Berhari-hari Tibra sibuk melakukan tugas yang diberikan Sultan, mencari informasi pelaku yang membuat keributan di beberapa mini marketnya. Dari hasil pengamatan di lokasi mini market, juga dari info yang didapat dari Sultan, akhirnya Tibra bisa mendapatkan informasi valid tentang pelaku, dan dia sedang menunggu Sultan untuk melaporkan informasi yang didapatnya.
Tibra melihat jam di pergelangan tangannya, sudah setengah jam dari waktu bertemu berlalu, tetapi Sultan belum tampak. Dia mendesah bosan, lalu meminum kopi yang diseduhnya sendiri, lalu membuka game di ponselnya.
Dia tengah asyik dengan game Mobile Legend-nya saat pintu kamar diketuk. Tibra dan Sultan memang berjanji untuk bertemu di sebuah kamar hotel untuk membicarakan masalah ini untuk menjaga privasi.
Tanpa menjauhkan pandangan dari ponselnya Tibra berjalan ke pintu, mengutak atik ponselnya sesaat, mengintip dari lubang pintu untuk memastikan bahwa yang datang memang Sultan, lalu membukakan pintu. Sultan menerobos masuk, dan duduk di sofa.
"Tunggu, gue selesaiin dulu game gue, soalnya kalau gue out sekarang gue bisa afk trus dibanned," ucap Tibra sebelum Sultan sempat mengatakan apapun.
Sultan menghela nafas, mencoba memanjangkan sabar, dia berdiri dari sofa, membuka mini kulkas dan mengambil bir, membuka dan langsung menyesapnya sambil mengamati Tibra yang asyik dengan game di tangannya. Hingga Sultan meminum kaleng kedua bir, Tibra belum juga selesai dengan game sialannya itu dan membuat Sultan hampir kehabisan sabar.
"Wah, gue menang lagi," ucap Tibra senang, meletakkan ponselnya di saku dan meminum kopi di hadapannya.
"Lo lama banget datangnya." Tibra memprotes Sultan, sebelum Sultan memprotesnya, membuat Sultan mendecih kesal karena merasa kalah langkah dari Tibra.
"Gue baru aja pertemuan sama petinggi partai pendukung kakak gue.
"Ow...." Tibra manggut-manggut.
"Gimana? Lo berhasil dapat info?"
"Yap. Mereka geng anak muda, semacam geng motor gitu, namanya KBH RX, kalau dari info yang gue dapat, mereka nggak berafiliasi sama siapapun, mereka anak muda yang suka tantangan dan juga merasa cukup punya nyali untuk jadi jahat dan menganggap hal itu keren. Tapi, who knows? Kita nggak pernah tahu, apakah itu hanya sebuah alasan ataukah memang itulah sebenarnya gambaran generasi muda kita sekarang."
"What the hell, Tibra, lo kedengeran kayak guru BP, ngomongin soal kenakalan remaja, dan apa nama geng mereka? KBH RX? Astaga, apa mereka fans berat serial hero Jepang, Ksatria Baja Hitam?"
"Emang kepanjangannya itu, Ksatria Baja Hitam yang pakai motor RX, ironisnya sih, di serial itu Ksatria Baja Hitam tuh pembela kebenaran, yang ini malah suka ngerusuh."
"Gue nggak percaya kalau mereka ngerusuh mini market gue tanpa tujuan. Setiap orang pasti melakukan suatu hal dengan suatu tujuan kan?"
"Nggak juga, psikopat ngelakuin sejumlah perbuatan sadis random gitu aja. Tapi, buat geng motor itu kayaknya sih mereka emang ngelakuin semua itu buat sebuah pengakuan, bukan untuk tujuan tertentu. Lo inget kan kasus-kasus kejahatan yang melukai korban random hanya untuk membuktikan bahwa dia layak jadi anggota geng? Anak muda jaman sekarang kayaknya perlu banget pembuktian dan sayangnya mereka salah jalan."
"Tetep aja gue nggak percaya kalau gerakan mereka random atau hanya butuh pengakuan keberanian. Kalau emang gitu, kenapa mereka ngerusuh di jaringan mini market gue dan bukannya mini market keluarga Johnny?"
Tibra mengedik. "Ya...bisa jadi mereka emang ada misi khusus. Tapi gue udah ketemu sama ketua geng mereka dan dia bilang nggak ada yang nyuruh mereka."
"Dan lo percaya? Tibra, bagaimana mungkin lo percaya omongan mereka gitu aja, mereka udah pasti disuruh seseorang buat ngerusuh bisnis keluarga gue, gue yakin yang nyuruh mereka antara Johnny atau Hazel," ucap Sultan kesal.
"Misalnya, mereka emang orang suruhan, apa yang mau lo lakuin? Mereka ada puluhan orang."
"Eliminasi ketua gengnya, bikin mereka kapok untuk rusuh di area gue. Lo bisa kan kerjain hal itu?"
"Gue bisa lakuin apapun asal bayarannya sesuai," balas Tibra.
"Itu bisa gue atur asal lo mengenyahkan para perusuh ini."
"Itu gampang."
"Jangan ninggalin jejak kayak lima tahun yang lalu."
"Of course not, gue belajar untuk lebih baik setelah keluar dari penjara."
"Baguslah kalau gitu."
"Gue tunggu laporan kerja lo."
"Oke."
Sultan berdiri dan hendak meninggalkan Tibra, tetapi sesaat dia berhenti, dan berbalik.
"Kalau misalnya mereka disuruh Hazel, apa lo tetep mau lakuin tugas dari gue? Kalau lo eliminasi ketua geng KBH RX itu artinya lo ngelawan Hazel."
"Hazel bilang dia nggak pernah memerintahkan siapapun untuk nyerang mini market keluarga lo, jadi gue rasa emang bukan Hazel."
"Lo naif banget. Lo seharusnya tahu gimana sepak terjang keluarga Soemarsono."
"Gue tahu, tapi untuk kasus lo, Hazel dan lo teman baik, meski mungkin sekarang enggak. Gue pikir, kalau Hazel bilang enggak ya enggak."
"Hazel punya banyak alasan buat ngelakuin hal itu, Tibra."
"Dan Hazel juga punya banyak alasan buat nggak ngelakuin hal itu. Salah satunya karena lo temannya."
"Lo terlihat sangat yakin sama Hazel, lo bahkan bersikap seolah lo temen dia yang tahu dia seperti apa, lo mulai terdengar loyal sama dia...ini semua karena price tag kan?"
"Maybe...."
"Gue nggak sekaya Hazel tapi kalau lo mau dukung gue, gue pastikan lo akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada dukung Hazel."
"Sorry, jawaban gue masih tetep sama, gue ga dukung siapapun, gue kerjain tugas dari orang yang bayar gue dengan harga sesuai."
Sultan mencebik. "Gue nggak bisa maksa kalau gitu."
Dia berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Tibra sendirian.
***
Sebuah gedung ex perkantoran yang telah lama ditinggalkan menjadi tempat pertemuan Tibra dan Taksaka, ketua geng KBH RX.
Pemuda berusia awal dua puluhan itu datang sendirian sesuai janjinya, dan Tibra menganggap Taksaka cukup berani dan fair untuk memenuhi undangannya tanpa melibatkan anggota geng motornya.
Taksaka menghampiri Tibra, sikapnya sama sekali tidak gentar, pantas jika pemuda itu dijadikan ketua geng, terus terang saja, Taksaka cukup bernyali.
"Kenapa lo nyari gue?" tanya Taksaka langsung.
"Cuma pengen tahu beberapa hal kecil, semoga lo nggak keberatan."
Taksaka mendecih. "Kalau ini soal pertanyaan lo kemarin, jawabannya sama. Kerusakan di mini market kemarin karena beberapa anggota geng gue mabuk dan ada salah satu anggota bikin tantangan, siapa yang berani nyerang mini market, dia bakalan jadi bos selama seminggu. Geng gue emang suka tantangan kayak gitu."
"Tapi lo nyerang beberapa minimarket Indomei, gue nggak yakin kalau itu 'cuma' perbuatan random karena mabok dan iseng." Tibra menekankan kata-katanya.
"Terserah, kalau lo nggak percaya, toh gue juga nggak punya kewajiban apapun buat jelasin ke lo. Lagian, lo ini siapa sih? Polisi juga bukan." Taksaka menatap Tibra dengan tatapan berani.
"Well, owner Indomei meminta gue menyelesaikan permasalahan ini ketimbang laporan ke polisi. Kabar baiknya, lo nggak bakalan masuk penjara, tapi, kabar buruknya, lo bisa jadi langsung masuk neraka."
"Lo pikir gue takut?"
Tibra tersenyum dingin.
"Enggak, gue nggak berpikir kalau lo takut, Tackey. Gue yakin lo punya nyali sangat besar mengingat lo pemimpin geng motor yang suka membuat kerusuhan."
"Jangan manggil gue pake nama Tackey!" sentak Taksaka jengkel karena Tibra memanggilnya dengan nama yang menurutnya sebuah ledekan.
"Kalau gue lebih suka manggil lo dengan nama Tackey, gimana?"
Wajah Taksaka merengut menatap Tibra. "Sebenarnya, apa yang lo inginkan?"
"Gue cuma ingin tahu, siapa yang nyuruh lo ngerusuh di Indomei? Atau gue bisa aja laporin lo ke bokap lo, gue tahu siapa bokap lo."
"Laporin aja, dia nggak peduli juga sama gue," balas Taksaka, Tibra melihat ada kilat emosional di matanya.
"Kalau gitu, bisa aja gue bunuh lo."
"...."
"Apa lo sekarang takut?"
"Cih! Takut? Enggak! Gue nggak pernah takut." Taksaka meludah dan mengeluarkan sebuah pedang samurai dari balik jaket kulit yang dikenakannya.
"Lo pikir, cuma lo yang bisa bunuh orang?" Taksaka mengayunkan samurainya ke arah Tibra, yang dihindari Tibra tepat pada waktunya. Tibra berusaha tidak membalas, dia hanya menghindari serangan Taksaka yang semakin lama semakin brutal, mengayunkan samurai tajam berkilat itu untuk menebas tubuhnya.
Sampai akhirnya Tibra pada titik lelah untuk mengikuti permainan Taksaka, dia melakukan gerakan berbalik mendadak saat Taksaka menyerangnya secara langsung, Tibra menjegal kaki Taksaka yang langsung kehilangan keseimbangan, tersungkur dan samurai terlepas dari tangannya.
Samurai yang terlempar dari tangan Taksaka diambil oleh Tibra dan Taksaka bisa merasakan dingin besi samurai di dekat lehernya. Deru nafas Taksaka memburu, perpaduan kemarahan dan juga rasa takut yang memompa cepat darahnya dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
"Sekali samurai ini gue gerakin, lo bisa aja sampai ke neraka."
"Geng gue bakalan balas dendam," balas Taksaka dengan suara rendah menyimpan kemarahan.
"Tetep aja, meski geng lo balas dendam ke gue berapa kalipun, ga bakalan ngembaliin hidup lo. Lo udah mati, that's all."
"...."
Taksaka terdiam, merasa teramat marah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa melakukan apapun saat ini, dan sialnya kata-kata Tibra benar. Jika dia mati hari ini, semuanya berakhir, balas dendam yang dilakukan gengnya kemudian hari, juga tidak akan membuat perubahan apapun.
"Gue harap lo masih bisa berpikir jernih Tackey." Tibra menjauhkan samurai dari leher Taksaka, membuat lelaki muda itu menghirup nafas dalam-dalam penuh kelegaan.
"Gue harap lo bisa ngasih gue penjelasan soal keributan yang geng lo buat di Indomei."
Taksaka bergerak, bangkit dari lantai plester berdebu, dan berhadapan dengan Tibra.
"Kalau lo datang karena disuruh sama pemilik Indomei, namanya Sultan, suruh aja dia nanya soal Radja, dia pasti udah paham kalau denger nama Radja."
"Radja?"
"Adik tiri Sultan. Sadewo Wirjasoesmita itu punya istri dua, ibunya Radja dan Kaisar, sama ibunya Sultan. Radja nggak suka Sultan megang bisnis bokapnya sejak Kaisar sibuk pencalonan pemimpin daerah, makanya Radja nyuruh kita buat bikin kacau Indomei, biar bokapnya cabut kekuasaan Sultan."
"Sultan agak tersingkir kalau soal bisnis, makanya dia gabung sama bisnis keluarga Soemarsono, baru belakangan ini dia gabung sama bisnis bokapnya, itu pun setelah Kaisar terlalu sibuk dan nggak sempet ngurus bisnis, sementara bokapnya, gue denger dari Radja lagi sakit dan dirawat di Jerman."
Suatu informasi yang tidak Tibra duga, bahkan Sultan juga tidak. Sultan bahkan menyangka dalang di balik kekacauan bisnis keluarganya Hazel atau Johnny. Ternyata, semua sabotase ini terjadi karena perselisihan dalam keluarga.
"Jadi, kalau Sultan mau selesaiin masalah dengan nyingkirin orang, sebaiknya dia nyingkirin Radja. Karena kalau dia nyingkirin gue, tetap aja, Radja bisa menyuruh geng lain buat bikin rusuh, selama Sultan megang bisnis Indomei."
"Ada yang pengen lo tanyain lagi?" tanya Taksaka pada Tibra yang nampak tekun mendengar penjelasan Taksaka.
"Kenapa lo mau disuruh Radja?"
"Pertama, duit, dia bayar gue dengan harga yang lumayan, kedua dia punya kekuatan, geng gue akan semakin kuat saat bergabung sama dia. Dia juga punya geng motor, cuma, geng dia lebih eklusif, pake motor-motor mahal, dan nggak modelan geng dia ngelakuin kebrutalan kecil kayak yang geng gue lakuin, tapi, geng mereka cukup powerful dan ditakuti."
"Gue rasa informasi dari lo udah cukup jelas. Thanks Tackey."
"Sekali lagi manggilin gue Tackey, gue bakal ngajak geng gue buat ngeroyok lo!"
Tibra tertawa kecil. "Lo ternyata tetap bocah meski tampang lo gahar dan keberanian lo cukup mengesankan."
"Gue harap kita nggak bakalan ketemu lagi, karna kalau kita ketemu lagi, endingnya bisa jadi buruk."
"Lo mau bunuh gue?"
Tibra mengedik. "Nggak tahu, itu tergantung perintah."
"Makanya, lebih baik, kalau kita nggak pernah ketemu."
"Kalau pun ketemu, gue masih utang satu nyawa. Tadi itu nyaris aja lo bunuh gue, tapi lo lepasin gue. Gue sebenarnya malu ngakuin, tapi gue merasa berhutang nyawa, kalau kita ketemu, gue bakalan balas lo."
"Nggak usah ngerasa utang, gue emang nggak bermaksud bunuh lo, tadi gue cuma kasih lo shocking theraphy."
"Sekali gue bilang hutang, ya hutang. Jangan malu-maluin gue, sebagai ketua KBH RX, pantang bagi gue buat ngerubah omongan."
"Terserah lo aja kalau gitu." Tibra melemparkan samurai Taksaka agak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Gue udah selesai, thanks for the time, Tackey."
Taksaka merengut. "Jangan manggil Tackey!"
Tibra hanya tertawa kecil, lalu berjalan menjauhi Taksaka yang berjalan berlawanan arah untuk mengambil samurai yang dilemparkan Tibra.
***
Hujan turun deras tepat saat jeep yang dikemudikan Tibra masuk ke basement apartemen. Tubuhnya terasa sangat lelah, jika dipikir-pikir pekerjaannya sekarang lebih rumit. Dahulu, dia hanya akan datang dan melakukan tindakan, lalu selesai, tapi sekarang, dia seperti semacam negosiator yang harus mendengarkan penjelasan dari berbagai pihak yang bertikai.
Para konglomerat yang ribut dengan sesama mereka, belum lagi, ribut sesama anggota keluarga, memperebutkan kekuasaan di perusahaan dan juga harta warisan orangtua.
Jika dipikir-pikir, Tibra merasa hidupnya lebih baik. Dia hanya sendirian, tidak perlu memikirkan hubungan dengan saudara atau kerabat, dan juga terhindar dari pertikaian akibat perebutan harta atau ketidakcocokan lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama hidup di dunia ini, merasa kesepian setiap saat dan mempertanyakan mengapa dirinya dibiarkan selamat dan hidup hingga sekarang, Tibra menemukan satu sisi menyenangkan dari kesendiriannya. Dia tidak perlu repot mengurusi dan memelihara relasi dengan orang lain, yang disebut saudara.
Pikiran random Tibra berhenti saat lift berdenting dan membuka tidak lama kemudian, menghantarkan Tibra sampai di lantai di mana unit apartemennya berada.
Dia segera masuk ke dalam unit apartemennya, memesan makanan lewat layanan ojek online, dan mandi sementara pesanan makanannya disiapkan restoran sebelum dipickup oleh ojek online.
Tubuh lelah Tibra terasa lebih segar setelah aliran air hangat membasuh tubuhnya. Dia keluar dari kamar mandi, mengambil t-shirt dari walk in closet dan melemparkan diri ke sofa, menyalakan televisi dan menonton chanel National Geographic.
Dia tengah asyik dengan tayangan penelitian mumi Mesir saat terdengar bel di pintu apartemennya. Tibra segera beranjak dari sofa tempatnya duduk, kebetulan perutnya sudah sangat lapar dan pesanan makanannya sampai tepat waktu.
Dia tidak mengecek tamu yang ada di depan pintunya terlebih dahulu, dia langsung membuka pintu dan alisnya mengernyit penuh tanya saat menemukan seseorang, bukan driver ojek online yang membawakan pesanan makanannya, tetapi seseorang yang asing berada di hadapannya, tersenyum padanya begitu ramah, membuat rasa janggal mendatangi dirinya.