"Stop Kenzo!"
Anak laki-laki itu masih mengamuk, situasi masih sepagi ini dan sudah terjadi kekacauan. Arkan hampir saja melayangkan pukulan ketika tak bisa menguasai anaknya, tapi Sera segera menghentikan.
"Kamu dapat apa dengan bersikap seperti pada ayahmu? Apa itu akan membuat Bunda kembali?"
Anak itu terdiam, tatapannya masih tajam, napasnya terengah-engah.
"Bundamu pergi di ambil Allah, diantarkan malaikat, ditempatkan di Surga. Kemudian dari atas langit sana Bunda melihat kalian seperti ini apa tidak sedih? Katanya sayang bunda? Tante yakin, bunda tidak pernah mengajarkan kalian menjadi seperti ini."
Lambat laun suasana mulai aman terkendali, Kezia menghentikan tangisnya, Kenzo tidak lagi mengamuk, Kalina mulai tenang dan suasana aman terkendali. Kemudian setelah itu mereka sarapan dengan tertib dan berangkat ke sekolah, wajah keduanya masih sangat masam dan tidak bersahabat.
Sementara Arkan masih di rumah dan akan berangkat sebentar lagi, ia masih menyiapkan segala hal. Sera menghampirinya dan memberikan sesuatu.
"Bawalah ini!"
"Apa ini!"
"Makanan. Aku lihat kemarin Bapak minum obat, sepertinya obat lambung."
"Terima kasih."
"Jangan sakit, aku bahkan belum merasakan gaji pertamaku."
Arkan tersenyum tipis, lesung pipit begitu memesona. "Terimakasih sudah mau bantu urus anak-anak. Sepertinya aku harus nambah satu lagi pengasuh, ku lihat kamu kerepotan."
Sera mengangguk. "Lumayan. Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Ya, silakan!"
"Kenapa anak-anak bisa sampai begitu?"
"Mereka belum menerima kepergian ibunya," jawab Arkan.
"Aku paham, aku juga mengerti luka mereka. Saat usiaku sama seperti si kembar, aku pun ditinggalkan oleh ibu. Hanya saja, aku melihat luka mereka ini lain."
Arkan menghela napas panjang. "Aku pun tidak mengerti, hanya saja setelah ibu mereka meninggal, aku tidak pernah lagi berbicara tentang ibunya, aku tidak ingin anak-anak menerima luka yang lebih banyak. Keluargaku harus bahagia, hal sesakit apa pun tidak boleh ditunjukkan."
Sera menghela napas panjang. "Lalu apa yang terjadi?"
Arkan terdiam dan menatapnya.
" Ya! Seperti saat ini, mereka nyaris tidak terkendali. Aku rasa Setiap manusia berhak mengekspresikan perasaannya, karena hidup bukan hanya tentang bahagia. Ada proses yang harus dilewati, dengan membiarkan mereka merasakan kesedihan, mereka akan paham keadaan, lalu berdamai dengan setiap luka yang dilewati. Kelak dewasa makan mereka bertumbuh dengan jiwa yang mampu mengendalikan diri."
Arkan melihat benda melingkar di tangannya. "Aku harus berangkat."
Kemudian ia mengambil tas dan hendak berlalu.
"Bekalnya dibawa."
Ia kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arah Sera.
"Terimakasih."
Sera mengangguk. "Bekerjalah dengan tenang, aku akan berusaha mengendalikan anak-anak."
Arkan mengangguk, setelah itu berlalu pergi.
Sera pun berlalu dan hendak mengisi perutnya yang sejak tadi masih kosong, namun ketika ia berbalik, ia mendapati Haliza sudah ada di belakangnya.
"Sepertinya kamu benar-benar menggunakan guna-guna pada anak saya," ucapnya menelisik tajam.
"Oh, kelihatan ya hasilnya? Gak sia-sia dong saya tirakat tiap malam," ucap Sera sambil berlalu begitu saja.
****
.
.
Hari-hari berlalu begitu saja, Arkan masih belum mendapatkan pengasuh baru. Sampai hari ini datanglah seseorang yang nampak akrab sekali dengan keluarga ini.
"Sudah aku saja yang mengasuh mereka, aku kan tantenya, pasti lebih bisa masuk pada mereka," ucapnya. Perempuan itu bernama Karin, adik mendiang istri Arkan.
"Mas tidak enak, kamu kan punya kesibukan."
"Tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas setulus hati."
Sera melihat dari atas sampai bawah wanita itu, entah kenapa perjumpaan pertama membuatnya tidak sreg.
"Tante ayo kita jalan-jalan ke taman!" ajak Kezia.
"Ayok sayang!" jawab Karin.
Mereka terlihat sangat bersemangat, mereka pun bersiap termasuk Arkan.
"Kamu ikut!" ucap Arkan pada Sera.
Tak banyak bicara ia pun bersiap dan semuanya pergi piknik kecil-kecilan. Anak-anak terlihat senang.
"Tante lihat! Orang itu tidak lelah kah? Gendut gitu lari-lari!" ucap Kezia.
"Iya pasti lelah, makanya kamu jangan gendut biar gak kaya gitu," jawab tantenya.
"No!" Sera menyergah. "Itu kerja keras namanya! Orang itu sedang berusaha bekerja keras untuk menjadi dirinya dengan versi yang lebih baik."
Karin mendelik pada Sera, sementara terlihat Kezia mengangguk kecil dan berlari ke tempat ayunan.
"Sepertinya usia kita sama," ucap Sera. "Aku hanya ingin mengingatkan, tidak segala hal yang diajarkan pada anak dilihat pada perspektif yang buruk. Kamu juga tahu dampak apa yang akan ditimbulkan atas ucapanmu itu. Bisa saja Kezia tak ingin makan karena takut gendut, sedangkan makanan akan memberikannya banyak nutrisi!"
Karin nampak tidak terima. "Hanya pembantu sok pinter," ucapnya seraya berlalu.
Sementara Arkan yang sejak tadi memperhatikan hanya tersenyum tipis, ia merasa tidak salah memilih orang, di balik sikap Sera yang terlihat bodo amat, dia adalah orang yang pintar.