Bab.7 Kepanikan Lusi

1077 Kata
  *Happy Reading genk's! Semoga suka...*   Bab-6   Mama Karina memilih duduk di ruang makan, sedangkan Rosa memilih menyusul Alya ke dapur yang sedang sibuk membuatkan minum.   "Kak!" panggilnya seraya mendekati Alya.   "Iya."   "Emm ... Kak Alya dapat hadiah apa dari Mas Galih? Kemarin, 'kan hari jadi pernikahan kalian,"   Pertanyaan yang terlontar dari mulut Rosa sontak membuat Alya termangu. Tangannya yang semula sedang mengaduk gula mendadak terhenti.   Hadiah?   Haruskah Alya berkata yang sejujurnya jika Galih tak memberinya hadiah apa pun. Melainkan hanya luka dan rasa sakit.   Seandainya Alya memiliki keberanian untuk menceritakan semuanya. Namun, Alya bukanlah tipe perempuan yang senang mengumbar masalah rumah tangganya kepada orang lain meski itu adik iparnya sekali pun.   Rosa yang mendapati kakak iparnya melamun dibuat bertanya-tanya. Yang ia bisa lihat jika ada sesuatu yang dipikirkan oleh Alya.   "Kak!" Rosa mencoba menyadarkan Alya dari lamunannya, menyentuh pundak Alya pelan.   "I-iya." Alya terperanjat kaget.   "Kenapa Kak? Apa yang Kak Alya pikirkan? Wajah kakak juga terlihat pucat," Rosa semakin mencemaskan keadaan Alya.   Andai saja Rosa tahu jika Alya tengah memikirkan keburukan kakak tersayangnya.   Alya bergerak dengan gelisah—sendok teh yang ia pegang sampai terjatuh ke lantai.   "I-itu." Dengan cepat Alya mengambil sendok yang terjatuh lalu menggenggamnya erat.   Kening Rosa seketika mengernyit heran. Sikap Alya menurutnya sangat aneh.   "Ada apa Kak? Kalau kakak ada masalah cerita saja. Rosa pasti bisa jaga rahasia,"   Mau tak mau Alya mencoba menetralkan raut wajahnya yang gugup. Jangan sampai Rosa tahu yang sebenarnya. Ia tidak ingin membuat nama Galih menjadi jelek di hadapan keluarganya sendiri.   Menghela nafas panjang, Alya lantas menjawab dengan santainya.   "Kau tenang saja, kakakmu ini baik-baik saja." Alya mengulas senyum, "Kau mau tahu hadiah apa yang diberikan oleh Mas Galih?"   Rosa mengangguk antusias.   "Ra-ha-si-a." bisik Alya dengan seringai dibibir. Kemudian ia segera berlalu meninggalkan Rosa yang terlihat kesal.   "Kak Alya!" Rosa berteriak sembari menghentakkan kakinya di lantai. Sambil bersungut-sungut ia lantas menyusul Alya yang sudah duduk di meja makan bersama mama Karina.   ###   Di kampus Marcello tampak begitu enggan mengikuti kelas. Rasa kesal akibat perintah sang mama yang selalu tak ingin dibantah membuat lelaki berusia 22 tahun itu ingin sekali memberontak.   Lantaran kekesalan yang kian membuncah, akhirnya ia pun memutuskan pergi begitu saja dari sana. Berlari menuju pintu keluar tanpa menghiraukan panggilan dari dosen.   "Sial! Sial! Sial! Arrgghh ...!" Marcello langsung melakukan hal yang sejak tadi ia ingin lakukan. Sesampainya di atap gedung kampus, Marcello mengeluarkan semua uneg-uneg yang menumpuk dihatinya.   Dirinya ingin menangis namun tidak bisa. Sepertinya sangat lucu jika seorang laki-laki menangis hanya karena hal yang sepele.   Bukan! Bukan sekedar sepele.   Bagi Marcello masalahnya cukup membebaninya selama bertahun-tahun. Tumbuh menjadi anak broken home bukanlah keinginannya. Jika ia bisa memilih, Marcello ingin sekali memiliki keluarga yang utuh—seperti teman-temannya yang lain. Bisa menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Membagi keluh kesahnya. Dan, berbagi segalanya.   Akan tetapi, Marcello tak dapat memilih takdirnya sendiri. Diusianya yang masih sangat kecil Marcello harus dihadapkan dengan masalah pelik yang menimpa mama dan papanya. Sang papa yang ia banggakan ternyata menghianati mama yang sangat ia sayangi. Meninggalkan Marcello kecil dan hidup bersama wanita lain.   Itu sebabnya Marcello begitu membenci laki-laki yang ia panggil dengan sebutan papa tersebut dan mengutuk semua pria yang sangat suka berselingkuh. Baginya perselingkuhan adalah aib, terlebih hal yang paling memalukan. Kendati ia sendiri memiliki orang tua yang semacam itu, tetapi Marcello berjanji pada dirinya sendiri jika ia tidak akan pernah melakukan hal yang sama—selingkuh dan menghianati pasangannya kelak.   Karena ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana rasanya ketika kita dikhianati oleh pasangan yang sangat kita cintai—yaitu sang mama. Hampir setiap hari Marcello kecil melihat sang mama menangis bahkan sempat ingin mengakhiri hidupnya. Beruntung ia masih memiliki sosok kakek yang sangat menyayanginya dan selalu siap menjaganya. Kalau tidak, entah ia dan mama Della akan menjadi seperti apa.   drt drt drt   drt drt drt   Marcello mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Alisnya tertaut kala melihat nama mama Della yang mengirim pesan.   Berdecak kesal, Marcello lantas memasukkan kembali ponselnya ke saku celana tanpa membalas pesan dari sang mama. Ia lantas berpikir sejenak, menimbang-nimbang perintah dari mama Della yang menyuruhnya untuk segera datang ke sebuah cafe terdekat yang kebetulan tidak jauh dari kampusnya.   "Baiklah! Kali ini aku akan mencoba menuruti keinginan Mama." gumamnya. Beberapa detik kemudian ia pun gegas berlalu dan langsung menuju cafe yang dimaksud.   ***   Di kantor Galih.   Ruangan berpendingin berubah menjadi panas lantaran suara desahan dan erangan yang meluncur dari mulut dua insan anak manusia berbeda lawan jenis yang tengah berlomba-lomba mereguk kenikmatan surga dunia.   Siapa lagi kalau bukan Galih—pria b******k yang tega mengkhianati kepercayaan istrinya dengan bermain api bersama wanita lain.   Siang itu Lusi sengaja datang menemui Galih di kantor dengan alasan ingin membicarakan sesuatu. Tetapi, Galih yang pagi ini sudah terpancing dan sangat menginginkan Alya lalu berujung kemurkaannya pada wanita itu. Akhirnya ia memutuskan untuk melampiaskan hasrat yang tersulut dan tidak tersalurkan kepada Lusi.   Mereka dengan tidak tahu malu b******a di ruangan kerja Galih. Berbagi peluh dan desahan dengan liarnya di atas meja kerja Galih.   "Aahh ...." Tubuh Galih seketika menegang ketika miliknya meledak di dalam lubang terlarang milik Lusi. Bergulir ke samping lalu mendekap erat tubuh berpeluh keringat nan molek tersebut. Kendati tubuh Alya lebih seksi dari Lusi tetapi bagi Galih, Lusi begitu pandai dan lihai soal urusan ranjang tentunya dengan pelayanan yang lebih memuaskan imajinasi liarnya.   Selang beberapa menit mereka akhirnya segera memakai pakaian mereka kembali. Duduk santai sambil menikmati makan siang yang dibawakan oleh Lusi.   "Mas, apakah ada masalah? Aku tadi merasa kalau kau tidak seperti biasanya. Permainanmu cukup agak kasar." Lusi bertanya sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya.   Dirinya merasa jika permainan Galih tak seperti biasanya. Agak kasar dan buas.   Sementara Galih masih terlihat sedikit kesal. Ia pun menjawab pertanyaan Lusi dan menceritakan semuanya, perihal Alya yang tidak sengaja melihat tanda kissmark dilehernya.   Setelah menyelesaikan makan siang yang masih tersisa sebab dirinya tak berselera. Galih meneguk air putih lantas menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Menghembuskan nafasnya yang terdengar memburu, ia pun berucap.   "Semalam Alya bilang kalau dia tidak sengaja melihat kissmark dileherku."   "Uhuk! Uhuk!" Sontak Lusi tersedak mendengar penuturan Galih, buru-buru ia meminum air putih yang ada di meja hingga tandas. Setelah itu ia pun langsung bertanya kepada Galih dengan panik. "A-apa, Mas? Alya melihat tanda kissmark dileher Mas Galih?"   Galih mengangguk samar, "Iya. Besok-besok kau jangan melakukan hal itu lagi. Aku tidak mau Alya merasa curiga. Kau tau sendiri, 'kan, kalau orang tuaku sangat menyayangi Alya. Mereka pasti tidak akan tinggal diam kalau sampai tahu aku menyakiti Alya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN