Gara-gara Nikah di KUA
Bab 10 : Mengenaskan
Aku duduk di lantai dapur Ibu sambil menunggu kue lempeng yang sudah di dalam kuali, tinggal menunggu mateng aja. Berkali-kali aku menelan liur karena sudah tak sabar untuk menyantap kue yang tadi malam masuk ke dalam mimpi.
"Ini, Nai, udah mateng kue lempengnya." Ibu meletakan kue dengan bentuk lempengan itu di hadapanku.
"Wangi sekali, Bu." Aku mengendus bau wangi kue berbahan dasar tepung terigu itu.
"Ibu bikinin air teh dulu, ya, biar nggak seret makannya," ujar Ibu sambil bangkit menuju meja kayu di pojokan, tempat penyimpanan kopi gula.
"Maaf, Bu, Nai merepotkan." Aku nyengir dengan sambil mencomot kue lempeng buatan Ibu.
"Hmm ... Jarang-jarang nggak apa, jangan setiap hari saja," jawab Ibu sambil tersenyum.
Aku menahan tawa dan terus menikmati kue yang memang sudah lama ingin kumakan, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi.
***
Saat membuka mata subuh ini, aku langsung terbayang kue putu kuning yang dijual Mak Long Salwa di ujung jalan. Sudah lama aku tak pernah memakannya semenjak harganya naik jadi dua kali lipat. Dua cuma seribu aja satu, tapi kini jadi dua ribu. Beli sepuluh ribu cuma dapat lima, nggak puas.
"Kenapa, Dek, kok ilernya sampai netes gitu? Cepat ambil air wudhu sana!" ujar Bang Yusril sudah rapi dengan pakaian sholatnya.
Aku mengerucutkan bibir sembari bangkit dari tempat tidur, lalu mengeluarkan mukena dari dalam lemari dan melangkah keluar dari kamar.
Kuletakkan mukena di belakang Bang Yusril lalu melangkah menuju dapur untuk berwudhu. Setelah itu kami melaksanakan sholat berjamaah.
Setelah sarapan terlebih dahulu, Bang Yusril pamit pergi bekerja. Aku melambaikan tangan kepadanya, lalu turun ke kebun di samping rumah, memetik sayuran segar yang kemarin ingin dibeli Kang Jamal, tukang sayur keliling desa ini. Karena hasil sayuran yang terlalu banyak, aku menjualnya separuh daripada busuk di pohonnya.
Taklama kemudian, Kang Jamal pun tiba untuk mengambil sayur pesanannya yang sudah kumasukkan ke dalam karung.
Ada tiga karung sayuran yang ia pikul masuk ke dalam gerobaknya. Aku tersenyum puas melihat hasij kebunku yang melimpah ruah.
“Nai, delapan puluh ribu ya semua sayurannya,” ujar Kang Jamal sambil mengeluarkan uangnya dari saku celana.
“Ya elah, genapin seratus ribu dong, Kang!” jawabku sambil mengusap perut buncit ini karena terasa gatal.
“Baiklah, dua puluh ribunya buat calon bayimu,” ujar Kang Jamal sambil mengulurkan uang sepuluh ribu sebanyak sepuluh lembar, matanya terlihat menatap perutku.
“Makasih, Kang, moga laris manis.” Aku tersenyum senang.
Kang Jamal pamit pergi dengan mendorong gerobak berisi sayurannya. Segera kumasukkan uang itu ke saku baju lalu melangkah meninggalkan area rumah. Akhirnya bisa beli kue putu kuning juga, semoga aja belum habis. Aku mempercepat langkah menuju warung Mak Long Salwa.
***
Dengan tersenyum senang sambil sesekali menatap kamtong plastik di tangan kanan, langkah ini menuju rumah Ibu. Aku akan memakannya bersama Ibu biar lebih nikmat. Mak Long Salwa juga memberi bonus, lima belar ribu dapat sepuluh kue.
Taklama kemudian, aku telah tiba di rumah Ibu. Eh, rumah Ibu malah kosong sedang seluruh pintu dan jendela terbuka.
“Nai, udah lama kamu?” Terdengar suara Ibu dari depan rumah.
“Dari mana, Bu?” Aku menghampirinya di teras lalu duduk meleseh di lantai.
“Dari rumah Budemu, jenguk Mira. Dia udah pulang lahiran kemarin siang,” jawab Ibu sambil duduk di sampingku.
“Oh, ya? Gimana kabarnya?” tanyaku sambil mengeluarkan kue putu kuning yang berbungkus daun simpur.
“Mengenaskan, Nai. Moga kamu nanti lahiran normal saja, ya!” Ibu mengusap perutku.
“Makan, Bu!” Aku membuka pembungkus kue putu dan bersiap mencomotnya, tentunya dengan dicocol parutan kelapa muda. “Mengenaskan gimana? Bukannya pas pergi kemarin dia happy-happy aja?”
Ibu menarik napas sejenak, lalu mengambil satu kue putu dan memakannya.
“Mira nangis seharian, Nai, dia kesakitan karena tubuhnya nggak bisa digerakkan dengan bebas. Ini aja dia Cuma bisa berbaring di tempat tidur saja, Bude Nanimu yang ngurusin anaknya. Udah gitu, anaknya rewel pula soalnya Mira nggak bisa ngasih ASI anaknya.” Ibu bercerita dengan nada bicaranya yang khas yaitu dengan mendayu-dayu, ia begitu prihatin dengan keponakannya yang kaya raya itu.
“Apanya yang sakit, Bu? Bukannya ini sedah seminggu lebih, masa masih sakit sih?” Aku mengerutkan dahi.
“Nai, kamu lupa ya kalau Mira melahirkan dengan operasi, perutnya dibelah kayak ikan yang mau dibuang perutnya. Ihh ... Ibu ngeri, semoga kamu nanti lahirannya lancar, Nak.” Ibu kembali mengusap perutku.
“Doakan saja ya, Bu, moga Nai lahirannya normal dan lancar.” Aku tersenyum.
“Kamu lahirannya di rumag Ibu saja, ya, biar Ibu enak ngurusin kamu,” ujar Ibu lagi.
“Hmm ... Nai mau lahiran di gubuk kami aja, Bu,” jawabku dengan menatap wanita yang begitu menyayangiku itu, sebab hanya aku saja yang rumahnya dekat sama Ibu dan sering ketemu sebab dua kakakku tinggal di desa yang berbeda. Sedangkan adik bungsuku, dia mondok di pesantren. Dia menjadi anak angkat Ustad pengelola pesantren, jadi dia gratis menempuh ilmu di sana.
“Ya sudah, terserah kamu saja. Yang penting lancar, kamu dan calon cucu Ibu sehat wal’afiat.
Aku mengaminkan doa Ibu sambil mengusap perut. Tanpa terasa, dua bungkus kue putu itu telah habis kumakan bersama Ibu.
Selama duduk di depan teras Ibu, teh juga sudah habis dua gelas. Napsu makanku begitu membludak akhir-akhir ini. Eh, aku jadi kepingin jenguk Mira.
“Bu, Naima mau jenguk Mira, ya. Ibu mau ikut atau nggak?” Aku bangkit dan berdiri.
“Kamu aja deh, Nai, Ibu kan udah tadi. Kamu hati-hati jalannya, Ibu rasa risi lihat kamu masih sukan berliaran di saat perut udah gede gitu.” Ibu menatapku dengan cemas.
“Bu, wanita hamil gede itu memang bagusnya banyak gerak biar enak lahirannya. Ya sudah,Nai pergi dulu.” Aku mencium tangan Ibu. “Assalammualaikum.”
Aku menyerangi jalanan, lalu melangkah di perkarangan rumah Bude Nani. Dari arah teras saja sudah terdengar suara tangis yang beradu, sehingga salamku tak ada yang menyahut.
Taklama kemudian terlihat Amir dengan penampilan awut-awutan, baju baru dikancing setengah, rambut berantakan. Sepertinya ia hendak berangkat kerja.
"Assalammualaikum, Amir. Mira mana? Aku mau jenguk anak dan istrimu yang baru pulang lahiran," ujarku.
"Waalaikumsalam. Masuk aja, Nai! Mira dan bayi kami ada di kamar," jawab Amir sambil berlalu menuju mobilnya.
Aku melangkah masuk, menapaki lantai keramik rumah Bude. Di desaku ini, kalau lantai rumah udah pakai keramik, itu tandanya dia orang kaya. Ya ampun, biarpun rumahnya bagus dan gede tapi berantakan. Segala macam perabot bayi bergetakan saja di lantai.
"Assalammualaikum, Bude Nani, Mira, ini ada Nai mau jengun dede bayi yang baru lahiran," ujarku dengan setengah berteriak.
Suara tangis Mira langsung mereda, hanya tinggal tangis bayinya saja. Bude Nani membuka pintu kamar dengan sambil menggendong cucunya.
"Ada apa, Nai?" tanya Bude dengan sinis.
"Mau jenguk Mira, Bude. Kata Amir, Mira ada di kamarnya. Tadi Nai ketemu dia di teras."
"Mira ada di kamarnya, lagi sakit dia," jawab Bude ketus dengan masih berusaha mendiamkan bayi Mira dengan cara menyumpalnya dengan s**u botol.
Aku mengintip ke kamar Mira, sepupuku itu terlihat sedang berbaring dengan posisi terlentang, wajahnya sembab. Ia terlihat begitu mengenaskan, benar kata Ibu.
"Mira, gimana kabarmu?" tanyaku pelan sambil mendekat ke arah Mira.
"Mau apa kamu ke sini, Naima? Mau ngetawain aku, gitu? Pergi kamu!" teriak Mira tiba-tiba.
"Siapa yang mau ngetawain kamu, Mira? Aku cuma mau ngucapin selamat aja udah lahiran," jawabku dengan merengut.
"Jangan sok-sokan mau ngucapin selamat segala, aku gak butuh itu!" Mira kembali berteriak dengan berusaha meraih bantal dan melemparnya ke arahku tapi tak kena, ia malah meringis kesakitan.
"Mira, kamu jangan ngamuk kayak gini! Kamu kan lagi sakit. Ya udah, aku pulang aja. Semoga kamu cepat pulih, ya."
"Melahirkan itu sakit, Naima, aku nyesal hamil kalau tahu akan sesakit ini!" Mira menangis.
Aku tak berani mendekat dan memilih pulang saja, ya penting sebagai saudara, aku sudah menjenguk dan mendoakan kebaikan untuknya.
Bersambung ....