Mira Pergi Lahiran

1073 Kata
Nikah KUA Bab 9 : Mira Pergi Lahiran Hari terus berlalu, aku mulai jarang keluar rumah karena malas dengan ghibahan para tetangga yang sengaja membesarkan volume suara jika melihatku lewat di jalan. Walau berusaha untuk tak memasukkan kata-kata mereka ke relung hati, tapi nyatanya aku terasa juga. “Jangan banyak melamun, Sayang!” Suara Bang Yusril mengagetkanku. Aku mendongakkan kepala saat melihat pria jangkung itu muncul dari balik pintu dengan tampilannya yang baru saja pulang dari mengembala. Dengan berpegang ke dinding, aku berusaha bangkit sebab beban semakin berat sehingga aku selalu kesusahan jika hendak bangun dari duduk atau juga bangkit dari berbaring. Dengan sigap, Bang Yusril memegang lenganku dan membantu untuk berdiri. Aku tersenyum dan hendak memeluknya. “Jangan, Dek! Nanti saja kalau Abang udah wangi.” Bang Yusril mundur ke belakang. Aku menahan tawa melihat tingkahnya yang kini malah setengah berlari menuju dapur. Aku mengekor di belakangnya untuk menyiapkan kopi dan makanan. Taklama kemudian, Bang Yusril sudah menghampiriku di depan meja makan kami lalu duduk di hadapanku. “Sayang, ini gaji Abang bulan ini. Maaf, ya, Abang cuma bisa kasih dua ratus lima puluh ribu saja soalnya lima ratusnya buat bayar cicilan pinjaman dengan Juragan Burhan.” Bang Yusril memberikan lima lembar uang lima puluh ribuan kepadaku. “Nggak apa, Bang. Kalau Adek boleh tahu, Abang punya cicilan apa sama Juragan Burhan?” tanyaku dengan menatapnya. Memang sih, dia selalu menyebutkan kalau harus bayar cicilan hutangnya, tapi sampai saat ini aku belum tahu juga hutang apa itu. Sebenarnya, aku tak suka jika suamiku doyan ngutang. “Abang punya sedikit hutang dengan Juragan, tapi bulan ini udah habis kok. Jadi, bulan depan kita akan terima gaji utuh. Pas deh, untuk modal kamu lahiran nanti.” Bang Yusril meraih gelas kopinya. Aku merengut dengan menatap uang itu, bukannya karena terlalu sedikit, tapi aku selalu penasaran akan sifat Bang Yusril yang masih suka main rahasia-rahasiaan denganku. “Maaf, ya, Dek, kalau uangnya cuma segitu. Abang tahu, uang segitu mana cukup untuk makan sebulan, walau beras dan sayuran kita nggak beli. Kamu yang sabar, ya, doakan Abang semoga hidup kita akan berubah menjadi lebih baik seiring dengan bergulirnya waktu.” Bang Yusril menggenggam tanganku. “Katakan pada Adek, apa yang Abang lakukan di Kota setiap hari sabtu dan minggu itu? Abang punya usaha apa?” tanyaku dan berharap kali ini ia mau mengatakannya. Bang Yusril tertawa. “Jangan sekarang, nanti saja! Abang masih malu untuk mengatakannya,” ujar Bang Yusril yang membuatku semakin penasaran saja. “Ya sudah, Adek mau ngambek kalo nggak dikasih tahu juga.” Aku meletakkan uang pemberiannya di atas meja lalu melipat kedua tangan di d**a, di atas perutku yang kian membuncit karena sudah masuk sembilan bulan. “Hahaaa ... ngambek kok bilang-bilang, ada-ada saja!” Dia kembali tertawa dengan mengusap jilbab yang melekat di kepalaku. Aku mengerucutkan bibir dengan lirikan tajam ke arahnya. “Abang kasih clue saja deh, ya. Saat ini, Abang sedang mengusahakan tiga hurup dari nama belakang. Jadi kan, nama Abang ‘kan cuma Yusril doang, jadi rencananya mau ditambah gitu. Nah gitu-gitu deh .... “ “Ish, cluenya nggak bisa dicerna. Abang nyebelin!” Aku bangkit dari kursi lalu berlalu dari dapur. Terdengar tawa dari suamiku itu, heran ... suka sekali bikin aku penasaran tapi aku yakin, yang dilakukan Bang Yusril pasti yang terbaik untuk masa depan kami berdua. Aku cuma pura-pura aja kok ngambeknya. Aku mengulum senyum. *** Pagi ini, setelah Bang Yusril pamit bekerja, aku ingin main ke rumah Ibu. Dengan membawa tepung terigu, telor dan gula, aku pingin sarapan kue lempeng buatan dia, yang menurutku apa pun yang dibuatnya pasti akan terasa enak. Tinggal ditambah parutan kelapa yang pastinya akan terasa semakin gurih. Buah kelapa pasti ada di rumah Ibu, sebab di belakang dan samping rumah Ibu kan banyak pohon kelapa. Rasanya segar sekali jalan pagi di desa ini sebab sudah lama aku jarang melakukan ini semenjak mulut para tetangga semakin berbisa. “Mau ke mana, Nai?” sapa salah seorang tetangga yang sedang menjemur baju di samping rumahnya. “Mau ke rumah Ibu,” jawabku sambil melempar senyum sembari mempercepat langkah karena malas jika diajak untuk berghibah. “Udah makin gede itu perutnya, udah bulan lahirnya, ya?” Tetangaku yang bersama Maslah itu kembali bertanya. “Iya,” jawabku lagi. Tak terdengar pertanyaan lagi darinya. Taklama kemudian, langkahku telah tiba di depan rumah Ibu. Eh, di depan rumah Bude Nani ada banyak orang itu, Ibuku juga ada di sana rupanya. Apa Mira udah mau lahiran, ya? Yah dasar aku, biar selalu dihina tapi selalu mencoba ramah dengan keluarga walau sebenarnya cuma kepo. “Naima,” ujar Ibu dengan mengusap bahuku. “Ada apa, Bu? Mira udah mau lahiran?” tanyaku saat melihat beberapa tetangga juga hadir di sana, menjadi penonton saat Mira keluar rumah dengan dandanannya yang mentereng, sedang suaminya menyeret sebuah koper. Nenek dan Bude Nani mengekor di belakang Mira, mereka semakin mendekat ke arah mobil mengkilatnya itu. “Eh, ada Naima. Aku mau pergi lahiran dulu ke rumah sakit, ya. Entar minggu depan sambut aku, ya, dengan karpet merah sebab aku akan pulang dengan pangeran tampanku, buah cintaku dengan suami tercinta, Bang Amir.” Mira berkata dengan gaya soknya. “Emang udah keluar tanda, ya, Mir?” tanyaku. “Mira ‘kan mau dicaesar, jadi nggak perlu nunggu tanda-tanda lagi. Orang kaya mah bebas mau lahiran kapan pun, dan Mira maunya lahiran hari ini, ditanggal cantik ini yaitu 20-02-2020.” Bude yang menjawab, dengan gaya sombong seperti biasanya. “Oh, mau dioperasi?” Aku menelan ludah sambil mengelus perut, terbayang melahirkan dengan cara dibelah ke perutnya itu. “Iya dong, aku malas lahiran lewat jalan bawah, soalnya gak mau capek. Mending dicaesar aja, biar nggak ngerasain sakit dan tentunya ... organ kewanitaan tetap cantik. Udah dulu, ya, kamu yang cuma bakalan lahiran di dukun beranak takkan ngerti dengan prinsip istri seorang manager sepertiku. Byee .... “ Mira masuk ke dalam mobil. “Makanya nyari suami itu yang kaya, Nai, jangan yang kere kayak Si Gembala itu. Lihat saja Mira, nikahnya dipestain gede, terus pas hamil dibikinin acara sampai dua kali, dan sekarang lahiran difasilitasi biar nggak ngerasain sakit,” cibir Nenek dengan ketus lalu masuk ke dalam mobil Amir. Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah para orang kaya baru itu, sombongnya makin selangit. Mau lahiran aja gayanya kayak artis aja, kudoain moga lancar deh lahirannya. Sebelum para tetangga berkomentar pedas bin sengit, segera kugandeng tangan Ibu untuk menyeberang ke rumahnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN