Grize duduk berhadapan dengan Dave. Kedua mata beningnya menatap pria itu dengan cara yang menelusur. Sikapnya terlihat cukup angkuh.
Dia tidak terlihat seperti orang yang sedang terpesona, tetapi lebih seperti orang yang sedang mencoba mengintimidasi.
"Akan sampai kapan kau menatapku seperti itu?" tanya Dave. Dia mengambil gelas yang berisi wine dan menenggaknya. Sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Grize.
Sementara itu Grize tertawa kecil. "Aku masih belum yakin, kau bukan suami orang, kan?"
"Menurutmu bagaimana?" Dave tidak menjawab sebaliknya melemparkan sebuah pertanyaan. Wajahnya masih saja acuh tak acuh.
"Sudah kubilang, aku tidak yakin," ucap Grize. "Ah, itu tidak masalah juga. Lagi pula urusan kita hanya sementara."
Dave mengangkat kedua alisnya. "Apa itu berarti kau sering menggoda suami orang?"
"Menurutmu bagaimana?" Sekarang giliran Grize yang melemparkan pertanyaan. Dia mengangkat salah satu sudut bibirnya sebelum mengambil tas dan melenggang pergi.
Dave menatap kepergian Grize dengan senyum miringnya. Menurut dia, Grize bukan wanita yang mudah, sama sekali bukan w4nit4 mur4h4n. Mungkin lebih seperti wanita yang memiliki lidah dan otak di atas rata-rata.
"Menarik, menarik," gumamnya. Kemudian dia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
"Carikan informasi tentang wanita dengan nama Grize, Grizelle Epifania."
"...."
"Aku tidak peduli. Besok pagi aku harap kau sudah menemukannya." Dave langsung memutuskan sambungan telepon. Dia kembali menenggak wine-nya.
Mengingat Grize membuat perasaannya tidak karuan. Wanita itu terlalu memikat dan dia sebagai pria dewasa yang selalu memiliki gairah tinggi tentu saja merasa panas.
"Sial!" rutuk Dave sebelum akhirnya melangkah pergi.
***
Grize kembali menemui Anya dan berbasa-basi sebentar. Setelah itu dia memutuskan untuk kembali ke apartemen. Ini sudah cukup larut dan dia sudah merasa ngantuk. Tidak seperti biasanya.
Hanya dalam waktu yang singkat dia sudah tiba di basement apartemen. Kemudian dia langsung naik ke lantai 16, di mana unit tempat tinggalnya berada. Setelah sampai di sana dia merasa heran karena pintu apartemennya tidak tertutup dengan rapat.
Dia sangat yakin jika sebelum dia pergi pintunya sudah ditutup rapat dan juga terkunci. Apa mungkin ada seorang pencuri? Itu tidak mungkin, kan?
Grize menengok ke sekitar dan menyadari tidak ada siapa-siapa di sana. Koridor apartemen cukup sepi dan ini membuat perasaannya sedikit tidak nyaman.
Perlahan Grize membuka pintu dan melangkah dengan hati-hati. Lampu di dalam masih mati seperti sebagaimana dia meninggalkan apartemen.
Ruangan di sana sangat gelap. Grize meraba tembok untuk menyalakan saklar, tetapi tiba-tiba tubuhnya ditarik dengan keras oleh seorang.
Tanpa bisa melawan, dia dibawa ke pelukan seseorang dan bibirnya disambar dengan paksa. Sial! Siapa yang begitu berani melakukan hal seperti ini di apartemennya?
Grize menajamkan inderanya lalu dia bisa mencium aroma yang tidak asing. Theo, pria bodoh itu akhirnya tidak bisa menahannya. Mungkin dia sudah mencari tahu tempat tinggalnya dan menyogok seseorang untuk masuk.
Grize terdiam sebentar. Apakah ini waktunya untuk membuka kedok?
Tubuh Grize sudah dipegang dan dieremas di sana sini. Dia tidak mau melakukan hubungan seksual apa pun dengan Theo. Lelaki yang menjijikkan!
Tangan Grize dengan susah payah meraba tembok untuk mencari sakelar. Setelah beberapa saat akhirnya dia menemukan sakelar itu dan langsung menekannya. Ruangan berubah menjadi terang.
"Tuan Theo, bukankah Anda terlalu berlebihan?" tanya Grize setelah Theo melepaskan ciumannya yang panas.
"Kenapa aku berlebihan, Grize? Kita sudah beberapa hari dekat dan aku yakin kau menginginkan sesuatu dariku bukan?" Tangan Theo meraba tengkuk Grize dengan cara yang sensual.
"Aku menginginkan sesuatu? Tidak juga," ucap Grize.
"Apa kau ingin mobil? Rumah?"
Theo menelan ludahnya. Sebelumnya dia sudah merasakan alkohol di mulut Grize. Matanya juga tampak sedikit mengembun. Sepertinya wanita itu baru saja minum dan itu membuatnya terlihat semakin menggoda.
"Aku tidak membutuhkan itu," ucap Grize.
"Kalau begitu uang? Berlian? Aku akan memberikannya, Grize, asal kau bersedia tidur denganku malam ini." Theo kembali menarik Grize dan menjelajah mulutnya dengan liar.
Grize mendorong Theo menjauh. Keningnya pun berkerut dalam. Dengan perasaan dongkol dia berjalan dengan santai menuju kursi tinggi yang ada di mini bar. Memang di apartemennya ada bar kecil yang memisahkan ruang tamu dengan dapur.
"Theo, Theo. Pulanglah dan lihat apa yang akan terjadi dengan perusahaanmu," ucap Grize dengan datar.
"Apa maksudmu?" tanya Theo yang sama sekali tidak tahu arah pembicaraan Grize.
"Erik, Maya, Julie .... Berapa banyak jumlah yang sudah masuk sakumu sendiri?" tanya Grize dengan mata menyipit. Setelah itu senyum tipis muncul di bibirnya.
Bagi Theo itu terlihat seperti senyum iblis. Jika sebelumnya dia akan tergoda dan menginginkan Grize, maka sekarang dia tidak berpikir seperti itu lagi.
"Jadi kau masuk ke perusahaanku hanya untuk—"
"Ya." Sebelum Theo selesai berbicara, Grize sudah memotongnya. "Aku adalah seseorang yang dikirim Tuan Edward Alison untuk menyelidiki perusahaanmu."
"Sialan! kau ...." Theo menunjuk Grize ingin mengutuknya, tetapi tidak ada kalimat apa pun lagi yang keluar. Dia segera mengambil ponsel dan berjalan cepat keluar dari apartemen Grize.
Ternyata selama ini Grize sudah menjadi mata-mata di perusahaan Theo. Sekarang pria itu harus mencari tahu sejauh apa masalah yang sudah dibuat oleh Grize.
"Huh!" Grize membenarkan penampilannya yang sudah berantakan. Kemudian dia mengambil ponsel dan menelepon seseorang.
"Halo," sapa Grize.
“Grize, apa kau masih belum menyelesaikan tugas dari saya?” tanya seorang pria di ujung telepon.
"Sudah selesai, Pak. Saya akan kembali ke perusahaan, Senin nanti," kata Grize.
Suara kekehan langsung terdengar di telepon. “Bagus. Saya juga akan memberi tahumu kabar baik.”
“Apa itu?” tanya Grize dengan penasaran.
“Penerus perusahaan akan datang besok.”
Grize membulatkan kedua matanya. "Penerus perusahaan akan datang besok? Maksudnya, putra Bapak?”
”Ya. Memang siapa lagi?” Edward Alison tertawa keras.
Akhirnya Grize mengangguk mengerti. "Baik, Pak. Saya akan datang ke kantor sekaligus menyambut kedatangan putra Bapak."
“Bagus. Kalau begitu saya tutup teleponnya.“
“Selamat malam,” ucap Grize sebelum telepon ditutup.
Setelah itu dia menyimpan ponselnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil air putih. Dia cukup terkejut dengan telepon barusan.
Jadi, keturunan Edward Alison yang memegang perusahan cabang di luar negeri akan datang ke kantor besok.
Ya, mungkin ini sedikit membingungkan. Sebenarnya dia bukan karyawan asli di kantor Theo. Melainkan seseorang dari Alison Group, yang kebetulan diberi tugas untuk mengawasi perusahaan Theo.
Perusahaan Theo merupakan perusahaan yang menjalin kerja sama dengan Alison Group. Namun, Theo sudah banyak melakukan kecurangan sehingga harus segera diberi pelajaran.
Sedangkan Erik, Maya dan Julie itu adalah orang yang sama sepertinya. Dipekerjakan untuk menghancurkan perusahaan Theo, dulu. Namun, mereka gagal dan ketahuan di tengah tugasnya.
"Bisnis itu memang kotor," gumam Grize.
Beberapa bulan yang lalu dia mulai bekerja di kantor Theo yang merupakan saingan terselubung perusahaan Alison. Tugasnya adalah mencari bukti-bukti penggelapan mereka.
Meskipun Grize sudah menjadi tangan kanan Edward Alison, dia belum mengetahui banyak hal mengenai putranya. Dia cukup penasaran juga. Mungkin besok rasa penasarannya akan segera dituntaskan.
Grize mengunci pintu dengan benar. Besok dia akan komplain, bagaimana apartemen ini memiliki keamanan yang begitu buruk?
Huh! Mungkin dia harus pindah ke apartemen yang lebih baik.