Selesai perbincangan yang membuat Barack dan semua orang terdiam, Roger juga sama terdiamnya sekarang. Di batas tralis besi, di balkon kamar, dia menatap pekebun yang sibuk memotong puvuk merah. Roger hanya diam di sana, sementara Anna sendiri terdiam di tepi ranjang, melihat di mana suaminya ini berada.
Perihal maksud ingin tinggal sendiri kemarin, Anna memang tidak ada bicara lebih dulu dengan Roger. Dia langsung memutuskan sepihak begitu saja karena Anna pikir memang seharusnya itu yang terjadi. Dia tidak mungkin membiarkan suaminya merasa tidak nyaman jika harus tinggal dengan keluarganya.
Maksudnya bukan karena Roger tidak suka dengan keluarga Anna, tapi Roger ingin membangun keluarganya sendiri. Lagi pula tempatnya dekat, baik Anna maupun keluarganya bisa bermain kapanpun mereka mau.
Sementara Anna sendiri bingung kenapa malah Roger terlihat tidak suka dengan diam saja setelah dari ruang keluarga tadi. Lagi pula Anna tahu, Roger memang menginginkan itu. Lalu kenapa saat Anna sudah melakukan apa yang sebenarnya menjadi keinginan Roger, lelaki itu malah seakan mendimainya? Anna jelas tidak mengerti keinginan Roger yang sebenarnya itu apa.
Anna juga tahu kalau pernikahan itu bukan hanya tentang nafsu saja, tapi tentang kedua belah pihak keluarga. Karena itu Anna ingin menari jalan tengah, tidak menyakiti kedianya meski pada akhirnya, Anna memang harus memilih salah satu. Keluarganya atau suaminya. Dan Anna memilih suaminya karena keluarganya lengkap, mereka memiliki satu sama lain dan saat Anna kembalipun, dia selalu diterima dengan tangan terbuka, dengan curahan kasih sayang.
Namun Roger, suaminya ini sudah terlalu lama hidup sendirian. Hatinya kosong, karena itu Anna ingin mengembalikan rasa-rasa apa saja yang memang diri Roger miliki sesungguhnya. Anna sudah bertekad untuk itu dan pasti akan dirinya lakukan. Yang terjadi selama ini tidak sepenuhnya membuat rasa itu hilang, hanya tertimbun saja perasaan yang lain hingga tidak disadari. Namun Anna yakin kalau Roger akan meraskananya kembali. Kebahagiaan.
Terlalu lama membuang waktunya hanya untuk diam, Anna lantas menyusul Roger, berdiri di sampingnya, ikut menatap apa yang Roger tatap. “Kakak tidak suka aku bicara seperti tadi?” Anna bertanya kalem dengan pandangan lurus ke arah bawah. “Aku minta maaf.”
Roger memejamkan matanya dalam-dalam, lantas berjalan sedikit mundur, memeluk istri kecilnya ini dari belakang hingga Anna bisa menompangkan seluruh berat tubuhnya di tubuh suaminya ini dan itu sangat menyenangkan. “Aku tidak marah.”
“Tapi Kakak diam terus sejak tadi.”
Ada helaan nafas samar-samar yang Anna dengar. “Kita seharunya membicarakan ini dulu, Na. Tidak bicara dari satu sisi seperti tadi. Kau tidak lihat wajah keluargamu sangat terkejut tadi? Mereka pasti berat melepasmu pergi meski rumah kita berdekatan nanti. Kau putri satu-satunya di keluarga Abraham, kesayangan semua orang pula. Dan sejak awalpun, aku sudah menerima keputusan untuk tinggal bersama di sini. Sekarang kenapa kau memutuskan sepihak seperti itu?”
"Kakak tidak suka kalau tinggal hanya bersamaku?" Anna kembali bertanya pelan di dalam dekapan suami tercintanya ini. Sudah dibilang ada banyak rencana di dalam benaknya sekarang. Makanya Anna sangat mengusahakan. Sungguh kalau ada yang bisa memberinya kado terindah untuk pernikahannya, maka adalah izin kalau Anna diperbolehkan hanya tinggal berdua dengan Roger. Itu benar-benar akan menjadi mimpi terindah untuknya. Dan tentu saja bagi Roger juga.
"Bukan seperti itu." Kata Roger melanjutkan.
Entah kenapa bahasan mereka mendadak berat seperti ini.
"Waktu dibawa pergi dulu, aku sering bermimpi bertemu papa dan mama. Dan aku berharap saat punya keluarga nanti, aku juga hidup bersama dengan papa mama, tidak hanya berdua dengan istri. Karena aku pikir, aku anak pertama, kedua orang tuaku siapa menjaga kalau bukan aku? Karena itu, aku setuju saja saat diberi syarat tinggal di sini bersamamu. Lagipula, aku bisa menjual rumahnya. Uangnya bisa ditabung. Tidak apa-apa. Tidak perlu merisaukan itu semua."
Anna memang sudah mendengar alasan Roger. Tapi tetap saja dia tidak bisa menerimanya begitu saja. Mungkin, Anna memang sudah sering dituruti keinginannya. Namun yang ini, itu benar-benar keinginan yang sangat perempuan itu inginkan.
“Aku sudah menikah, Kak.” Dengan mata yang menatap langit lurus-lurus, Anna mengusap sayang tangan Roger yang melingkari perutnya. “Mereka pasti akan mengerti. Sebelum memutuskan itu, aku sudah berdebat dengan Papa. Saat itu Papa mengatakan iya.”
“Tapi waktu itu, syaratnya beda, Na. Dan kau juga ada di sana, tapi kenapa baru sekarang bicaranya? Tidak apa-apa, aku sudah setuju di sini.”
“Aku ingin di rumah baru. Aku ingin melihatnya.” Anna bersikeras.
Roger memejamkan matanya dalam, lantas memberikan ciuman hangat di pincak kepala istrinya ini. “Kita tunggu keputusan papa. Kalau boleh, kita pergi. Kalau tidak, tidak apa-apa di sini.”
Anna tersenyum lebar sekali. Dia sedikit mendongak, menatap Roger. “Betulan, ya?” Roger tidak merespon berupa jawaban. Dia menunduk ke arah Anna dan menanamkan satu kecupan lembut di bibir ranum istrinya ini yang membuat Anna langsung bersorak gembira. Dia tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.
“Ya sudah, aku pergi dulu. Ada urusan di luar sebentar dengan kakakmu. Pintu balkonnya jangan lupa dikunci.” Roger mengecup puncak kepala Anna sekali lagi, mengingatkan perempuan itu agar tidak ceroboh. Menikah dengan Roger tak serta merta membuat nyawa Anna menjadi aman.
“Ke rumah baru?” perempuan ini bertanya lagi.
“Tidak.” Balas Roger agak geregetan, lantas mencium Anna sekali lagi sebelum benar-benar pergi.
Anna yang ditinggal tidak berekspresi apa-apa, justru dia mengikuti Roger turun, tapi dia memilih ke kamar Kania, menengok keponakannya yang terjaga dan diacak bicara oleh mamanya.
“Kak, boleh aku menggendong Niel?” Anna bertanya penuh binar saat si kecil berkedip-kedip menatap sang ibu.
“Boleh, tapi tanganmu sudah kuat, kan?”
Anna mengangguk semangat. “Kalau tidak, pakai yang sebelah kiri tidak apa-apa kan, Kak?”
Kania juga sama mengiyakannya. Dengan begitu telaten, Kania mengangkat bayi mungilnya dan meletakkan bayi itu ke gendongan Anna. Sementara Anna langsung duduk dan menimang-nimangnya pelan.
Anna menatap bayi itu takjub, jadi membayangkan bagaimana saat dirinya diberikan kepercayaan oleh Tuhan saat memiliki bayi nanti. Tentu saja Anna sangat berharap banyak. Dirinya dan Roger saja sepakat tidak menggunakan pengaman atau apapun itu. Besar harapan keduanya kalau Anna hamil.
“Niel anteng sekali di gendonganmu. Kadang digendong mama saja suka menangis.”
“Calon mama, Kak.” Anna tertawa yang dibalas Kania dengan tawa juga. Dia tidak mau bersedih untuk sesuatu yang hanya akan membuat Anna terbebani.
“Iya, cepat lah menyusul, rumah pasti akan ramai sekali. Oh iya, apa kau sudah merencanakan sesuatu tentang kehamilan, Na? Aku sarankan, pola hidup sehat, jangan stress. Pekerjaan kamu yang padat itu bisa dihentikan dulu kalau semisal mau program hamil.”
“Belum.” Jawab Anna tersenyum kalem. “Tapi aku rencana ada pindah ke rumah yang Kak Roger bangun, Kak. Aku mau di sana.”
Kania yang belum tahu-menahu soal ini jadi mengerjap, takjub. “Sejauh itu persiapannya?”
“Iya, rumahnya sudah jadi, di block sebelah. Sengaja mencari lahan yang paling dekat dengan rumah.”
“Tapi, Na?” duh, Kania jadi tidak enak mengatakannya. “Maaf sebelumnya, memangnya papa setuju? Aku dengar, syaratnya kan Roger harus tinggal di sini.”
Anna mengangguk membenarkan dengan tangan yang mengusap tangan Niel lembut. “Sebenarnya sebelum keputusan itu, aku sudah mendebat Papa, Kak. Dan Papa memberikan izin. Tapi karena sesuatu,” Anna berhenti sejenak dan memang tidak ingin mengatakannya, “Papa merubah keputusannya waktu di Singapure kemarin. Tapi tadi pagi, aku membahas ini lagi, tidak tahu keputusan papa akan seperti apa.”
Kania mengusap punggung Anna yang paling dekat dengan jangkauannya perlahan. “Dulu mamaku bilang kalau tidak apa-apa ikut suami, memang sudah seharusnya seperti itu, kan? Makanya aku tidak keberatan. Tapi untuk kasus Roger, suami kamu itu sabar sekali Na, tidak banyak maunya. Legowo orangnya, semoga langgeng ya, bahagia terus ya walaupun dalam pernikahan, pasti ada cobaannya.”
“Terima kasih, Kak.” Anna melihat ke arah Kania dengan senyuman yang lebar sekali. “Kakak mau makan lagi, aku ambilkan?”
Ibu yang baru saja melahirkan beberpa minggu itu langsung menggeleng, “masih kenyang, Na.”
“Kakak kapan control lagi, Kak? Niel diajak?”
“Besok. Iya, mau diperiksakan juga. Aku perhatikan nafasnya berat semalam.”
Anna menatap jagoannya ini nanar. “Lekas membaik, Sayang. Nanti Aunty ajak jalan-jalan, beli mainan, ya?”
Kania tertawa dan kebersamaan itu lantas lenyap karena Jordan datang dan mengatakan kalau Anna sedang ditunggu semua orang di ruang tamu.
"Ke sana dulu, nanti kakak menyusul. Mereka semua menunggu."
"Ada apa lagi?" Anna langsung khawatir melihat wajah serius yang Jordan tampilkan ya walaupun kakak yang satunya ini selalu berwajah serius, tidak pernah pecicilan atau petakilan seperti Khris.
"Temui mereka dulu."
Sadar kalau hanya membuag waktu terus bertanya seperti itu, Anna keluar menuju ruang keluarga. Di sana, semua orang sudah berkumpul, tak terkecuali Roger, suaminya. Lelaki itu duduk dengan anteng, tengah manatapnya yang berjalan hendak menuju ruang kaluarga.
"Ada apa?" tanyanya peln saat berhasil duduk di samping Roger.
"Papa mau bicara." Roger membalas pelan.
Anna lantas melihat ke arah mama dan papanya berada. Wajah mereka tak tertebak dan Anna tidak tahu maksud dari memintanya di sini akan membicarakan apa. Sampai akhirnya Barack memecah keheningan.
"Papa akan memberikan oendapat tentang keinginan kamu ke rumah baru, Na."
Anna langsung mengangguk saja. "Sebelumnya, papa tanya pada Roger dulu. Apa di sana sudah lengkap perabotannya? Sudah lengkap secara keseluruhan?"
"Sudah semua, Pa." Jawab Roger yakin meskipun terkesan pelan. Sementara Anna dalam hati berharap besar kalau seperti biasanya, papanya akhirnya luluh juga dan memberikan izinnya.
Ada jeda yang diambil Barack untuk melihat kea rah Irish seakan mereka tengah berdiskusi dalam keheningan itu. Hana dan Roger hanya diam, menatap kedua orang tua paruh baya yang sudah menua tapi tetap saja terpanjang ketampanan dan kecantikannya, selain itu kedermawannya tidak perlu diragukan lagi.
Hingga tak terasa menit-menit yang terlewatkan berlalu begitu cepat. Anna masih setia menunggu papanya bersuara.
“Baiklah, kalian bisa tinggal di rumah sendiri. Tapi, harus sering main di sini. Kalau Roger bekerja atau sdang di luar, harus mengantar Anna di sini dulu, jangan ditinggal sendirian. Kalau malam Roger belum datang, Anna tidur di sini.”
“Pa?” Anna menggeleng. “Aku akan menungggu Kak Roger pulang. Aku akan terima berapapun pengawal yang papa kerahkan, tidak akan aku keluhkan lagi. Tapi, aku ingin di sana meski Kak Roger tidak pulang malam harinya. Aku akan tetap di sini sepanjang hari, tidak apa-apa kalau tidak ke butik.”
“Anna?” Roger menegur istrinya ini pelan. "Tidak ada yang menjagamu, tidak. Kau harus di sini, jangan membantah." Lanjutnya lagi masih saja pelan.
"Aku bukan anak kecil, Kak. Lagi pula penjagaannya akan diperketat, kan? Kenapa tidak boleh?" Anna menatap Roger nanar, sungguh dia menginginkan kebebasan ini. "Aku tidak akan kenapa-napa, orang itu tidak akan datang secara diam-diam dan menyakitiku lagi."
"Kenapa kau bisa begitu percaya? Kita tidak pernah tahu niat buruk seseorang Anna. Kau boleh selalu berpikiran positif, tapi harus tetap waspada. Jangan asal yakin saja kalau itu hanya pandangan sepihakmu."
"Roger benar, Na." Barack Abraham menambahkan.
Anna terdiam melihat wajah memohon semua orang. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ada banyak yang dirinya pikirkan sekarang, menimbang-nimbang mana yang akan dirinya ambil atau tidak saja.
Hingga waktu yang kembali terlewatkan, Anna mengutarakan keputusannya atas dirinya sendiri setelah memikirkan semua orang yang begitu menyayanginya. ANna juga tidak bisa egois dengan memikirkan kebahagiaannya sendiri.
"Baiklah, aku akan di sini kalau Kak Roger tidak ada. Tapi kalau Kak Roger di rumah, aku tetap di sana. Ya?"
Barack mengangguk meski pelan. Anna sudah setuju begitu saja dia sudah lega sekali. Jujur saja, Barack ingin meminta Anna lagi, namun dia tahu kalau sangat mengekang di saat Anna sendiri sudah tidak menjadi tanggungjawabnya lagi karena Anna sudah memiliki suami sekarang. Memiliki suami yang akan menggantikan tugas-tugasnya meski sosok ayah tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
***
Anna sibuk berkemas. Perempuan itu bahkan mengabaikan Roger yang menatapnya dalam diam sedari tadi. Anna sadar, hanya saja dia terlalu senang dengan izin yang didapat untuk tinggal di rumah baru yang Roger bangun untuknya setelah menikah.
Memasukkan pakaian-pakainnya, Anna sesekali tersenyum dalam hati, membayangkan apa yang akan terjadi setiap harinya saat hanya hidup berdua dengan Roger. Sementara Roger yang duduk di sofa hanya bisa mengurut kepalanya pelan. Tubuhnya yang bersandar sempurna di punggung sofa selaras dengan tatapannya yang menatap lurus ke arah Anna.
Lelaki itu jelas masih kepikiran. Dia memang yang sudah mereancanakan rumah itu sedari lama, juga dafatar apa-apa saja yang akan Roger lakukan bersama Anna. Sayangnya, dia mendadak ragu melihat wajah mertuanya yang jelas terlihat berat sekali melepas Anna meski hanya beberapa kilo sekalipun. Beruntung sekali yang masih memiliki orang tua sampai sekarang, disayangi begitu dalam.
Bahkan saking memikirkan sesuatu yang sebenarnya ini merupakan keuntungan tersendiri bagi Roger, Anna menegur suaminya yang tengah melamun ini pelan. "Kakak betulan tidak mau hidup hanya berdua denganku?"
"Hah? Bagaimana? Kau tanya apa, Na?" Roger terkejat, segera menegakkan tubuhnya dan meminta Anna untuk mengulang pertanyaannya kembali.
Anna menghela nafas berat, lantas duduk dengan tangan yang mendekap beberapa baju panjangnya. "Kakak betulan tidak mau hidup hanya berdua denganku?"
Kalau tadi Anna yang menghela nafas berat, sekarang Roger juga sama menghela nafas beratnya. Mereka sama-sama berpikir berat tentang permasalahan yang seharsunya sederhana ini. Sudah biasa kalau pasangan yang sudah menikah memisahkan diri dari orang tua. Kalau istilah Jawa, namanya omah-omah dewe, berumah tangga sendiri. Dan itu bukanlah sesuatu yang patut diperdebatkan sampai berkepanjangan seperti ini.
"Kau akan lelah jika bolak-balik ke rumah dan ke sini, Na. Sudah, di sini saja. Kau tahu, orang kalau mau program hamil tidak boleh kecapaian."
Anna bungkam dengan d**a yang berdetak gila untuk beberapa waktu sampai akhirnya bisa menemukan suara kembali. "Kakak sungguh berpikir sejauh itu?"
Roger bangkit, duduk di tepi ranjang, di samping Anna, mengambil gaun yang perempuan itu dalam pangkuannya ke ranjang, kemudian meraih kedua tangan istrinya ini, menggamnya erat, selaras dengan tatapannya begitu dalam ke arah istri jelitanya ini. "Kau tidak ada rencana menunda momongan, kan."
"Kakak tau kalau aku sangat ingin memiliki anak." Anna menjawab pelan. Bahkan kalau Anna tidak menjawab pun, Roger sudah sangat tahu jawabannya akan seperti apa.
"Ini mumpung aku masih cuti, kita bisa langsung konsultasi ke dokter. Kalau sudah kerja nanti, akan sulit sekali menentukan jadwalnya. Kalaupun aku bisa, takutnya tidak bebarengan dengan luangmu, Na."
Begini ya kalau memiliki suami yang sangat dewasa, Anna merasa diayomi sendiri meski semuanya tidak akan bertahan lama.
"Mau besok?" Anna betanya pelan.
"Boleh, kau yang buat jadwalnya, ya. Dokter di rumah sakit Abraham saja, biar lebih aman, di sana penjagaannya lebih ketat."
Anna mengangguk. "Aku akan membuat janji sekarang dengan dokterku, nanti aku beri tahu besok perginya jam berapa, ya. Kakak pergi dulu tidak apa-apa."
Senyuman tipis Roger tampilkan, dia mendekat, melumat bibir istrinya pelan, begitu menghayati sebelim melapas tautannya dan izin pergi karena ada beberapa hal yang harus diurus lagi kalau Anna ingin di rumah baru. Dan sebelum pergi, Roger menghadiahi Anna kecupan hangat di keningnya yang agak berkeringat.