43. Again

2204 Kata
Anna sudah menyiapkan diri pada pagi ini. Dia sudah bersih-bersih dan siap pergi ke rumah sakit pukul setengah sepuluh karena jadwal konsultasi dengan dokternya pukul sepuluh pagi. Tentu saja kemarin, setelah mendapat izin dan saling berbicara baik-baik, Anna langsung membuat janji. Dia tidak mungkin melewatkan waktu luang suaminya. Kapan lagi mereka bisa melakukan ini, kan? Belum tentu beberapa waktu ke depan mereka bisa pergi bersama karena jadwal Roger yang padat. Seraya menunggu, Anna turun ke lantai bawah, duduk menghampiri sang kakak ipar Kania, yang sedang duduk di sofa seraya menimang putranya. Kebetulan Niel terjaga dan menangis, sekalian saja Kania memberikan Niel s**u dengan dibantu Mbak. "Hai tampan, semangat sekali menyusunya." Dengan begitu sumringah, Anna duduk di samping Kania seraya mengusap tangan bayi mungil itu sayang. Sesekali mengajaknya bicara ketika tatapan Niel seperti benar melihat ke arahnya. Keadaan Niel sudah lebih baik dari sebelumnya, semua orang bahagia sekali. "Mau kemana, Na? Rapi sekali. Tidak mau bekerja, kan? Aku bilangi Kak Jordan kalau kau mau berkerja!” Anna tertawa pelan mendengarkan omelan kakak iparnya. Bukan omelan lagi, tapi tatapan sinis penuh menyelidik, mungkin berfikir betul kalau Anna akan bekerja seperti biasa. "Tidak, Kak. Aku mau pergi ke rumah sakit." "Hah, kenapa? Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?" tanya ibu satu anak ini khawatir. Wajahnya menunjukkan yang tadi bisa dibilang tidak bersahabat, sekarang terlihat jelas kekhawatiran yang mendalam. “Tidak. Aku dan Kak Roger akan ke dokter, akan konsultasi tentang kehamilan. Tapi, dari tadi belum pulang atau menghubungiku juga. Padahal janjinya kemarin jam 10 pagi yang diberikan sama dokternya.” Anna menjelaskan secara pelan. Kali ini, Kania mengangguk paham, kemudian tersenyum menenangkan. “Wah semangat sekali, semoga lancar nanti ya konsultasinya. Tenang saja, nanti kalau ada yang tidak datang, bisa kalian untuk konsultasi, kalaupun penuh, doktermu tidak pernah menolakmu, kan?” Anna hanya tersenyum. “Masalahnya tidak enak dengan Kak Roger, Kak. Kalau kita datangnya akhir, pasti yang terakhir. Kalau pekerjaannya masih banyak, akan membuang-buang waktunya sekali seandainya antriannya penuh. Kalau aku menggunakan kartu sakit, bisa juga, tapi itu akan sangat tidak adil bagi yang lain.” Kania sekali lagi tersenyum, dia tahu kalau Anna selalu memikirkan posisi yang akan dia hadapi. Bukan hanya memikirkan dirinya sendiri. “Kau memang berjiwa social sekali, beda dengan kakakmu yang tidak suka berkumpul dengan manusia kalau bukan sudah teman dekatnya.” “Seperti tidak tahu dengan Kak Jordan saja, Kak. Dia kan memang pemilih orangnya. Kalau tidak suka, pasti langsung mengatakan tidak suka. Dia juga tidak mau membuang waktu bersama dengan seseorang yang tidak memberikan keuntungan baginya.” “Iya, kakakmu memang orang yang kaku sekali, Kakak bahkan tidak tahu kenapa bisa jatuh cinta padanya.” Kania tersenyum tipis, jadi nostalgia. Anna memang orang yang sabar. Tapi kalau ada kejadian seperti ini, dia bisa kesal juga. Maksudnya seandainya Roger akan terlambat atau malah memang tidak bisa menemaninya ke dokter, minimal Roger mengatakan saja, Anna akan mengerti dan pergi sendiri. Dia kalau diminta pasti akan mengerti. Anna tahu kalau Roger pasti sibuk. Anna tahu kalau suaminya bukan orang pengangguran ataupun berkerja seenaknya sendiri. Anna tahu kalau suaminya itu bertanggungjawab. Hanya saja di waktu ini, di waktu yang sudah Anna habiskan untuk bermain dengan keponakannya dan berbincang panjang dengan Kania, bukan berarti di dalam benak Anna tenang begitu saja. Justru kepalanya riuh dengan berbagai pertanyaan berbagai pertanyaan. Kemana suaminya ini sebenarnya? Kenapa tidak ada kabar? Kenapa tidak juga datang? "Na? Hai?" Kania yang menyadari lamuan Anna yang memang tepat di sebelahnya ini sampai menegur. "Ya, Kak?" "Kenapa? Khawatir dengan Roger? Tidak dicoba untuk menghubunginya dulu?" Anna menghela nafas berat. "Aku takut kalau Kak Roger sedang meeting nanti dia terganggu, Kak." "Apa Roger itu pelupa, Na?" Ada hening yang digunakan Anna untuk berpikir, entah memang atau hanya sebatas perkiraannya saja. "Dia memang pelupa, tapi tidak separah diriku kalau sudah lupa, Kak." “Coba dihubungi dulu, bisa jadi dia sedang berada di suatu tempat dan melupakan janjinya sendiri?” Anna tidak langsung mengambil ponselnya, tapi dia melihat kea rah jam besar yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang lebih. Menimbang-nimbang, setelah beberapa detik yang terlewatkan, iya. Anna memutuskan untuk menghubungi Roger langsung saja. Benda kottak itu sudah Anna gengam, Kania juga memperhatikan dalam diam, sampai Anna ingin menekan icon telfon, ada telfon masuk dari Roger yang mengejutkannya. “Kak Roger, Kak.” Kata Anna refleks begitu saja kepada Kania yang juga tengah penasaran melihatnya. Dasarnya Anna memang senang karena dihubungi setelah sedari tadi begitu kepikiran, tentu saja langsung menerima panggilan itu. "Hallo, Kak?" "Apa ini dengan saudaranya Bapak Roger?" Anna terkejut mendengar suara orang asing saat menerima telfon pertama kali, lantas melihat layar ponselnya, mengamatinya pelan siapa tahu dia salah lihat, siapa tahu salah menerima telpon. Namun, itu benar nomor telfon Roger. "Iya, saya istrinya. Ini dengan siapa, ya? Kenapa handphone suami saya bisa di tangan Bapak?" wajah Anna terlihat sekali, Kania yang duduk di sampingnya saja sampai berpikir yang tidak-tidak. "Saya dari pihak kepolisian, Bu. Suami Ibu mengalami kecelakaan beruntun di kilometer lima Senopati. Sekarang berada di RSCM.” Di detik itu juga, Anna yang memang duduk si sofa, lebih tepatnya di samping Kania langsung terdiam dengan detak jantung yang meningkat significant. Dia tidak tahu kalau akan mendapat telfon semacam ini. “Tolong pastikan suami saya baik-baik saja, Pak. Saya akan ke sana sekaran juga.” “Na? Ada apa?” Kania menatap Anna kalut karena wajah Anna jelas langsung pucat saat mendapat telfon itu, sementara tadi Kania tidak bisa mendengar apa-apa karena tidak di loud speaker, tapi Kania tahu kalau dari cara Anna berbicara tadi, memang ada yang tidak beres. Anna menarik napas perlahan untuk menetralkan degub jantungnya, “Kak Roger kecelakaan di Senopati, Kak.” “Ya Tuhan.” Kania terkejut, tidak sengaja memekik yang membuat Niel tidak tahu kenapa malah makin menambah riuh dengan menangis kencang sekali. Irish yang sedari tadi memang berada di dapur bersama dengan Mbak langsung menyusul ingin membantu menenangkan karena dokter belum mengizinkan Kania bekerja berat. Namun begitu melihat Kania sudah berjalan pelan menghampiri Anna yang berjalan sudah sampai pintu hanya membawa telfon, Kania makin memanggil yang membuat Niel tetap menangis. “Sayang, hai? Kenapa?” Irish menahan Kania yang ingin berjalan lebih jauh. “Jangan bekerja berat dulu.” Diambil alihnya tubuh bayi yang masih menangis histeris ini ke dalam gendongannya, kemudian melihat ke arah Kania setelahnya. Bertanya berlahan, “kenapa, Nya?” Kania yang memang biasa dipanggil Nyanya ini langsung menoleh, menatao ibu mertua yang sudah seperti ibu kandungnya ini khawatir. “Anna pergi sendiri, Ma. Tadi dia mendapat telfin dari Roger, tapi saat diangkat malah orang lain yang berbicara dan mengatakan kalau Roger kecelakaan di Senopati. Aku takut kalau itu hanya jebakan atau memang Roger sudah kecelakaan, tapi apapun itu dia tidak boleh pergi sendiri.” “Astaga, kamu duduk dulu, tenangka Niel sambil duduk, Mama akan menyusul Anna, kau tenang.” Kania dengan cakap menerima tubuh Niel, kembali menggendongnya dan berjalan menuju sofa, menenangkan putranya beserta dirinya sendiri. “Tolong tenang sayang, auntymu sedang khawatir sekali. Kita doakan mereka baik-baik saja, ya. Cup cup sayang, tenang.” Sudah ditimang-timang tak kunjung terdiam dan Kania juga masih khawatir, mbak yang kebetulan ingin membantu dirinya menggendong Niel datang dari arah dapur, Kania langsung menegurnya, meminta tolong. “Mbak, tolong ambilkan handphone di kamar, ya? Tadi di sofa kalau tidak lupa meletakkan.” “Baik Mbak.” Mbak ini langsung pergi ke kamar Kania, mengambilkan pesanan nyonyanya. Begitu mendapat, langsung memberikannya pada Kania. Perempuan itu buru-buru menghubungi Jordan, tidak mau kalau Anna sampai kenapa-kenapa lagi. Begitu sambungan terhubung, Kania langsung mengatakan semua yang terjadi pada Jordan tanpa terkecuali. Meskipun dibilang belum sepenuhnya tenang, tapi Kania agak lega karena sudah menghubungi suaminya. Jordan pasti langsung melakukan sesuatu karena mama mertuanya juga tak kunjung datang. Kania hanya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hingga menit yang kembali berlalu, Niel sudah tenang, malah tertidur di timangan mbaknya, Irish datang dengan wajah yang kentara sejali paniknya. “Anna bagaimana, Ma? Mama duduk dulu. Mbak tolong ambilkan minum untuk Mama, ya.” Mbak memberikan Niel pada Kania, kemudian pergi untuk mengambil Irish minum. Begitu Mbaknya kembali, Isrih menerima air putuh dalam gelas dengan tangan gemetaran. Tidak menyangka saja kalau akan terjadi hal yang tidak diharapkan seperti ini. Irish tadi tidak sempat menahan Anna karena sudah terlajur pergi lebih dulu. Namun, dia sudah meminta pengawal di sana untuk mengejar Anna dan menghubungi suami serta kedua putranya. Irish tidak tenang. Wanita paruh baya dengan tiga orang anak yang sudah berumah tangga semua ini benar-benar khawatir dengan putri semata wayangnya. Firasat ibu tidak bisa diabaikan begitu saja. Jelas Irish memiliki ikatan batin dengan Anna. Dia tahu saat putrinya dalam keadaan bahaya, sedih, tertekan, Irish tahu. *** Anna pergi sendiri hanya dengan ditemani oleh supir di depan. Dia duduk di jok belakang dengan tangan yang saling bertaut, kepalanya sakit, perutany juga mual, pelipisnya sudah dipenuhi keringat dingin karena udara pendingan udara yang berada di dalam mobil membuat keadaannya malah memburuk. Dia baru saja menikah dengan Roger. Baru saja membicarakan anak dan rencana mereka yang akan pindah di rumah baru. Sungguh, pernikahan mereka saja belum ada seminggu, tapi sudah diberi cobaan seperti ini. Anna takut kalau Roger sampai kenapa-kenapa. Dia tidak mau kehilangan kakak, suami, serta teman yang sudah dirinya pilih bisa menghabiskan waktu di masa tua kelak. Di waktu ini, Anna tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Roger. Dia bahkan lupa kalau sebenarnya dirinya dijadikan target jika ini hanyalah sebuah jebakan. Tapi Anna tidak berpikir sampai ke sana karena Anna merasa tidak enak hati sejak semalam. Dan percaya tak percaya, ada orang yang menelfon menggunakan nomor Roger dan mengatakan suaminya kecelakaan, Anna jelas khawatir. Kalau mau dilogika yang menelfonnya tadi hanya berniat jahat, pasti tidak akan tahu nama Roger siapa, juga tidak akan mengatakan di RSCM. Sementara Anna juga tidak bodoh. Hampir jarang ada penjahat yang beraksi di terang benderang seperti ini, apalagi ini di daerah rumah sakit yang bisa dibilang selalu ramai. Kalau memang Roger kecelakaan, Anna tida tahu separah apa yang menimpa Roger sekarang, tapi dia jelas sangat khawatir. Hati Anna tidak bisa dibohongi. Jalan yang ramai lancar membuat Anna segera sampai di rumah sakit. Dia berjalan agak tergesa saat memasuki rumah sakit, bertanya pada sang resepsionis perihal korban kecelakaan di Senopati atas nama Roger. “Mbak, apa ada pasien dengan Nama Roger Gustavo. Dia-dia korban kecelakaan. Polisi mengatakan kalau dia dibawa ke sini.” “Kecelakaan beruntun di Senopati?” sang resepsionis bertanya ingin memastikan. “Iya.” Jawab Anna karena memang seperti itu yang dirinya dengar. “Sepertinya masih di IGD, Bu. Belum ada konfirmasi kalau korban sudah dipindahkan ke ruang rawat.” Anna merasakan kalau pasokan udara di paru-parunya menipis. Sudah jelas, suaminya benar kecelakaan. Sopir tadi sampai memegangi bahu Anna karena tuan putrinya ini hampir saja limbung kalau tidak dipegangi. “Mbak Anna?” panggilnya berupaya menyadarkan. Beberapa pengawal yang menyusul tadi juga sudah datang. Mereka lantas menghampiri Anna beserta supir perempuan itu dan bergegas menuju IGD untuk melihat keadaan Roger bagaimana. Dengan begitu sabar, mereka berjalan di belakang Anna, ada ajudan satu yang memang berada di depan, memastikan benar-benar kalau tidak aka nada yang bisa menyakiti tuan putrinya ini. Karena mereka dibayar untuk mengawal. Kalau Anna sampai kenapa-kenapa, sudah jelas endingnya mereka akan menjadi apa karena lalai melaksanakan tugasnya sendiri. Dan Barack membayar mereka juga tidak main-main. Demi kebahagiaan semua orang, semuanya dia lakukan, tak peduli materi yang harus dihabiskan. Karena prinsip Barack, kebahagian dan kesehatan itu nomor satu. Kalau harta dan materi jelas bisa dicari di lain hari. Kalau dirinya sibuk mencari kedua hal itu dan mengabaikan kebahgiaannya sendiri, harta yang berlimpah pun, sampai uang bisa digunakan untuk mandi saking banyaknya, juga tidak akan berguna. Semuanya akan terasa hampa, semuanya akan percuma. Karena dasarnya, tidak ada satu pun harta yang dibawa mati kecuali amal perbuatan yang dilakukan di dunia ini. Sebelum masuk, ajudan pertama yang memastikan terlebih dahulu apakah yang di dalam ini betulan Roger atau tidak sementara Anna sementara ditahan di luar agar aman terlebih dahulu. Meski apapun yang dilakukan oleh mereka, Anna tidak peduli. Begitu ajudan ini keluar, Anna langsung menghampirinya, “apa benar?” tanyanya khawatir. Matanya bahkan memerah hebat saat menatap sangat ajudan. Dan mungkin ajudan ini sudah dilatih untuk tegar dan siap siaga dalam keadaaan apapun, jadi dia mengatakan yang sebenarnya tanpa rasa. “Iya, Nona.” Anna kembali ditahan saat tubuhnya terusan ingin limbung. Dia tidak tahu separah apa yang Roger alami sekarang, tapi yang pasti dia takut. Dia tidak pernah bisa melihat orang sakit. Makanya dia tidak bekerja di dunia kesehatan. Karena sedari awal, Anna mengakui kalau mentalnya tidak kuat berada di dunia yang kesehatan. Dia tidak perlu melihat orang menangis, tidak perlu mengetahui orang ditinggalkan dan meninggalkan, Anna tidak pernah suka dengan hal seperti itu. Perlahan tapi pasti, dengan penjagaat yang sama ketatya meski hanya sebagian yang masuk akrena ajudan di sana juga mengerti kerja di rumah sakit itu seperti apa. Ruangan yang dipenuhi oleh banyak orang tentu saja membuat sirkulasi udaranya kurang baik. Makanya hanya ajudan pertama dan dua ajudan lagi yang masuk menemani Anna, sementara yang lain menunggu di luar seraya menunggu infirmasi lebih lanjut dari Barack Abraham seperti apa karena Barack sudah menghubungi salah satu dari mereka kalau dirinya beserta kedua putranya akan datang. Dan tanpa dijelaskan, selama mereka belum datang, menjaga Anna adalah harga mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN