13. Dave Sinting!

1262 Kata
“Ayo kita akhiri ini,” ucap Grize setelah masuk ke mobil. Dia menatap Dave dengan serius, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan. “Aku akan mencari pria lain,” imbuh Grize. Dave langsung menoleh. Salah satu sudut alisnya terangkat. “Kenapa? Kau tahu, tidak ada yang lebih tampan dariku.” Grize berdecih melihat kepercayaan diri Dave. Kemudian dia beralih menatap ke depan. “Aku hanya khawatir ayahku akan memaksa lebih jauh. Kau tahu, ini adalah hal yang salah.” “Salah bagaimana?” tanya Dave. “Kau masih bertanya? Aku adalah asisten pribadimu. Dan itu berarti kau adalah atasanku,” jelas Grize. Dave menginjak pedal gas. Akhirnya mobil bergerak meninggalkan rumah Grize. “Lalu bagaimana kau akan menebus waktuku hari ini?” tanya Dave. “Kau menginginkan imbalan?” Dave menyunggingkan senyum tipis. “Kau tidak berpikir aku akan melakukan hal-hal secara gratis, kan?” “Aku tahu itu.” Grize menatap ke luar jendela. Dia tahu Dave bukan orang yang mudah. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh pria itu. Namun, hari ini dia tidak ingin memperdebatkan hal itu. Kepalanya sudah pusing memikirkan ucapan orang tuanya dan dia tidak ingin semakin pusing hanya karena Dave. “Jangan katakan itu sekarang. Aku akan membiarkanmu memiliki apa yang kau minta,” lirih Grize. Dave merasa semakin senang mendengar ucapan Grize, sangat berbanding terbalik dengan perasaan wanita itu. Dia mempercepat laju kendaraan dan dalam waktu 45 menit mereka sudah sampai. Grize menengok jam tangan yang sudah menunjukkan jam 10 malam. Dia menguap sedikit dan membenarkan tasnya. “Terima kasih, Dave. Hari ini ... cukup mengesankan,” ucapnya. Dia berniat membuka pintu, tetapi tiba-tiba Dave menahan tangannya. “Ada apa?” Grize refleks bertanya. Dia menoleh dan saat itulah Dave membungkuk lalu tanpa aba-aba langsung mencium bibirnya. Kedua mata Grize sedikit melebar. Tubuhnya mendadak kaku seakan baru saja membeku di tempat. Apa-apaan pria itu?! Dave melumat bibir Grize hingga rasa manisnya bisa dia rasakan. Wanita itu hanya diam jadi dia merasa tidak puas. Akhirnya dia semakin memperdalam ciumannya hingga Grize mulai membalasnya. Tangannya menekan tengkuk Grize, lidahnya membelit lidah wanita itu dan mengisapnya dalam-dalam. Grize merasa sedikit kewalahan. Dia mumukul d**a Dave dan mencoba menarik diri. “Jangan berlebihan, Dave!” Dave mengusap bibirnya yang basah menggunakan ujung jempolnya. Kemudian dia mengedikkan badan acuh tak acuh. “Oke,” katanya singkat. Grize mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tanpa mengatakan apa-apa dia langsung melangkah keluar dan menutup pintu mobil dengan keras. Tindakan Dave sudah membuat Grize merasa marah. Namun, dia segera meluruskan punggungnya dan kembali melangkah dengan kepala terangkat. Tidak peduli apa pun kondisinya, dia harus terlihat tenang dan anggun. “Baiklah. Aku tidak akan memasukkan ini ke dalam hati,” lirih Grize yang kemudian menyunggingkan senyum tipis. “Marah pada pria itu tidak akan membawa manfaat apa pun, kan?” Dia berdecih lalu menyibakkan rambutnya ke belakang. Okay, sekarang dia sudah meyakinkan dirinya untuk tetap tenang. Sementara itu di dalam mobil, Dave mengamati Grize sampai sosoknya sudah tidak terlihat lagi. Dia menyandarkan punggung ke kursi dan mulai membelai dagunya sambil berpikir. “Kenapa aku selalu ingin menciumnya?” gumam Dave seorang diri. Dia merasa sedikit heran. Rasanya ada sesuatu di tubuh Grize membuatnya terlihat semenarik itu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia langsung menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon. “Halo.” “Dave, kudengar kau sudah kembali ke Indo?” tanya suara yang terdengar seksi di telepon. Dave menatap layar ponselnya dan melihat nama Riana di sana. Dia mencoba mengingat sejenak siapa orang itu. Setelah beberapa saat akhirnya dia teringat pada salah satu kenalan wanitanya. “Ya. Kenapa?” tanya Dave. “Mau bermain denganku malam ini?” goda Riana. Dave menatap pada tempat di mana sosok Grize menghilang. Senyumnya tiba-tiba merekah. “That's a good idea.” *** Waktu sudah hampir menunjuk tengah malam. Grize duduk di kursi mini bar sambil menuang alkohol ke dalam gelas. Ini adalah Sabtu malam. Waktu yang sangat cocok untuk minum. Satu teguk alkohol membasahi tenggorokan. Grize menggaruk rambutnya dengan frustrasi. “Aku masih tidak percaya mereka melakukan ini padaku.” Grize menjadi gusar. Dia tidak mungkin menggunakan Dave lagi. Tidak akan. Dia tahu batasan-batasan yang harus dijaga. Dia tidak bisa melakukan hal-hal di luar pekerjaan dengan pria itu. “Aku harus mencari pria lain, tapi siapa?” Siapa yang bisa dipercaya? Atau siapa yang mau membantunya dengan tulus? Zaman sekarang siapa yang mau membantu dengan tulus? Grize kembali menenggak alkoholnya. “Apa aku benar-benar harus menikah?” “Wah …. Mereka benar-benar keterlaluan.” Sekali lagi Grize menuang alkoholnya. Tegukan demi tegukan mulai memasuki tubuhnya. Pandangan Grize mulai menjadi kabur. Dia mengurut kening beberapa kali. “Aku harus mencari solusinya. Besok saja. Aku ingin tidur sekarang,” gumam Grize. Dia berdiri meninggalkan mini bar dan berjalan dengan sempoyongan. Tanpa sengaja dia tersandung kaki meja dan terjungkal ke lantai. “Aduhh! Meja sialan!” Grize kembali berdiri dan melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar dia mendengar ponsel yang berdering sejak tadi. “Siapa malam-malam begini menelepon?” Grize mencoba menajamkan penglihatannya yang sudah buram. Dia ingin melihat siapa si penelepon. Sayangnya tidak berhasil, semua yang ada di depannya seakan digandakan menjadi dua. Akhirnya Grize menjawab telepon tanpa memedulikan siapa si penelepon. “Halo.” “Grize ….” “Uhm?” Grize berpikir sejenak. Otaknya menjadi lambat setelah mengonsumsi alkohol. Beberapa saat kemudian barulah dia mengenali suara itu. “Dave? Kenapa kau memanggilku?” “Kau tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang?” tanya pria itu di ujung telepon. Grize tertawa keras lalu kakinya tiba-tiba tersandung karpet. Untung tubuhnya jatuh ke kasur jadi dia tidak terluka. “Ouh! Karpet sialan!” Grize memaki. Dia mencari ponselnya yang sudah terlepas dari genggaman dan terlempar entah ke mana. “Di mana ponselku?” Grize meraba-raba kasur selama beberapa saat sebelum akhirnya menemukan benda tipis yang terselip di antara bantal-bantal. “Grize?” panggil Dave. “Tentu saja aku tidak tahu,” balas Grize setelah menempelkan ponselnya di telinga. Tiba-tiba dia mendengar suara lenguhan seksi di ujung telepon. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Bercinta,” balas Dave dengan singkat. Grize mengerutkan kening. Suara desahan seorang wanita kembali masuk ke telinga. Akhirnya dia tertawa keras. “Kau meneleponku hanya untuk memberi tahu tentang itu? Kau memang pria gila.” “Yeah. Aku tidak bisa bertahan setelah merasakan ciumanmu.” Dave melenguh dan suaranya terdengar sangat seksi. Grize hanya bisa tertawa. Pengaruh alkohol membuatnya tidak bisa merespons sesuatu dengan benar. “Ap—apa kau mabuk? Kedengarannya … kau sangat kacau.” “Lanjutkan saja acara bercintamu itu, B0doh. Kenapa kau malah berbicara denganku ….” Grize menutup matanya. “Biarkan dia bermain di atasku. Aku hanya ingin mendengar suaramu dan membayangkan bagaimana rasanya seandainya aku bisa bercinta denganmu.” “Kau memang sinting ….” Grize berusaha mempertahankan kesadarannya. Dia menggelengkan kepala beberapa kali dan kembali mendengar suara desahan wanita yang sangat keras. “Apa itu kekasihmu?” “Tidak. Bukan. Bukankah kau adalah kekasihku?” “Kau menjijikkan .... Tutup teleponnya sekarang,” ucap Grize dengan lirih. “Kau mabuk dan … suaramu terdengar lebih seksi dari biasanya,” sanjung Dave. “Kau pria sinting.” “Aku ingin menciummu lagi.” “Kau pria sinting,” ulang Grize. “Apa kau ingat tentang imbalan yang aku inginkan?” tanya Dave. “Hmm ….” Grize hanya bergumam tidak jelas. Sekarang otaknya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Ponsel di tangannya terlepas begitu saja. Kesadarannya kabur dan .... “Aku ingin bercinta denganmu, bergerak naik turun di atas tubuhmu dan membuatmu menjerit nikmat sambil memanggil namaku,” bisik Dave.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN