Part - 4

1215 Kata
Mata Alena berbinar pagi ini saat melihat sebuah gaun berwarna putih selutut dengan renda motif bunga yang menghiasi penuh di setiap sudut gaun. Begitu cantik dan elegan. Gaun itu sudah terpajang rapi di depan cermin kamarnya. Hari ini adalah hari ulang tahun Alena yang ke-17. Sebenarnya Alena tidak mau merayakan pesta ulang tahunya. Karena itu hanya akan membuatnya sedih karena mengingat papa. Namun, mama bersikeras untuk tetap merayakannya. Meski tamu yang di undang hanya rekan bisnis mama saja. Alena menuruti apa yang di inginkan sang mama. Toh ini hanya acara ulang tahun saja dan tidak begitu banyak tamu. Hanya orang-orang yang memiliki akses penting dengan mama saja yang di undang. Bukan masalah yang besar bagi Alena. Sebelum acara nanti malam di laksanakan. Alena memberanikan diri untuk menjenguk papa di tempat peristirahatannya. Mobil sedan hitam itu berhenti tepat di sebuah area pemakaman umum. Pak Tisna segera membukakan pintu penumpang di belakang dan Alena pun turun. "Mau saya temani, non?" ucap pak Tisna menawarkan diri. Gadis itu menggeleng pelan dia mengambil alih keranjang bunga yang berada di tangan pak Tisna. "Biar saya sendiri, bapak tunggu disini saja," ucapnya sebelum meninggalkan pak Tisna. Alena menyusuri jalan setapak di area pemakaman itu. Pusara demi pusara dia lewati sampai dia menemukan pusara bertuliskan nama papanya. Dia tersenyum lebar lalu mulai menaburkan bunga beserta air mawar tak lupa berdoa untuk ketenangan papa di sana. "Hallo pa, udah setahun saja papa ninggalin aku. Putri kecil papa sudah bertahan dengan baik sejauh ini. Semoga nantinya akan terus seperti ini ya, pa." "Hari ini ulang tahun nana. Apa papa masih ingat dulu papa pernah janji kalau nana ulang tahun ke-17 kita akan piknik ke pantai. Bukan cuma nana sama papa, tapi juga sama mama. Tapi Tuhan lebih sayang papa, dan Nana cuma bisa menerima semuanya. Bukannya janji itu bisa di ganti dengan janji baru lagi? Kalau memang bisa Nana pengen ketemu papa sekali lagi. Papa belum sempat berpamitan sama Nana waktu itu. Tapi, jika tidak bisa nggak apa kok,pa." "Nana masih sering sendiri,pa. Mama jarang pulang sejak mengantikan tugas papa di kantor. Aku semakin kesepian, rasanya setiap hari yang aku jalani begitu kosong dan membosankan. Tapi aku selalu ingat pesan papa, Nana harus jadi gadis pemberian." "Sudah dulu ya,pa. Lain kali Nana kesini lagi. Nana akan sering-sering mengirim doa untuk papa disana, dadah pa," lambaian tangan Alena mengakhiri pertemuan dengan papa hari ini. Dia kembali ke mobil dan pak Tisna pun mulai melajukan mobil sedan itu. *** Suara ramai begitu terdengar di ruang keluarga lantai bawah. Satu persatu tamu sudah mulai berdatangan. Mama terlihat begitu semangat menyambut para tamu yang hadir. Kesana kemari langkah mama mengintari kepenjuru ruang keluarga yang luas itu. Alena melihat aktifitas orang-orang di bawah sana. Mereka semua tersenyum gembira. Alena heran apakah hanya dia saja yang hari ini merasa sedih karena ulang tahun kali ini tanpa papa. Mengapa orang-orang disana tidak sedikit pun merasa sedih? Padahal mereka semua juga mengenal papa sama seperti Alena. Mengapa hanya dirinya yang merasa kehilangan? "Non,nyonya menyuruh nona untuk ganti baju. Acaranya segera di mulai," ucap bi Yanti asisten rumah tangga Alena sejak dia kecil. "Mbak ayu sudah datang?" "Sudah,non. Masih di bawah, segera saya suruh ke atas jika non sudah ganti baju," lapornya. Alena menggangguk mengerti. Dia segera masuk ke kamarnya dan menyuruh bu Rukmi pergi. Mbak ayu adalah anak dari bi Yanti yang biasanya menata rambut Alena jika ada acara-acara besar seperti ini. Tatanan rambut yang di buat mbak ayu begitu simpel dan cantik. Itu mengapa Alena menyukainya dari pada dengan hair stelys pilihan mama. Setelah beberapa menit Alena pun sudah siap untuk di makeover oleh mbak ayu. *** "Malam tante," sapa hangat dari seorang cowok dengan tuxido berwarna putih yang dia kenakan. Tak lupa dasi kupu-kupu yang melekat rapi di