Meski Ruby tak pernah mengakui apa yang dituduhkan padanya, dia tetap divonis bersalah dalam persidangan. Hakim menjatuhkan hukuman kurungan penjara selama lima tahun untuk Ruby. Tak ada yang bisa Ruby lakukan selain menerima hukuman tersebut karena dia telah begitu lelah untuk terus bertarung.
Sekuat apapun Ruby berusaha melawan dan meneriakkan kebenaran, pada akhirnya dia tetap dikalahkan oleh semua bukti yang direkayasa dengan sempurna. Ruby nyaris putus asa, terlebih saat mendengar jika kondisi ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit kian memburuk.
Ruby menangis tanpa suara di sudut penjara. Kabar terakhir yang didengarnya mengatakan jika saat ini ibunya sedang kritis dan dalam keadaan koma. Sebelum tak sadarkan diri, katanya sang ibu terus saja menyebut nama Ruby. Hal itu membuat Ruby semakin hancur dan tenggelam dalam penyesalan.
"Maafkan aku, Bu. Seharusnya aku mendengarkan kata-katamu. Seharusnya aku tak terbuai bujuk rayu Arslan dan sadar diri jika dia bukanlah sesuatu yang bisa aku gapai. Semua tidak akan menjadi seperti ini jika aku tidak tergoda rayuannya," gumam Ruby di tengah isakannya yang pelan dan hampir tak terdengar.
"Sekarang ibu juga harus menderita karena kesalahanku. Maafkan aku, ibu ...."
Penyesalan itu terasa begitu nyata bagi Ruby. Hidupnya hancur karena salah mempercayai lelaki. Sekarang tak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki semuanya. Bahkan, untuk membesuk ibunya yang sedang sekarat saja dia tidak bisa.
Mungkin karena terlalu banyak menangis, Ruby merasakan kepalanya berdenyut hebat dan pandangannya menjadi buram. Tak berselang lama, tubuhnya rebah begitu saja di lantai penjara. Ruby jatuh pingsan setelah kelelahan menahan suara tangisnya sendiri.
Saat kembali membuka mata, Ruby mencium aroma desinfektan yang kuat serta mendapati dirinya berada di sebuah ruangan berwarna putih. Dia dirawat di rumah sakit dengan kondisi tangan terborgol.
Tak lama setelah siuman, seorang dokter datang untuk kembali memeriksa kondisi tubuh Ruby.
"Demamnya sudah turun, tapi kondisi tubuh Anda masih lemah," ujar dokter tersebut pada Ruby.
"Anda stres dan kelelahan. Tubuh Anda juga mengalami dehidrasi. Meski tidak terlalu parah, tapi jika dibiarkan, ini akan berbahaya untuk Anda dan janin yang sedang Anda kandung," tambah dokter itu lagi.
"Janin?" ulang Ruby dengan raut wajah terkejut.
"Ya, Anda sedang mengandung, Nona Ruby. Janin Anda saat ini sudah berumur lima belas minggu. Apa sebelumnya Anda tidak tahu kalau Anda sedang hamil?" Dokter itu balik bertanya.
Ruby menggeleng pelan. Dia tak tahu dan tak sadar sama sekali jika ada kehidupan lain yang bersemayam di dalam dirinya, bahkan sampai sudah berumur lima belas minggu. Mungkin karena semua permasalahan yang sedang dihadapinya saat ini, Ruby jadi tak begitu mempedulikan saat ada yang terasa berbeda pada tubuhnya. Dia sadar jika tiga bulan belakangan sudah tak mendapatkan haid lagi, tapi dia pikir itu efek karena dirinya terlalu stres.
Dua hari dirawat dirumah sakit, akhirnya Ruby kembali ke penjara karena kondisi tubuhnya sudah kembali membaik. Beban di hatinya kini bertambah karena mengetahui dirinya harus hamil anak dari lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
"Apa yang sedang Engkau lakukan padaku, Tuhan? Tidak cukupkah semua penderitaan ini? Kenapa aku harus mengandung anak lelaki b******k itu? Kenapa?" Ruby meracau dengan nada putus asa sembari memukul-mukul perutnya sendiri. Beruntung ada beberapa napi lainnya yang kemudian menahan Ruby agar tak menyakiti dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat, akhirnya Ruby bisa tenang meski wajahnya terus basah karena air mata. Tapi rupanya penderitaan Ruby tak hanya sampai di situ. Selang beberapa hari, seorang sipir datang memanggil Ruby dengan wajah yang terlihat seperti menahan ekspresi buruk. Seolah apa yang hendak disampaikan adalah sesuatu yang tak mengenakan untuk didengar.
"Saudari Ruby, kami baru saja mendapatkan kabar jika ibu Anda meninggal dunia hari ini." Sipir perempuan itu memberikan informasi yang terdengar seperti gelegar petir di telinga Ruby.
"Apa?" Ruby bergumam tak percaya. Pandangannya langsung mengabur karena air mata. Dia tak lagi mampu mendengar kelanjutan kalimat yang disampaikan padanya.
Dunia Ruby runtuh seketika. Pijakan terakhir yang menopang tubuhnya kini juga ikut amblas tak bersisa. Hal pertama yang ingin dia lakukan saat bebas nanti adalah meminta maaf pada sang ibu, tapi hal sederhana itu pun tak akan bisa lagi ia wujudkan. Tak ada yang bisa Ruby lakukan selain menangis sejadi-jadinya. Rasanya dia juga ingin mati, tapi tak ada celah baginya untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Dengan pakaian serba hitam dan wajah yang kuyu, Ruby hadir di pemakaman ibunya, tentu saja dengan pengawalan ketat dari pihak kepolisian. Air mata perempuan itu kembali jatuh tak tertahankan saat melihat peti mati sang ibu dimasukkan ke liang lahat. Ruby merasa telah menjadi anak paling berdosa di muka bumi ini. Ibunya yang penyayang dan baik hati harus menderita sampai akhirnya meninggal dunia karena dirinya.
"Andai putrimu ini tidak naif dan bodoh, Bu. Semua ini pasti tidak akan terjadi. Ibu tidak perlu menderita dan berakhir dengan menyedihkan seperti ini." Ruby meratap di depan batu nisan ibunya.
"Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku ...." Tangis Ruby kembali pecah tak tertahankan.
Sesaat setelah pemakaman selesai, gemuruh guntur terdengar dan hujan seketika turun, mtmbasahi area pemakaman. Orang-orang berhamburan untuk mencari tempat berteduh, sedangkan Ruby dikawal kembali oleh pihak kepolisian menuju ke dalam mobil polisi. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil mewah berwarna hitam datang dan berhenti di jalan utama menuju makam ibu Ruby.
Ruby berhenti dan melihat ke arah mobil tersebut. Sesosok lelaki dengan setelah hitam yang mahal tampak turun dari sana sambil membawa karangan bunga. Seorang pengawal dengan setia memegangkan payung untuknya. Lelaki itu tak lain adalah Arslan, orang yang paling tak ingin Ruby lihat saat ini.
Tubuh Ruby menegang melihat Arslan yang berjalan mendekat ke arah makam ibunya. Amarah dan kebencian tak bisa lagi Ruby sembunyikan. Setelah semua yang telah Arslan lakukan padanya, sekarang dengan santainya lelaki itu datang bak seorang malaikat.
Arslan tak mempedulikan sorot mata tajam Ruby yang mengarah padanya. Lelaki itu meletakkan karangan bunga yang dibawanya di atas makam ibu Ruby. Dia menunduk dalam di hadapan makam seolah ikut bersedih atas meninggalnya ibu Ruby, kemudian berjalan menghampiri sang mantan istri yang masih mematung.
"Aku turut berduka cita, Ruby." Lelaki itu mengucapkan kalimat belasungkawa kepada Ruby.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arslan, menjadi jawaban Ruby atas kalimat belasungkawa yang Arslan ucapkan padanya.
"Berhentilah bersandiwara, Berengsek!" teriak Ruby murka. Petugas kepolisian yang tak memprediksi tindakan Ruby langsung menahan perempuan itu dan kembali memasangkan borgol di kedua tangan Ruby yang sebelumnya sempat dilepas. Pengawal Arslan juga tampak memasang postur hendak menyerang, tapi Arslan tahan.
Ruby memberontak karena rasanya ingin sekali menghajar Arslan. Tapi tentu saja para polisi yang mengawalnya tak membiarkan hal itu terjadi.
"Tidak apa-apa, lepaskan dia. Sepertinya ada yang ingin dia katakan pada saya," pinta Arslan pada petugas polisi yang memegangi Ruby. Suara lelaki itu begitu tenang, terdengar seperti dia adalah orang yang bijak.
Karena permintaan Arslan, Ruby dilepaskan meski tangannya tetap terborgol.
Wanita itu menatap Arslan tajam. Senyuman asimetris kemudian tersungging di bibirnya, mengisyaratkan jika sosok Arslan yang saat ini berada di hadapannya adalah orang yang sangat memuakkan untuknya.
"Manusia menjijikkan," desis Ruby tepat di hadapan Arslan.
"Kau dan ibumu boleh senang sekarang karena rencana kalian berhasil, Arslan. Tapi jangan kalian kira semuanya berakhir di sini. Aku tidak akan pernah membiarkan kalian hidup dengan tenang. Bahkan jika aku mati sekalipun, aku akan datang menghantui kalian. Aku bersumpah!" Ruby menambahkan dengan napas memburu, sebelum akhirnya petugas kepolisian kembali membawanya masuk ke dalam mobil polisi.