanku dengan mereka aku akan angkat kaki dari sini, tapi dengan membawa mama bersamaku. Kamu pasti tahu aku bisa membuatnya pergi darimu, kan?!”
“Deva!” gertak Akbar terhenyak bangun dari duduknya.
“Urus saja tikus peliharanmu di kantor itu! Jangan sampai kamu menangis darah kalau sampai digerogoti hartamu!” sindirnya.
“Cukup! Diam dan jangan bicara yang aneh-aneh. Dipta bahkan lebih berguna dari pada pembangkang sepertimu!”
“Apa perlu aku menyerahkan hakku sebagai pewarismu ke dia? Bukankah Dipta juga keturunan Adipramana?” sindirnya menyeringai jijik.
“Dipta sepupumu!” teriak Akbar panik, tapi anaknya malah tergelak.
Tidak ingin pertengkaran mereka makin memanas, Arumi pun menarik anaknya ke arah tangga meminta Deva naik ke kamarnya.
“Sudah, Dev! Mama pusing mendengar kalian selalu ribut begini. Naik dan istirahat sana! Kamu pasti capek lembur sampai malam begini!” bujuknya.
Namun, Deva justru berbelok menggandeng mamanya ke arah rak dan mengambil obat. Dengan hati-hati dia mengoles salep di lebam ujung bibir mamanya.
“Mama tidur dulu! Aku mau keluar!” pamitnya setelah mengantar mamanya masuk ke kamar.
“Jangan minum! Besok kamu masih harus kerja!” seru Arumi merengut kesal.
“Iya,” angguk Deva menutup rapat pintu kamar.
Saat melintas di dekat papanya dia kembali menatap pria tua itu tajam. Dulu hubungan mereka pernah sangat dekat, sampai kemudian Deva membencinya setengah mati setelah tahu hal busuk yang disembunyikan papanya dari mereka. Itu kenapa dia pilih menetap di Jerman dan menjauh dari hal apapun yang menyangkut papanya.
“Kalau sampai mamaku terluka, aku akan menghancurkan kalian semua! Terutama keponakan kesayanganmu itu. Kita lihat, apa kamu masih akan bangga memamerkan Dipta yang sewaktu-waktu bisa saja aku lempar untuk menelanjangi aibmu, Pa!” ancamnya, lalu bergegas pergi lagi meninggalkan papanya yang menggeram marah.