Part - 9

1317 Kata
Malam ini begitu tenteram untuk Alena. Penghuni kamar depan tidak lagi mengganggunya. Setelah selesai belajar Alena segera mengatur posisi untuk bersiap tidur. Sudah cukup lelah untuk hari ini. Baru 5 menit Alena memejamkan mata. Suara ketukan pintu terdengar di telinganya. Dia segera bangun dari tidurnya dengan malas. "Pinjem buku kimia, gue belom nyatet." lagi, tanpa basa-basi Revan menodong Alena. Mata yang tadinya mengantuk segera terbuka lebar. 'ada angin apa sih nih anak kemari mulu' "Gue nggak nyatet." jawab Alena ketus. "Bohong. Gue lihat buku lo penuh tadi," Revan tetap ngotot. "Gimana gue mau nyatet kalau lo selalu berisik di samping gue," sentak Alena yang membuat mata Revan melotot sebentar. Alena segera menutup pintunya namun tangan Revan menahannya. "Lo ngapain sih di dalam kamar terus?" Pertanyaan random Revan membuat Alena naik darah, "Terserah gue lah mau ngapain. Bukan urusan lo," "Sebenarnya ada yang mau gue omongin ke lo soal pernikahan kedua orangtua kita, itu pun kalau lo pengen tau," jelas Revan malas. Alena memutur bola matanya malas. "Gue udah nggak tertarik soal mereka berdua. Terserah mereka mau ngapain gue nggak perduli," ucapnya lalu kembali membanting pintu kamarnya di depan Revan. Revan hanya bisa memandang pintu itu dengan pandangan sebal. Lalu kembali ke kamarnya. *** Pagi ini entah ada angin apa, mama mengajak Alena untuk sarapan bersama Om Hengki dan anaknya. Setelah kejadian makan malam beberapa waktu lalu keluarga baru ini tidak pernah makan bersama lagi. "Pagi sayang," sapa mama pada Alena yang baru menuruni anak tangga. Alena hanya diam sembari memasang jam tangannya. Revan sudah duduk di depan mama. Dia melirik Alena sekilas lalu kembalu berkutat pada ponselnya. "Gimana sekolah kalian?" tanya om Hengki kepada anak-anaknya. Tidak ada jawaban sama sekali. Mama hanya sanggup mengehelai nafasnya panjang melihat tingkah kedua anaknya. "Nanti malam kita makan bersama, ada yang ingin kami sampaikan," ucap mama. Namun, lagi tidak ada tanggapan dari Alena maupun Revan. Mereka berdua sibuk dengan ponselnya. "Alena berangkat dulu karna harus piket," pamit Alena sambil mengambil selembar roti tawar yang sudah di olesi selai oleh mama. Revan pun melakukan hal yang sama dia menyusul langkah Alena yang sudah hampir memasuki ruang tamu. "Soal kemarin gue masih sama. Penawaran tentang gimana menghancurkan pernikahan mereka. Kalau lo mau kerjasama dengan gue, bilang aja." setelah mengucapkan itu Revan segera berlari keluar gerbang. Sudah ada yang menunggunya disana mungkin pacar barunya. Alena memikirkan kembali ucapan Revan. Kerja sama dengan makhluk itu kemungkinan hanya akan membuat rugi besar. Mana ada yang akan mau bekerja sama dengan anak berakhlak minus seperti dia. *** "jadi gimana, rolls royce apa peugeot?" tanya Reza lagi. "Gue sama sekali nggak tertarik dengan penawaran lo," jawab Revan datar. "Bilang aja lo gak berani," Revan melirik Reza sinis. Dia terus memutar-mutarkan bolpoinnya. "Lihat aja dua hari kedepan," jawab Revan enteng. "Wah, serius lo? Kalau beneran sih bakal buat heboh satu sekolah." "Bukannya setiap apa yang gue lakakukan akan jadi hot news di sekolah ini ya," kembali, kesombongan Revan mulai menjadi-jadi. Alena benar-benar muak mendengar kesombongan yang di ucapan kutu busuk di sebelahnya. Seolah dia lah yang paling berkuasa disini. Tapi demi keamanan nilai dan juga ketentraman hatinya, Alena memilih diam. Dia sudah menebalkan telingannya setiap kali bersebelahan dengan Revan. Dia tidak mau mengurangi nilai di setiap mata pelajaran. Cukup sekali saka dia kena hukuman dan harus memasuki ruang BK dalam dua kali sehari. *** Alena tengah menikmati makan baksonya di kantin sendiri. Iya, biasanya dia selalu bersama Sandra tapi sekarang sudah berbeda. Gadis itu tengah sibuk dengan geng barunya yaitu Rina dan kawan-kawan. Sandra juga tidak pernah menegur Alena saat mereka berada di kelas. Alena kembali asing sama seperti dulu. Sendiri. "Makan sendirian aja?" tanya Deren yang baru saja datang dengan sepiring nasi gorengnya. "eh, iya.Ren," jawab Alena kaget dengan memandang Deren yang sudah duduk di depan Alena. "Tau gitu tadi gue ajak barengan ke kantinya. Biar lo nggak sendiri," ucap Deren riang. Alena hanya tersenyum lebar. Matanya tertuju pada beberapa siswi yang baru saja memasuki kantin. Rina dan gengnya begitu juga Sandra melewati meja Alena dengan tenang. Alena memandang wajah Sandra yang tengah asik mengobrol dengan Dara. Sama sekali gadis itu tidak memperdulikan kehadiran Alena. Deren melihat semua gerak gerik Alena. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Sebisa mungkin Alena menahan air matanya agar tidak tumpah. "Al, are you okey?" tanya Deren sambil memandangi wajah Alena yang tertunduk. "Al..." Deren memegang tangan Alena yang dingin. Masih tidak ada jawaban dari Alena. Alena mendongakkan kepalanya. Dia menghapus sedikit air matanya yang terjatuh. Dia lalu tersenyum tipis. "Gue nggak apa kok," jawabnya singkat. "Lo berantem sama Sandra?" Alena mengangguk, "Dia ngerasa gue udah terlalu ikut campur dalam hidupnya. Padahal niat gue baik. Gue nggak mau dia jadi korban kutu busuk itu." Deren mengusap punggung tangan Alena berkali-kali, "kita hargai aja pilihan dia. Kita juga nggak bisa maksain kan. Itu berarti dia juga udah siap dengan konsekuensinya." Alena menatap Deren, "Ren, jika suatu saat nanti ada yang terjadi sama gue. Tolong jangan jauhin gue ya. Gue udah nggak punya teman lagi selain lo sekarang," Deren tersenyum dan mengangguk, "Iya gue pastiin akan ada buat lo. Kita kenal udah dari kecil, Al. Lo jangan khawatir ya," Alena mengangguk mengerti. Dia sedikit lega sekarang. Masih ada yang mau berteman dengannya. Deren juga adalah salah satu teman masa kecil Alena karena kedua orang tua mereka berteman baik sampai detik ini. *** "Selamat siang anak-anak," sapa bu Ulya di depan kelas. Jam pelajaran Matematika dua kali dalam seminggu berada di jam terakhir. Membuat para murid merasa kesal karena harus berpikir keras di saat tenaga mereka sudah hampir terkuras habis. "Siang bu," jawab semua murid kompak. "Mari kita mengerjakan kuis yang sudah ibu siapkan soalnya. Nggak banyak kok hanya lima soal," jelas bu Ulya. "Loh bu kok kuisnya dadakan gini sih?" protes Reza yang tak takut dengan guru killernya. "Emang kelas 12 waktunya leha-leha ya?" tanya balik bu Ulya dengan wajah garangnya. Seketika tidak ada yang berani protes. Semua murid diam seribu bahasa dan mulai menyobek tengahan bukunya. Alena melirik sekilas makhluk di sebelahnya. Cowok itu dengan santai menyobek kertas di bukunya. Dia juga tidak banyak bicara. 'tumben sunyi, baterainya habis sepertinya' batin Alena. Lima soal sudah di tuliskan di papan tulis. Semua murid sudah mulai mengerjakan satu persatu soal yang telah di berikan. Alena kelimpungan di bangkunya, masalahnya pada jam terakhir waktu itu dia tidak melanjutkan kelas karna dia menampar Revan akibatnya dia sama sekali tidak mencatat apapun. Di tambah lagi Revan yang berisik. Membuat buku Alena kosong tanpa tulisan apapun. "Yang sudah selesai nanti bisa langsung pulang," tambah bu Ulya di depan kelas. Alena melirik Revan. Cowok itu begitu tenang. Sama sekali tidak ada rasa kepanikan yang dia pancarkan. 'nih anak memang pintar atau dia ngarang jawaban? Ngitungnya kayak semudah menghitung penjumlahan anak sd' batin Alena mengomentari. 20 menit pun sudah berlalu. Revan bangkit dari duduknya. Mengemasi alat tulisnya dan mulai mengumpulkan soal jawaban kedepan. Aksi Revan membuat semua mata menuju padanya. 20 menit loh? Itu waktu yang sangat singkat untuk mengerjakan 5 soal matematika dengan rumus yang rumit. Sungguh hebat. Bahkan murid sekelas Alena yang mendapat predikat murid terpintar setiap tahunya belum bisa mnegerjakan soal dengan waktu secepat itu. "Gile si Revan cepet banget kayak ngitung 1x1 aja," ucap Reza di belakang. Alena memandang kepergian Revan yang sudah keluar kelas. 'kok bisa sih?' batin Alena lagi. Alena sudah menyerah dengan 2 soal lainnya. Dia sudah buntu. Dia hanya bisa mengerjakan 3 soal saja lantaran otaknya yang di atas rata-rata. Alena maju kedepan mengumpulkan kertas jawabannya. Dia sudah menyerah dengan hasil yang akan dia dapatkan. Alena melangkah keluar kelas entah mengapa dia penasaran dengan aksi Revan tadi. Apakah memang Revan bisa mengerjakan atau dia hanya terburu-buru karena ingin cepat pulang. Langkah Alena terus membuntuti kemana Revan pergi. Revan baru saja melewati lapangan basket disana dia melambaikan tanganya pada teman-temannya. Setelah berhasil keluar dari gerbang sekolah cowok itu berbelok ke gang sempit di sebelah sekolah. 'mau kemana dia? Arah pulang bukan lewat jalan ini,' batin Alena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN