"Ayolah, Ayah, Ibu." Grize merengek manja. "Grizelle itu sudah dewasa. Sudah bisa mencari pasangan sendiri, oke?"
Heri mendengkus menatap putrinya. Sebenarnya dia cukup kecewa dengan sikap Grize yang terbilang memalukan. Putri satu-satunya telah tumbuh menjadi wanita yang kurang ajar.
"Ayah akan memberimu waktu satu minggu. Jika dalam waktu satu minggu itu kau masih belum menemukan pasangan dan malah bertambah gatal, itu berarti kau memang harus dijodohkan."
Grize menatap ayahnya tidak percaya. Ya Tuhan, jangankan satu minggu. Bahkan jika diberi waktu satu tahun pun belum tentu dia bisa mendapatkan pasangan yang cocok. Apa-apaan ini?
"Setengah tahun!" pinta Grize yang langsung dibalas gelengan kepala oleh ayahnya. "Kalau begitu, enam bulan. Ya, enam bulan pasti Grize sudah mendapatkannya."
"Grize, setengah tahun dan enam bulan itu sama," sela Naya yang justru ingin tertawa. Namun, putrinya itu hanya cemberut, sepertinya sedang tidak ingin bercanda.
"Satu minggu." Heri berbicara dengan mantap. Dia sama sekali tidak memberikan Grize kesempatan untuk menolak. "Satu minggu, awas saja jika kau macam-macam."
Grize mengerutkan bibirnya. Baiklah, dia akan menyetujuinya sekarang lalu dia akan memikirkan rencana lebih lanjut, nanti. Paling-paling ayahnya juga mau kalau diminta untuk membatalkan rencana, kan?
"Baiklah," ucap Grize loyo. Pada akhirnya dia masih belum bisa terlalu menentang keputusan orang tuanya.
Heri dan Naya langsung mengangguk puas. Mereka berdua pun berpamitan untuk pulang setelah mengatakan beberapa hal lain kepada Grize. Jadi memang tujuan mereka datang itu hanya untuk mengatakan masalah ini.
Grize menutup pintu kamar dengan kasar. "Apa-apaan? Yang benar saja?" gerutunya. Kemudian dia pun mengambil ponselnya untuk menelepon Anya. "Hei!"
"Kenapa, Grize? Aku sedang sibuk."
"Sibuk? Nya, aku ingin menceritakan sesuatu." Grize merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya.
"Cerita? Tidak bisa sekarang, aku sedang pergi bersama Niko."
"Di mana?" tanya Grize. "Besok akhir pekan, boleh aku ikut?"
"Baiklah. Di tempat biasa."
"Good. Aku akan bersiap-siap sekarang."
Kemudian Grize pun langsung mengganti pakaiannya. Dengan rok sebatas lutut dan blus panjang, dia terlihat sederhana, tetapi tetap berkelas. Dia menyambar tasnya dan segera turun dari apartemen.
"Sial, aku harus sering pergi keluar. Supaya bisa bertemu banyak pria. Iya, kan?" Grize bergumam sendiri. Dia masuk ke mobil dan langsung meluncur di bawah gelapnya langit malam.
Kira-kira dua puluh menit setelahnya, mobil Grize berhenti di depan kafe & bar yang cukup mewah. Dia langsung turun dari mobil. Seperti biasa, keberadaannya memang selalu menarik perhatian orang lain.
Susah sekali menjadi orang cantik.
Grize langsung menemui Anya yang hanya dalam sekilas sudah bisa dia temukan. Wanita itu tampak begitu bahagia saat sedang bersama Niko, kekasihnya.
"Pemandangan yang membuat orang iri," komentar Grize saat sedang melangkah. Kadang-kadang dia juga ingin seperti Anya, berkarir, punya kekasih dan hidup bahagia. Itu bahkan lebih baik dari seorang Cinderella.
"Grize," panggil Anya saat melihat kedatangan Grize. "Kau sendirian? Tidak membawa teman?"
"Teman dari mana?" Grize memutar bola matanya. "Aku ingin pergi bersantai saja sendirian," kata Grize. Dia melihat Niko dan tersenyum sedikit.
"Ngomong-ngomong, apa kalian sudah lama?"
"Tidak juga. Duduklah, Grize." Anya menyuruh Grize untuk duduk. Namun, yang disuruh malah menggelengkan kepala menolak.
"Aku ingin naik ke rooftop."
"Kenapa? Sepertinya ada aroma-aroma patah hati," gurau Niko.
"Ah, bagaimana bisa? Hanya ... sedang banyak pikiran. Kalau begitu, sampai jumpa,” ucap Grize.
Dia melambai pada pasangan itu dan melenggang pergi. Anya hanya bertanya-tanya di dalam hati. Katanya Grize ingin bercerita tapi malah pergi begitu saja. Mengherankan.
Grize tidak mengerti apa yang dipikirkan Anya. Saat ini dia sudah tiba di rooftop. Udara di sana sangat menenangkan, tidak seperti lantai bawah yang penuh tawa dan kebisingan.
Grize melangkah duduk di set kursi paling pinggir. Kebetulan langit sangat cerah, dia bisa melihat banyak taburan bintang di sana.
Tap tap tap.
Grize mendengar suara langkah kaki. Dia menoleh. Matanya menyipit ketika melihat seseorang yang ... tunggu, sepertinya dia pernah bertemu sebelumnya. Di mana? Dia mengingat sebentar.
Oh, benar. Itu adalah pria yang hampir menabraknya siang ini. Pria yang dengan sembrononya mencium dia begitu saja.
Bagus, sepertinya dia harus menemuinya. Lumayan, jika dia bisa mendekatinya untuk diperkenalkan pada ayahnya, maka dia bisa mengabaikan perjodohan konyol itu.
Grize melangkah perlahan. Dia berhenti di belakang pria tampan itu dan meletakkan tangannya di bahu lebar itu. Tubuhnya membungkuk dan berbisik pelan di telinganya.
"Mungkinkah aku bisa menemanimu bersantai?"
Pria itu melirik tangan halus yang ada di bahunya. "Kenapa aku harus menerimamu?"
Grize tertawa kecil. "Karena aku cantik? Tentu saja. Namun, kau juga bisa menyebut aku seksi,” ucapnya. Tiba-tiba lengannya di tarik dan bokongnya langsung mendarat seketika ke dalam pangkuan pria itu.
"Jadi apa yang kamu inginkan? Tidur denganku?" Suara pria itu terdengar dalam dan seksi.
Kedua mata Grize langsung mengerjap. Dia menatap pria itu. Sangat tampan dan sepertinya tidak akan memalukan jika mereka bepergian bersama.
"Nonsense. Aku tidak semurah itu,” balas Grize dengan nada yang menyenangkan telinga.
Pria itu mengangkat alisnya. "Sepertinya aku melihatmu."
"Melihatku?" tanya Grize yang merasa penasaran.
"Ya, di supermarket, sore ini. Kemudian seseorang memperlakukanmu ...," tangannya bergerak untuk meremas p****t Grize dengan wajah yang tetap datar, "seperti ini."
Grize tidak terkejut dengan tindakan itu. Memang pria mana yang akan menolak untuk menyentuh wanita? Tiba-tiba dia merasakan gelenyar aneh di dalam tubuhnya. Dia segera bangkit dari pangkuan pria itu dan duduk di kursi lainnya.
"Siapa namamu?"
"Dave."
Grize mengangguk. "Aku memiliki bisnis denganmu, Dave. Apa kau tertarik?"
"Bisnis?" Dave bertanya cukup penasaran.
"Ya, ayahku ingin aku menikah." Grize mengamati bagaimana reaksi Dave. Namun, pria itu tetap bergeming menatapnya. "Aku tidak mau. Jadi, apa kau mau berpura-pura menjadi kekasihku?"
Dave menatap ke dalam mata Grize. Cukup lama sebelum akhirnya dia bertanya, "Kenapa aku?"
Grize merasa perasaannya sedikit kaku. Tatapan Dave barusan terasa seperti sedang menelanjanginya. Meskipun begitu, dia tetap berusaha menampilkan sikap yang tenang.
"Aku tidak tahu juga. Lagi pula tidak ada pria lain yang sesuai kriteriaku," jawabnya.
"Aku setuju."
Grize menatap Dave tidak percaya. Dia pikir pria dingin itu akan menolaknya mentah-mentah atau setidaknya akan mengabaikannya. Namun, semuanya benar-benar tidak terduga. Ini ternyata sangat mudah.
"Bagus, kalau begitu." Kemudian Grize menyerahkan ponselnya. "Tulis nomormu di sini."
Dave langsung menerimanya. Dia tersenyum miring dan langsung mencantumkan nomor ponselnya sendiri. Setelah itu dia bertanya, "Siapa namamu?"
"Grize, Grizelle. Grizelle Epifania."
Dave tersenyum samar yang hampir tidak terlihat oleh orang lain. "Jangan pernah menyesal dengan keputusanmu, Grize."
Pungguh Grize menjadi dingin ketika mendengar ucapan Dave. Tiba-tiba dia mempertanyakan keputusannya sendiri. Apakah ini adalah langkah yang benar?