Siti membuka matanya, ia yakin subuh sudah hampir tiba.
Terasa ada yang berat menindih dadanya.
'Uuhhh … tangan si abang bule ternyata.'
Siti berusaha menyingkirkan tangan Satria yang menumpang di atas dadanya.
Tapi tangan itu malah memeluknya erat.
Deg ....
Jantungnya serasa berdetak lebih cepat.
Sekali lagi Siti berusaha menyingkirkan lengan Satria, tapi sekali lagi Satria menarik tubuh Siti merapat ke arahnya.
Malah sekarang kaki Satria ikut menumpang di atas kakinya.
"Dingin," gumam Satria pelan.
"Subuh," sahut Siti.
Satria membuka matanya.
"Sudah adzan subuh ya?" tanyanya.
Siti menggeleng.
Tanpa diduga Siti, Satria naik ke atas tubuhnya, mengecupi lehernya dengan lembut, terasa sakit sedikit di kulit lehernya yang dikecup Satria.
Siti yakin lehernya pasti sudah bernoda merah bekas kecupan.
"Subuh, Bang." Siti berusaha mendorong tubuh Satria, tapi Satria malah melumat bibirnya.
Dengan ragu, dan malu-malu Siti mencoba membalas ciuman Satria di bibirnya.
Satria bersorak di dalam hati, saat merasakan respon dari Siti.
Satria melepas kancing piyama yang dikenakan Siti, kecupannya turun ke daging kenyal yang menyembul dari bra Siti.
Siti menggigit bibirnya pelan, menahan suara yang ingin terlontar dari mulutnya.
Satria menaikan bra Siti, sehingga gunung kembar milik Siti tampak seutuhnya di depan mata.
Satria menangkup dengan dua telapak tangannya, pas ... tidak kurang, tidak lebih, digenggam keduanya bersamaan.
Siti memejamkan mata, ia menggigit bibir, hingga ia merasakan asin dari darah yang keluar di bibirnya.
Tapi Siti tidak bisa lagi menahan desahan, saat bibir Satria memagut ujung buah dadanya.
Tangan Siti mencengkram bahu Satria kuat, berusaha terus menahan suaranya agar tidak terus keluar dari mulutnya.
Tangan Satria pelan meremas milik Siti dari luar celana.
Siti terlonjak bangun, membuat Satria terjengkang ke belakang.
Siti turun dari ranjang, dan langsung lari ke kamar mandi.
Ditutup pintu kamar mandi, Siti bersandar di balik pintu kamar mandi dengan nafas tersengal.
Huh ... hah ... huh ... hah ....
Dag ... dig ... dug ....
Dag ... dig ... dug ....
Tok ... tok … tok ….
"Mbak Siti … ada apa?" tanya Satria dari luar.
"Aku mau mandi."
"Mandi? Kan kita belum ngapa-ngapain."
'Belum ngapa-ngapain apanya? Tangannya, bibirnya, sudah bikin tanda dimana-mana. Bule songong ini bilang belum ngapa-ngapain! Badanku saja rasanya sudah mau meledak dari tadi, tapi dia bilang belum ngapa-ngapain. Hhhh ….'
"Emang harus ngapa-ngapain dulu baru mandi, enggak kan? Sekarang, aku mau mandi."
"Ading ... Ading Siti ... bukai pang Aa, Ding," rayu Satria.
(Adik … adik Siti tolong bukain Kakak, Dek).
"Ulun handak mandi jar Ulun, Pian bejauh sana!"
(Saya mau mandi, Kamu pergi sana!)
"Hhhhh ... iyaaa …" akhirnya Satria mengalah.
Satria keluar kamar membawa baju ganti, mau mandi di kamar mandi sebelah.
Saat Satria kembali ke kamar, Siti sudah memakai gamis dari bahan kaos, Siti tengah menyisir rambutnya yang panjang tebal, dan hitam legam.
"Sini aku sisirin." Satria merebut sisir dari tangan Siti.
Siti mendongakan kepalanya dengan mata melotot.
Cup.
Satria mengecup bibir Siti sekilas, membuat mata Siti semakin melotot.
"Matamu indah," bisik Satria.
Tok ... tok ... tok ...
"Abang … Siti, bangun …" suara Sekar memanggil.
"Sudah bangun kok, Bun." Satria membuka pintu kamarnya.
"Ayah sudah menunggu di musholla," kata Sekar.
"Ya, Bun, kami segera ke sana," jawab Satria.
Sekar melangkah pergi. Satria masuk ke kamar lagi.
"Ayah, Bunda, sudah nunggu di musholla untuk sholat subuh sama-sama," kata Satria.
"Musholla?"
"Iya ... ayolah.”
"Aku belum wudhu."
"Wudhu di musholla saja." Satria menggapai tangan Siti.
"Sebentar ambil kerudung dulu."
Siti mengambil kerudung yang ada di atas meja, di samping tempat tidur, lalu dikenakan di atas kepala dengan keduanya ujung dililitkan, dan diselipkan di lehernya.
"Sudah?"
"Inggih," angguknya.
Musholla yang dikatakan Satria itu, berupa sebuah kamar dengan karpet persis dengan yang ada di masjid.
Ada lemari di sudut ruangan yang berisi sajadah, mukena, sarung, baju koko, peci juga Al-Quran di bagian atasnya.
Ayah, dan bunda sudah ada di sana.
"Ayo Abang jadi imam," pinta Sakti.
"Ya Ayah ... tapi kita wudhu dulu ya," jawab Satria.
Usai sholat subuh, Siti mengikuti Sekar ke dapur, tak dipedulikan kode Satria, yang mengajaknya kembali ke kamar tidur mereka.
Baru sampai di dapur terdengar suara heboh dari arah ruang tamu.
"Assalamuallaikum ... pagi Kakeeekk, Neneekkk, Uncleee, Acil Sitiii …." Sakha dan Salsa berteriak seraya berlarian.
"Waalaikumsalam," sahut keempatnya serentak.
Sakti meraih Sakha ke dalam gendongannya, sedang Salsa minta digendong Satria.
"Assalamuallaikum, pagi, Ayah, Bunda, Abang, Kak Siti," sapa Safira, dan Safiq seraya mencium punggung tangan ayah bundanya.
"Waalaikumsalam."
"Ayo kita ke depan yuk, biar ibu-ibu yang nyiapin sarapan," ajak Sakti.
Sakti yang membawa Sakha dalam gendongannya, dan Safiq serta melangkah ke ruang tamu, tinggal Satria dan para wanita yang tertinggal di dapur.
"Uncle … adiknya sudah jadi belum?" tanya Salsa.
"Tanya Acil Siti." Satria mengarahkan dagunya ke arah Siti.
Wajah Siti langsung bersemu merah.
Salsa turun dari gendongan Satria, lalu mengangkat tangannya minta digendong Siti.
Siti mengangkatnya.
"Acil, adiknya sudah jadi belum?" tanya Salsa sambil memainkan ujung kerudung Siti yang lepas dari selipan di lehernya.
Siti diam sesaat, sungguh ia tidak menyangka Salsa benar-benar menanyakan hal itu padanya.
"Acil jawaaaab …." rengek Salsa.
Siti akhirnya menggeleng pelan dengan wajah semerah tomat.
"Kok belum jadi sih? Bunda sebentar tuh kalau bikin cake."
Siti tak bersuara, ia bingung harus menjawab apa.
"Tapi Bunda nggak mau bikinin adik, kata Bunda bikin adik itu capek."
Siti ternganga mendengar jawaban Salsa.
"Acil pinjam kerudungnya, ya." tanpa dapat dicegah, kerudung Siti sudah lepas lilitan di lehernya, dan jatuh dari kepala, karena ulah tangan Salsa yang tak sempat disadarinya.
"Ya ampuuuunnn … Abaaang ganas bener siih jadi plampil. Leher kak Siti sampai begitu." Safira ternganga melihat leher siti yang putih berhias karya bibir Satria yang memerah.
Siti tidak bisa menutupinya, karena kerudungnya ada ditangan Salsa.
"Bagus dong, itu tandanya Salsa bakal punya adik … ya kan, Sa." Satria terkekeh diikuti Salsa yang sebenarnya cuma ikut tertawa saja tanpa tahu apa yang ditertawakan.
Salsa mengembalikan kerudung Siti ke atas kepalanya, lalu minta diturunkan dari gendongan Siti.
Begitu Siti menurunkannya ia langsung lari menemui Sakha.
"Kalau Abang, dan kak Siti punya baby, aku merdeka dari tuntutan Sakha, dan Salsa yang tiiiaap hari minta adik," kata Safira seraya ikut tertawa.
"Maaf ya, Siti, beginilah keluarga kami, mulut-mulutnya enggak ada yang bisa dikunci, harap maklum, ya." Sekar tersenyum ke arah Siti.
"Iya, Bun, tidak apa-apa." Siti membalas senyum Sekar.
Sebenarnya Siti jadi tidak enak hati sendiri, mendengar pembicaraan seperti ini.
Entah keluarga macam apa keluarga ini, ia juga tidak mengerti.
Mereka tidak tabu membicarakan hal-hal seperti itu di antara keluarga ini.
Mereka sangat terbuka, seakan tidak ada rahasia.
Bagi orang luar sepertinya itu hal yang aneh rasanya.
Saat sarapan di meja makan, mereka asik saja makan sambil bicara, dan bercanda, hal yang tidak dijumpainya di rumah papinya.
Siti sudah menyampaikan niatnya pulang sore ini, karena niatnya datang ke Jakarta, awalnya untuk menghadiri acara pernikahan Mila adiknya, bukannya menikah seperti yang terjadi.
Ayah bunda mengijinkan ia pulang, dan meminta Satria mengantarkan istrinya.
Tapi Siti menolak, dengan alasan nenek, dan kakeknya belum tahu ia menikah, Siti minta waktu sampai papinya sendiri yang nanti akan memberitahu nenek, dan kakek soal pernikahannya.
Sakti, dan Sekar akhirnya setuju kalau Satria nanti menyusul Siti bersama papi Siti.
Niat Satria ingin menghabiskan waktu berdua dengan Siti sebelum Siti pulang musnah sudah.
Karena Sakha, dan Salsa tak mau lepas dari samping Siti, ditambah kedatangan si kembar Andina dan Andini.
Bahkan mereka semua ikut mengantarkan Siti ke bandara, benar-benar tak ada kesempatan untuk berdua saja.
"Hati-hati ya … ingat sudah punya suami, jangan lirik cowo lain," kata Satria membuat Safira, dan Andriani tertawa geli.
"Plampil kok cemburuan, hhhh ... Abang ... Abang." Safira geleng-geleng kepala.
"Sudah jangan saling meggoda lagi, Siti hati-hati ya, Nak. Telepon Bunda kalau sudah tiba di rumahmu. Sampaikan salam Ayah Bunda untuk Nenek Kakekmu," kata Sekar.
"Ya, Bun ... terima kasih."
Siti menyalami semuanya, mengecup pipi EBI juga.
"Pipiku eggak dikecup nih?" tanya Satria.
"Abang!" tegur Sekar.
Satria tersenyum, diraihnya kepala Siti dikecupnya kening Siti.
"Aa cinta Ading," bisiknya.
Wajah Siti menjadi merah tersipu.
"Ayo, Siti sudah waktunya," kata Sekar.
Siti melangkah pergi meninggalkan keluarga barunya, dilambaikan tangannya.
'Selamat tinggal keluarga Adams ....'
****bersambung****
stop update.
update kembali setelah Adyt, dan Safira tamat.