Bagian 2

993 Kata
Alexa menatap ayahnya tak terima. Dia yang tadi tengah menikmati hidangan makan malam menjadi amat murka akan sang Ayah. "Sudah berapa kali aku katakan, Yah. Aku tidak mau menikah apalagi dengan orang yang tidak aku kenal!" sentak gadis itu dengan nada suara yang meninggi. "Cuma kau harapan ayah satu-satunya, Alexa! mengandalkan Marsya? itu tidak mungkin," balas Gunawan menatap putri sulungnya penuh permohonan. Alexa tersenyum sinis. "Karena dia cacat? ayah sadar putri pungut kesayangan ayah itu memang tidak laku." "ALEXA!" "Sudahlah Ayah, aku tidak mau berdebat denganmu. Intinya sampai kapanpun aku tidak akan menuruti semua perkataanmu apalagi kalau sampai harus dijadikan jaminan untuk melunasi hutang-hutangmu. BIG NO!!" Alexa bangkit lalu pergi meninggalkan ruang makan menyisakan Gunawan yang mengusap wajahnya frustasi. Tak tahu harus melakukan apa. Dia kemudian menatap putri keduanya yang mengangkat alis. "Apa?" tanya Fanny. "Aku tidak mau, Yah. Seperti apa yang dikatakan Kak Alexa, ku pikir orang yang akan menikahi putri ayah sebagai ganti karena ayah terlilit hutang itu adalah orang yang kaya raya itu pasti tapi umurnya juga pasti tak lagi muda bisa  dibilang setara usia almarhum Kakek. Aku sering menonton drama di TV jadi aku jelas akan menolaknya. Mana mau aku yang cantik dan seorang aktris ini dinikahi kakek-kakek. Apa kata dunia? sudahlah biarkan Marsya saja yang sudah jelas tak punya tujuan hidup, mengambang di atas air." Fanny juga ikutan bangkit lalu menatap Ibunya yang hanya terdiam sedari tadi. "Kalau Marsya yang menikah itu berarti beban Ibu juga akan berkurang." Gadis itu kemudian pergi meninggalkan ruang makan menyusul Kakak sulungnya. "Anak-anak benar, Gun. Apa kau tega melihat salah satu dari mereka menikahi kakek-kakek yah meskipun orang kaya sih," kata Winda. "Tuan muda Revan tidak setua itu untuk dipanggil Kakek, Win. Dia sangat Tampan, berkharisma, dan sudah sukses di usia muda. Semua wanita menginginkan dirinya," balas Gunawan namun istrinya malah mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Omong kosong supaya aku mendukungmu dan membujuk anak-anak. Sudah, kalau kau ingin menikahkan salah  satu  anak gadis mu biar Marsya saja sekalian mengurangi beban kita," ujar Winda seraya bangkit dari duduknya. "Dan yah satu lagi, jangan adakan pertemuan keluarga apapun di rumah ini. Kau ajak Marsya dan pertemukan dia dengan calonnya, jangan libatkan aku dan anak-anak. Aku tidak mau terus di susahkan oleh anak cacat itu," sambung Winda seraya pergi dari sana. Gunawan menatap tak menyangka lalu menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia juga ikutan bangkit lantas terkejut mendapati Marsya terdiam di ambang pintu ruangan, mendengarkan semua ucapan saudari dan ibu angkatnya. Ting tong! Gunawan yang hendak menghampiri Marsya terdiam saat bell berbunyi dari luar. Ada tamu. Ia mendorong kursi roda Marsya seraya melihat siapa yang bertamu. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di depan pintu mengingat rumah Gunawan yang kecil, ia membuka pintu utama rumahnya dan terdiam mendapati seorang berpakaian rapi dengan jas hitam yang melekat di tubuh kekarnya berdiri menatapnya. "Ada apa?" "Aku ingin menyampaikan amanat dari Tuan mudaku." Pria itu melirik Marsya, dari ekspresi wajah gadis cantik itu serta tatapannya yang kosong seperti tak ada kehidupan lagi dalam dirinya. "Apa yang Tuan muda Revan inginkan?" "Dia ingin menikahi putri bungsumu, dia memilih gadis yang--" "Jangan dilanjutkan," peringat Gunawan menatap tajam. Pria itu menganggukkan kepalanya lalu melirik arlojinya. "Dia ingin bertemu dengan gadis ini d--" "Di Taman, aturlah semuanya," potong Gunawan. "Seharusnya Tuan muda yang menentukan semuanya," balas pria itu. Gunawan menghela nafas panjang. "Sekali saja." "Baiklah." * Semilir angin menerbangkan rambut kecoklatan yang panjang nan bergelombang. Bersama ayahnya Marsya duduk diam sembari menahan sesak di d**a. Dua tahun ia hidup dengan keluarga angkatnya, hanya ayahnya yang tulus memberikan kasih sayang. Caci maki dari kedua saudari dan ibu angkatnya adalah makanannya setiap hari. Jika tidak ada ayah angkatnya mungkin Marsya sudah mati seorang diri. Ada orang hidup ingin mati, ada orang hidup ingin abadi, sebagian lagi mereka berserah diri. Marsya berada di antara ketiganya. Ia pikir dengan pasrah mengikuti takdir, semua akan berjalan baik-baik saja nyatanya tidak. Hatinya terus menyuarakan kata 'lelah' dianggap 'beban' dan 'aib keluarga' pernah membuatnya ingin menyerah. Ia sering bertanya pada kesendiriannya. Sampai kapan ia harus hidup seperti ini? Duduk diam di atas kursi roda dan selalu menahan lapar di perutnya jika ayahnya sedang tidak berada di rumah. Dan saat semua saudarinya mendesak ayahnya untuk menikahkannya, Marsya merasa tak tahu bagaimana harus mendeskrepsikan perasaannya. Di satu sisi ia senang akan bebas dari ucapan-ucapan menyayat hati dari ibunya tapi di sisi lain ia merasa sangat takut apalagi saat ayahnya dengan suara serak menahan tangis berkata," Tuan muda Revan adalah sosok yang keras, kejam, dan ayah takut kau akan menderita, nak." Marsya tersenyum kecil meski ia di rundung rasa takut yang luar biasa membayangkan bagaimana perangai calon suaminya. "Aku tidak apa-apa, Yah. Kau tidak perlu merasa takut." Selang beberapa menit muncul sosok pemuda dengan hoodie abu-abu juga celana jeans berwarna hitam. Pakaiannya terlihat amat santai. Gunawan segera menundukkan kepala. "Tuan muda!" Sementara Revan seperti tertegun menatap sosok gadis yang terlihat belum menyadari kedatangannya. "Ayah apa dia sudah datang?" tanya Marsya. Revan hanya terus menatap lekat dirinya. Pemuda itu nampak terpana melihat wajah cantik Marsya. Bola matanya berwarna kecoklatan, kulitnya seputih s**u, dan rambutnya yang panjang dan bergelombang. Entah dorongan darimana Revan berjongkok di depan kursi roda gadis itu. "Hai?" sapanya kikuk. Revan merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa untuk pertama kalinya ia merasa gugup pada seseorang terlebih gadis buta di hadapannya ini. Disisi lain Marsya seperti membeku mendengar suara berat Revan yang menyapanya. Revan menatap Marsya lalu melirik Gunawan. "Bisa tinggalkan kami? aku ingin mengenal dekat calon istriku." Gunawan nampak terlihat khawatir membuat Revan memutar bola matanya jengkel. "Aku tidak akan melakukan apa-apa, aku janji!" katanya. Akhirnya Gunawan mengangguk pelan lalu menatap sejenak sang putri. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pucuk kepala Marsya. "Aku tidak apa-apa ayah," kata Marsya menyunggingkan senyum kecil. Gunawan mengangguk ragu meskipun ia tahu putrinya tak akan bisa melihatnya. Ia pergi darisana saat Revan menatapnya tajam. Sepertinya Revan tidak suka menunggu. Setelah kepergian Gunawan Revan mendorong kursi roda Marsya. "Baiklah. Sekarang, aku akan tunjukkan padamu tempat mana saja yang memiliki pemandangan paling indah di kota ini," ujar Revan terdengar semangat. Padahal mereka baru bertemu, entah kemana rasa canggung itu. Mendengar ucapan Revan membuat Marsya tersenyum kecil. "Seindah apapun tempatnya tetap saja hanya gelap yang terlihat." Menjadikan tubuh Revan membeku. Pemuda itu meneguk ludahnya kasar dan dengan nada tak enak ia membalas," sorry." "Tidak apa-apa."

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN