Sera diantar ke sebuah kamar langsung oleh Arkan , sebuah kamar cukup besar dengan fasilitas yang nyaman dan memiliki pintu yang terhubung langsung ke kamar majikannya.
"Ini pintu kemana?" tanya Sera heran.
"Kamar saya!" jawab Arkan.
Sera segera melihat ke arah tuannya itu, kemudian ia mundur satu langkah. Perasaannya tidak karuan.
"Jangan salah paham, kenapa ada akses seperti ini, agar lebih mudah menjangkau anak-anak. Awalnya kamar ini memang dibuat untuk mereka. Tapi semenjak ibunya meninggal, mereka selalu tidur dengan saya."
Sera masih menatapnya curiga.
"Jangan menatap saya seperti itu!"
Sera kemudian menurunkan pandangannya dan melihat ke sekeliling. Kamar besar ini memang bernuansa anak-anak. Di dinding dekat cermin ada sebuah gambar keluarga, perempuan cantik di sana sedang tersenyum bahagia dengan perut yang besar. Sera menatapnya sejenak, wajahnya teduh dan penuh kasih sayang, rasanya pasti sesak ditinggalkan seseorang yang sangat berarti.
"Silakan kalau kamu mau istirahat dulu."
Sera mengangguk, seketika ia membisu. Kemudian tidak lama setelahnya Arkan keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Sopan sekali.
Ia merapikan pakaiannya, kemudian membersihkan diri, setelah itu kembali keluar, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Sera membawa langkahnya dan melihat si kembar sedang asyik bermain ponsel, sementara neneknya pun terlelap di samping bayi yang juga tertidur. Terlihat lelah sekali.
"Berikan ponselnya!" Sera mendekat pada Kenzo dan Kezia sambil mengulurkan tangan.
Mereka nampak mengacuhkan dan sama sekali tidak peduli dengan ucapan Sera, bahkan melihat pun tidak.
"Berikan ponselnya!" perintah kedua yang juga tidak dihiraukan.
Merasa tidak didengar, Sera pun mengambil ponsel dari kedua anak itu. Membuat wajah mereka seketika merah padam.
"Hey!" Kenzo berteriak. Membuat neneknya terbangun dan seketika si bayi pun ikut menangis.
"Kalian boleh bermain hape, tapi dibatasi dan ada jamnya."
"Tidak! Kami tidak mau seperti itu! Kembalikan ponselku!" ucap Kezia turut berteriak.
"Tidak! Ponsel ini akan ku berikan di waktu tertentu."
"Siapa kamu mengatur kami? Kamu hanya pembantu di rumah ini!" jawab Kenzo.
Sera menghela napas panjang, tidak menyangka dengan jawaban mereka. "Ya, betul! Kalian tahu arti pembantu? Seseorang yang akan membantu kalian, bila tidak dibantu, kalian akan kesulitan! Jadi stop untuk seenaknya, kami di sini hanya membantumu, memudahkan aktivitas kalian!"
"Aku tidak peduli! Kembalikan ponselku!"
Sera tidak ingin mendengar lagi, ia membawa ponsel itu dalam genggamannya, sementara ia berjalan menghampiri si bungsu yang sedang menangis, kemudian ia membawanya dalam dekapan, menenangkannya.
"Berikan saja ponsel mereka, kalau tidak mereka akan mengamuk," ucap Haliza.
"Seharian memberikan ponsel pada mereka tidak akan memberikan apa pun kecuali dampak negatif. Mereka harus melakukan aktivitas sesuai usianya!" jawab Sera.
"Kembalikan ponselku!" Kenzo mendekat dan mendorong Sera.
"Hey! Aku sedang membawa adikmu! Bagaimana kalau jatuh?" Beruntung Sera bisa menahan diri sehingga ia bisa membawa agar tubuhnya tidak limbung.
"Dia bukan adik kami! Aku benci sama dia! Karena dia ibuku meninggal!" jawab Kezia.
Sera terdiam sejenak, ada luka di hati yang membuat sikap mereka menjadi pembantah, keras kepala, juga pemarah. Tapi apa pun alasannya, itu tidak bisa dibenarkan.
Bayi dalam dekapan Sera masih terus menangis, Kenzo dan Kezia pun masih terus berontak sampai tak lama kemudian Arkan datang. Sera masih termangu sejenak.
"Kenzo, Kezia. Ayo ikut Ayah! Ayah punya sesuatu."
Tapi mereka seolah tidak peduli, tatapan marah dilayangkan. "Belum puas Ayah siksa kami? Ayah biarkan Bunda pergi karena melahirkan anak itu, sekarang memberikan kamu nenek lampir seperti dia?"
"Jaga mulut kalian!" ucap Arkan.
"Sudah ... sudah ...!" Haliza sang nenek pun membawa si kembar berlalu. Sementara Arkan menghampiri Sera dan membawa sang bayi dalam dekapan.
Sementara Sera membuatkan s**u dengan pikiran yang tidak menentu. Tak berapa lama ia kembali dan segera memberikan s**u itu. Sampai si bayi kembali tenang dan tertidur.
"Aku minta maaf atas tindakan mereka," ucap Arkan.
Sera menghela napas. "Its oke."
"Mereka anak yang baik, tapi semenjak kepergian ibunya, banyak hal yang berubah dalam waktu singkat. Sejak kelahiran adiknya, mereka selalu bilang benci karena bunda mereka harus pergi tak lama setelah melahirkan Kalina. Aku kewalahan dan sulit membuat mereka mengerti atas apa yang terjadi."
Nampak sekali wajah putus asa terlihat di sana, Sera yakin Arkan sudah berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Luka di hati anak-anaknya atas kepergian sang ibu pun tidak bisa disalahkan, tapi tidak bisa juga dibiarkan.
"Saya harus apa, Sera?" ucapnya lirih tak berdaya seraya melihat pada Kalina yang kembali pulas.