lehernya. "Malam, Deren. Kamu sudah datang? Dengan papa mu kan? " tanya mama dengan senyum terbaiknya. "iya, tante. Papa masih di luar sebentar lagi kesini," Ucapnya, Deren memandang kedatangan papanya. "Itu papa," ucapnya sambil memberitahu keberadaan papanya kepada mama Alena. "Hay Wildan, sudah lama tidak bertemu. Ku kira kamu tidak akan datang." "Bagimana mungkin aku tidak datang di acara penting teman lama ku. Kau baik-baik saya Laura?" "Aku baik-baik saja. Aku masih bisa bertahan sejauh ini berkat doa baik dari kalian." "Syukurlah, aku lega mendengarnya," Mama tersenyum, "Lihatlah betapa tampannya putra mu, wajahnya begitu mewarisi ketampanan mu waktu masih muda dulu," Deren tersenyum sembari malu di puji seperti itu. "Terimakasih tante," "Alena dimana tante?" tanya Deren yang dari tadi tidak melihat gadis cantik itu. "Dia ada di kamarnya, di lantai dua. Kalau kamu mau kesana silahkan, mungkin dia lagi bersiap," jawab mama. Tanpa pikir panjang Deren pun segera menuju dimana letak kamar Alena. Gadis yang dia cari sedang bercermin membelakanginya. Deren berdehem di ambang pintu kamar Alena yang terbuka. "Hem..." Alena menoleh, "Deren," sapanya dengan senyuman. Deren tersenyum, "Cantik," ucapnya yang membuat Alena tersipu malu. "Bisa aja kalau bikin anak orang salting," ucap Alena. "masuk aja nggak apa-apa." imbuhnya. Deren memasuki kamar besar milik Alena. Dia berdiri tepat di depan gadis itu. Lalu menyodorkan kotak kecil berwarna biru yang telah dia siapkan di balik saku tuxidonya. "Happy Birthday, Al. Tetaplah jadi terbaik versi diri lo sendiri," ucapnya. Alena menerima bingkisan kecil itu. Dia membuka apa isi di dalamnya. Sebuah kalung perak berliontin kupu-kupu dengan permata berwarna biru yang menghiasi sayapnya terlihat cantik di mata Alena. "Lo tambah cantik kalau pakai kalung ini," ucap Deren yang langsung mengambil dan memasangkan kalung itu ke leher Alena. Alena tersenyum bahagia di depan cermin. Dia memandangi dirinya sendiri yang terlihat berbeda hari ini. "Terimakasih,Ren." "Acaranya akan di mulai sebentar lagi, ayo kita kebawah," ucapnya sambil mengandeng tangan Alena dengan hati-hati. Alena begitu senang sekaligus deg-degan karna baru pertama kalinya dia di perlakukan manis oleh seorang cowok. Apalagi dia sudah menyukai Deren sejak lama. Deren membantu Alena menuruni anak tangga. Semua mata tertuju pada Alena yang baru saja turun. Deren melepaskan gengamannya saat Alena sudah berada di tengah kerumunan para tamu undangan. Mama juga sudah ada di sana di depannya sudah berada kue ulang tahun yang sangat indah. "Terimakasih untuk para tamu undangan yang sudah meluangkan waktunya untuk datang di acara ulang tahun ke-17. Putri tercinta saya Ralena." ucap mama memberikan sambutan. "Mari kita menikmati setiap acara malam ini dengan bergembira," ucap mama lagi. Dentingan gelas terdengar berirama. Menandakan acara sudah berjalan. Semua tamu undangan menikmati acara yang sudah di sediakan oleh mama. Deren menghampiri Alena yang tengah sendiri. "Al, senyum." ucapnya. Alena tersenyum, "Rasanya aneh karna nggak ada papa disini," ucap Alena sedih. Deren mengusap punggung Alena lembut menguatkan gadis itu agar tidak menangis. "Mau nangis? Nggak sayang sama makeup lo? " ucapan Deren membuat Alena memukul bahu cowok itu pelan. "Al, meskipun om Adam nggak ada disini, tapi dia akan selalu di hati lo, jangan sedih ya. Beliau akan sedih kalau lihat anak gadisnya sedih juga." ucap Deren. Alena mengangguk sambil tersenyum. Dia menerima segelas minuman yang di berikan oleh Deren padanya. Mata Alena melihat mama yang tiba-tiba berdiri di tengah para tamu sambil mendentingkan gelas. Itu pertanda bahwa ada suatu hal yang ingin di sampaikan. "Mungkin ini akan menjadi kabar gembira untuk semua orang yang ada disini." ucapan mama terjeda. Alena terfokus dengan apa yang akan mama ucapkan. "Saya dan Mas Hengki akan menikah minggu depan," ucap mama, om Hengki pun melangkah memdekati mama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN