Sembilan

1995 Kata
Shane menyesap kopinya dengan mata terpejam sebagian fikirannya tidak berada di tempat itu. Di sebuah cafe mewah yang mempunyai bilik privat sendiri. Dengan view yang sangat indah, karena berada di ketinggian 28 lantai.Aroma kopi dapat menangkannya selama sebulan ini, dia yang sebelumnya tidak terlalu suka kopi menjadi maniak kopi, sejak kehilangan Thea, dia menjadi bersahabat dengan kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Berharap bahwa pada tengah malam Thea akan memberikan kabar. Juga bersahabat dengan Handphone yang batreinya tak pernah habis. Shane tidak ingin saat Thea menghubunginya, handphonenya justru dalam keadaan mati. Seorang pria tinggi berkulit putih dan berwajah oriental datang dan langsung duduk. Menatap lama pada lelaki yang mensedekapkan tangan dihadapannya tak ingin berbicara. Hingga seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka, “Well Rio, tanpa Ma (Mario, red :D)! Apakah ada perkembangan dari pencarian Thea, ISTRIKU!!” Tekan Shane, Rio memang lelaki paling berjasa yang telah membuatnya kehilangan orang yang dicintainya. Rio menggeleng dengan senyum terpaksa karena merasa bersalah. Kacamatanya di letakkan di meja agar tidak berembun saat dia menyeruput capucino panas dengan cream yang bergambar hati. “Aku sudah mencarinya kemanapun Shane tapi dia gak ada! Aku udah menghubungi semua kolega di semua rumah sakit kalau-kalau ada pasien yang bernama Thea Wijaya yang datang, tapi nihil!” Shane mendengus pasrah, dia tak bisa selalu menyalahkan Rio juga, andai saja dia tak berbohong saat itu, andai saja dia mau lebih terbuka dengan segalanya ke Thea. Bahwa dia dan Sabrina berteman sejak kecil dan tidak mungkin baginya untuk menikahi Sabrina, sejak bayi bahkan mereka sudah saling mengenal, bersekolah di sekolah yang sama sampai SMA. Pertemanan mereka bahkan sudah busuk! Andai saja dia berani melawan papanya saat itu, dengan mengajak Thea ke Pesta, tak akan jadi seperti ini. Papa memaksa Shane pergi dengan sabrina karena di pesta itu banyak calon investor yang pasti akan merasa aman jika melihat kedekatan Shane dan Sabrina, karena perusahaan keluarga Sabrina yang sedang naik daun dan sudah tentu akan bisa menstabilkan perekonomiannya kembali karena sudah ada penjaminnya yaitu hubungan Shane dan Sabrina. “Hai Shane, Hai anak kecil!” sapa Sabrina sambil mengacak rambut Rio dengan gemas, Rio langsung manyun dan merapihkan rambutnya kembali dengan tangannya. “Ada kabar dari Thea?” Shane langsung berbicara ke intinya, ya dia mengumpulkan Sabrina dan Rio untuk menanyakan kabar istri yang telah hilang darinya. Mereka berdua yang berjanji akan membantunya mencari Thea. “Aku sudah menghubungi semua kerabatku termasuk yang diluar negri kalau-kalau Thea berada diluar negri, tapi gak ada hasil Shane.” Sabrina mengusap punggung teman sejak kecilnya itu. “Kalau memang dia pergi keluar negri Papa adalah orang yang pertama tahu Sab,” Shane mengingat hari-hari saat Thea hilang, ketika dengan tanpa diminta Papa langsung menghubungi seluruh kenalannya dan memfokuskan ke bandara di Indonesia jikalau ada nama Thea yang hendak keluar negri agar ditahan dulu. Mungkin dia juga merasa bersalah akan insiden ini. “Bukankah papa Mario tidak menyukai Thea? Masa sih dia membantumu? Bisa aja kan dia ber- “ Sabrina tak melanjutkan omongannya karena Shane sudah menatapnya tajam. “Berbohong? Tidak Sab, dan papa tidak seburuk itu.” Shane menyesap kopinya lagi sebelum berdiri dan hendak meninggalkan mereka berdua, “Mulai sekarang, kalian tidak perlu terlalu bersusah payah membantuku, aku juga akan mulai mengendurkan pencarianku, jika dia masih jodohku, pasti dia akan menemukan jalan untuk bersamaku lagi.” Shane tersenyum getir, dan setelah mengucapkan terimakasih, dia pergi. Menghilang dibalik pintu kaca. “Kasian Shane, setelah kehilangan Linda, dia harus kehilangan Thea, kehilangan dua istri dalam setahun, tidak mudah kan?” Sabrina menatap Rio yang sedari tadi tak lekat memandangnya. “Hei anak kecil, koq diam aja?” Sabrina mulai meledek Rio, ya dari dulu memang Rio selalu menjadi sasaran empuk ledekannya. Dan Rio tak pernah membalasnya. “Usia kita memang terpaut lima tahun Sab, tapi sekarang aku bukan anak kecil lagi,aku bahkan sudah bisa membuat anak asal kamu tahu. Jadi kapan kamu akan menganggap aku pria dewasa? Yang bisa mencintai kamu sebagai wanita dewasa juga!” Sabrina terlonjak kaget dengan pernyataan temannya. Ini bukan yang pertama kali Rio menyatakan cinta padanya, sudah sejak kelas satu SD Rio terus membuntutinya dan mengatakan suka suka suka, tapi baru kali ini dia mengatakan dengan sorot mata yang sangat serius dan mendominasi. Sabrina salah tingkah, tapi kemudian dia tertawa lebar, menghilangkan rasa gugupnya. “Masa? Aku gak percaya sekali anak kecil tetap anak kecil, gemes tauuuu!” Sabrina mengacak rambut Rio lagi, tetapi lelaki itu kini memajukan wajahnya hingga nafas mereka menyatu, menarik pinggang sabrina membuat bangkunya ikut tertarik sehingga tubuhnya merapat. Lalu mencium bibirnya dengan rakus. Sabrina mengatupkan bibirnya tidak siap, tapi kemudian dia membukanya sedikit membiarkan lelaki yang dianggapnya anak kecil ini membuktikan perbuatannya. Jantung Sabrina berdegup lebih cepat dari biasa dan rasanya sesuatu seperti melompat di dalam perutnya. Sabrina memegangi dadanya berharap Rio tak mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. *** Perkataan Shane tentang mengendurkan pencariannya nyatanya merupakan sebuah kebohongan besar. Dia masih saja terus mencari info, memberondong Edward yang sudah nampak semakin layu karena siang malam mendapat telepon dari Shane menanyakan perkembangan penyelidikannya. Hampir tiap hari Shane mendatangi rumah keluarga Thea baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai pak Wijaya, ayah Thea sudah menyiapkan seember air comberan untuk menyiram mobil Shane jika memang masih saja menerornya dengan pertanyaan “Apakah ada kabar dari Thea?”. Sosok yang tadinya simpati berubah menjadi mahkluk mengerikan  karena Shane! Shane yang telah menyakiti putri semata wayangnya. Mobil Audi hitam yang terparkir di garasi Shane menjadi saksi bisu betapa lelaki itu sangat merindukannya. Kini Shane duduk di kursi kemudi menyentuh stir dan mengusapnya perlahan, nafasnya terasa berat. Seharusnya Thea pergi dengan mobil ini, dengan begitu dia bisa mengetahui keberadaan Thea dari alat pelacak yang sengaja Shane pasang di mobil ini. “Hmmmmppphhhh,” Shane membuang nafasnya kasar, secangkir kopi lagi mungkin akan menenangkannya. Astaga Shane, malam ini sudah gelas ketiga yang dia habiskan. Selalu kopi kopi dan kopi, dia bahkan jarang sekali menyentuh nasi. Alih-alih melupakan Thea, Shane justru membenamkan diri dalam pekerjaannya. Setiap pagi ketika terbangun selain mengecek handphone untuk  melihat adakah pesan dari Thea? Dia akan mengecek perkembangan perusahaannya. Dan dia belum akan merasa puas jika kurva itu tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Shane bekerja hingga larut malam, bekerja tak kenal waktu untuk membunuh rasa rindu yang semakin dalam. Dia sengaja tak melewatkan satu haripun untuk libur. Bahkan dia menambah lima assistennya yang memegang beberapa jadwal berbeda. Untuk membantu Edward. Apapun akan dilakukan Shane asal dia bisa setidaknya mengesampingkan untuk mengingat Thea, meskipun dalam setiap hembusan nafasnya selalu saja terselip kata “Thea kamu dimana?” Hari demi hari dilalui Shane dengan bekerja keras, hingga akhirnya perusahaan perhotelannya kini sudah stabil kembali. Hampir setiap hari dia meeting dengan klien yang berbeda di tempat berbeda. Dia akan sangat menyukai jika klien itu berada di luar kota atau luar negri sekalian, dengan begitu dia akan mempunyai waktu panjang untuk menyiapkan slide-slide presentasi yang dikerjakan sendiri demi menyibukkannya, menyita waktunya agar tak melulu mengingat Thea. Perhotelannya sudah mencapai masa kejayaannya dipegang oleh tangan dingin Shane. Dia menaikkan gaji karyawannya dengan sangat tinggi, melebihi standar perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. Nama Matthew kakaknya pun sudah bersih, papa dengan beberapa koleganya bekerja sama untuk mencari tahu siapa biang keladi yang ingin menjebak anaknya. Dan hal itu sedikit banyak menimbulkan rasa jera di hati matthew. Dia kapok di dunia politik. Dan berjanji akan meneruskan perusahaan furniturenya kembali. Sehingga beban Shane, adiknya, agak terangkat sedikit dan bisa fokus mengurus hotel. Diputarnya undangan pernikahan dari Rio dan Sabrina, Shane berdecih. Akhirnya dua orang munafik itu menikah juga. Shane masih ingat ketika Sabrina selalu mengganggu Rio dengan rengekan-rengekan kecil ketika Rio dekat dengan wanita lain. Sabrina ingin yang diperhatikan Rio hanya dirinya. Dan Shane sangat yakin, Rio mendekati Thena hanya untuk membalas dendam ke Shane dan Sabrina yang tak jua mau membeberkan bahwa mereka sebenarnya hanya teman dan tak mungkin menikah. Hari ini tepat setahun Thea hilang, di tangannya menggantung undangan berwarna emas. Dia sangat ingin menunjukkan bahwa dia dan Sabrina tidak mempunyai hubungan apa-apa dan yang lebih diatas itu, dia sangat ingin menunjukkan betapa dia mencintainya dan kehilangan sosok Thea dalam hidupnya. *** Mario, papa Shane sudah duduk santai di sova empuk ruang kerja anaknya itu. Dia sudah berbicara panjang lebar tadi, mengenai rapat dari beberapa pengusaha di persatuan pengusaha yang akan digelar besok. “Ada proposal menarik dari Witjaksana, kamu kenal kan? Pengusaha di berbagai bidang termasuk perhotelan juga, ekspor impor dan termasuk batu bara, juga pemilik beberapa stasiun televisi.” Mario menggantungkan kalimatnya, ketika Shane menutup laptopnya tanda tertarik dengan pembicaraan ayahnya, barulah dia melanjutkan kata-katanya. “Dia punya cucu perempuan, satu-satunya pewaris seluruh kekayaannya, papa ingin kamu mengenal dia...” “Pa, ayolah. Aku aja sampai sekarang masih belum tahu gimana keberadaan istriku, ini papa sudah mau menjodohkan aku lagi? Dengan wanita lain lagi? Kapan sih papa sadar? Perusahaan ini sekarang sudah jaya tanpa aku harus menikah dengan siapapun, tanpa pernikahan bisnis!” Shane melenguh kesal, tapi dia tak sekalipun membentak papahnya dalam setiap nada bicaranya kali ini. “Ini sudah dua tahun Thea menghilang tak ada kabar Shane, papa tahu kamu masih tidak bisa melupakan tahun terberat dalam hidup kamu, kehilangan dua orang wanita yang kamu cintai sekaligus, tapi papa juga tidak suka melihat kamu seperti ini, kamu gila kerja, tidak ingat makan, tidak kenal istirahat. Mama sangat mencemaskanmu dan papa juga sama.” Suara Mario melemah. Dia sangat ingat ketika Thea menghilang, dia dan istrinya datang kerumah Shane, melihat putra bungsunya tertidur sembari memeluk lututnya di lantai. Dia masih ingat betul mata Shane yang sudah menghitam karena tidak tidur, tubuhnya yang lemah. Bahkan seorang dokter pribadi datang kerumahnya dan langsung menginfus Shane yang sudah dehidrasi akut. Saat itu dia sangat merasa bersalah. Dia berkali-kali mengucapkan maaf ke Shane, dan untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun. Dia memeluk putranya lagi dengan saat erat saat Shane sudah tersadar. Dia mencium kening anak bungsunya yang sangat disayanginya. Tak ingin kehilangan anaknya. “Pa,” Shane tiba-tiba sudah duduk disamping Mario dan mengusap lengan pria tua yang sekarang terlihat sudah ringkih itu. Mario mengerjap berusaha menghilangkan butiran air yang hampir menetes dari matanya. “Maafin papa Shane, papa gak bermaksud seperti itu, papa sadar sekarang yang papa ingin hanya kebahagiaan kamu dan Matthew, kalian berdua adalah harta berharga bagi papa.” Shane mengangguk, sebelum menjadi hal yang memalukkan lebih lanjut. Papa berdiri dan membereskan jasnya sebelum meninggalkan ruangan Shane. “Besok aku pasti datang ke acara tahunan itu pa,” Shane tersenyum lebar, dan papa mengangguk lega. Setidaknya anaknya tidak marah padanya atas ucapan tadi. *** Ballroom hotel Shane, yang sudah disulap menjadi ruangan rapat raksasa telah dipenuhi seluruh tamu undangan yang semuanya adalah pemilik perusahaan besar diindonesia. Banyak wajah-wajah orang asing di sana, karena memang sebagian investor pun berasal dari luar negri. Mereka biasanya tak akan membahas hal-hal yang memusingkan kepala dalam acara ini. Karena memang tujuan utamanya adalah mempererat hubungan bisnis dan kekeluargaan. Sebelum acara inti dimulai. Pak Witjaksana, lelaki yang rambutnya sudah memutih semua berdiri dengan satu tangan memegang tongkat yang Shane yakin harganya bisa ratusan juta melihat dari ukiran tongkat itu sendiri sangat klasik dan eksekutif. Pria tua itu memegang mic yang memang menempel pada setiap meja para hadirin. “Sebelum acara kita mulai, izinkan saya mengenalkan cucu saya yang sangat saya sayangi, dia kelak yang akan meneruskan estafet seluruh perusahaan dan aset saya. Perkenalkan Olivia Witjaksana....” pintu ballroom terbuka dan masuklah seorang wanita cantik berkulit sawo matang dengan memakai baju kerja berwarna putih dan heels yang senada, rambutnya dibiarkan tergerai. Sementara di tangannya menenteng sebuah buku agenda berwarna hitam. Semua orang bertepuk tangan sembari tersenyum menyambut wanita itu. Shane melihat dengan tatapan malas, sebenarnya dia enggan sekali melihat wajah orang yang sepertinya akan dijodohkan padanya. Pasti mereka sama saja, cantik karena permak dokter kulit, tak asli. Tapi mata Shane membulat hanya dia yang berdiri melihat wanita itu. Wanita yang sepertinya sangat dikenalnya. Yang hanya hadir di mimpi – mimpinya. “Thea....” suara Shane tercekat, ketika wanita itu dengan nyata menatap dan tersenyum kepadanya. Dari kejauhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN