Pagi buta, bersamaan dengan ayam berkokok, tidur Roger terganggu saat mendengar kegaduhan di dalam rumah.
Begitu matanya yang masih enggan terbuka, memaksa terbuka dan tak mendapati Anna di sebelahnya, Roger langsung bangun seketika. Dia melihat ke arah kolam renang, takut Anna terjebur. Ternyata aman, tidak ada siapa-siapa.
Karena mendengar suara kegaduhan lagi di dalam, Roger buru-buru membuka bangkit dan mencari sumber suara itu.
Langkahnya yang lebar terhenti di depan kamar mandi yang terbuka. Roger terdiam untuk beberapa detik melihat Anna sudah bersumpah di depan closed dan memuntahkan seluruh isi dalam perutnya.
"Kenapa tidak membangunkan ku, Anna?" Roger menghela nafas berat. Lantas mendekat untuk membantu memijat tengkuk leher Anna yang dingin sekali.
Meskipun tidak sanggup mengatakan apapun, Anna sangat berterima kasih atas bantuan Roger. Tadi dia tidak bisa bernafas saat muntah. Anna berpikir, dia berakhir mengenaskan di sini. Untungnya Roger datang.
"Sudah," suara Anna terdengar bergetar.
Roger membantu Anna berdiri, tubuh perempuan itu terasa lemas sekali dalam rengkuhannya. Roger bahkan sampai berjaga-jaga di belakang Anna, takut kalau perempuan itu sampai terjatuh atau apa karena tubuhnya juga masih gemetaran. Roger bahkan sampai memperhatikan lekat perut Anna yang tengah perempuan itu cengkeram dalam diam.
"Na? Perutnya sakit?"
Anna hanya menggeleng pelan, kemudian mencuci wajahnya di wastafel agar lebih segar dan tidak seberantakan tadi. Anna bahkan meringis dan hampir muntah kembali membau badannya yang tidak enak. Tubuhnya bau muntahan.
"Makanya kalau mau makan atau minum itu dilihat dulu gelasnya siapa yang diambil. Sudah dibuatkan s**u hangat malah minumanku yang diminum." Roger menggerutu pelan sambil menuntun Anna keluar dari ruangan yang terasa panas itu.
Dasarnya Anna masih lemas, perempuan itu hanya diam saja. Memang dirinya sendiri yang salah karena asal minum semalam.
"Mau kubuatkan teh hangat?" Roger bertanya pelan saat Anna sudah menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa.
Mendapati anggukan pelan dari Anna, Roger langsung bergegas pergi ke pantry, membuatkan teh untuk perempuan itu agar merasa lebih baik.
Kurang lebih tiga menit, Roger kembali membawa secangkir teh hangat yang langsung dipindahtangankan ke tangan Anna. Perempuan itu bergumam lirih sebagai ucapan terima kasih. Kemudian meminum perlahan teh yang dibuatkan oleh Roger.
Perasaan dan kondisi tubuh Anna jadi lebih baik setelah meminum teh itu. Dia tidak mual lagi, kepalanya juga tidak sesakit tadi.
"Kakak duduk di sini." Anna menepuk pelan ruang kosong di sofa panjang yang tengah ia duduki.
Roger yang sedari tadi memang berdiri memandangi Anna langsung duduk seperti yang perempuan itu instruksikan. "Sudah lebih baik?"
"Iya, terima kasih, Kak."
"Lain kali jangan diulangi lagi. Kau sangat menyebalkan saat mabuk, berbicara yang tidak-tidak. Mana semalam kau mencium ku. Apa kau ingat, kau sangat menakutkan semalam. Bagaimana kalau aku sampai lepas kontrol dan melakukan sesuatu yang tidak-tidak padamu?"
Anna tertawa renyah mendengar omelan Roger yang ditujukan padanya. Dia ingat samar-samar perihal mencium Roger paksa. Dia juga ingat wajah sedih Roger saat pembicaraan absurd mereka semalam merembet ke keluarga Roger. Dan di detik ini, tawa renyah Anna lenyap digantikan dengan senyum lirih.
Dengan berani, Anna menyandarkan kepalanya yang masih agak berat di babu Roger, mencari tempat ternyaman di sana.
"Maaf Kak, sudah menyusahkanmu malam tadi.*
Roger membuang nafas panjang, lantas mengamati tangan kanan Anna yang berada dalam pangkuannya. "Tanganmu baik-baik saja, kan? Tidak sakit?"
"Tanganku baik-baik saja." Jawab Anna mantap. "Hanya kepalaku yang sedikit pusing."
"Efek alkohol, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri sakitnya."
Anna lantas menjauhkan kepalanya dari bahu Roger dan memilih memandangi wajah tampan pria itu. "Kakak sudah terbiasa ya, makanya tahu banyak penanganan alkohol seperti apa."
"Ya... begitulah. Aku tidak mungkin meminum s**u sepertimu, Na. Aku sudah tidak dalam masa pertumbuhan."
"Ya! Aku sudah besar lah, mana ada aku masih masa pertumbuhan. Aku sudah dewasa tahu?"
Roger tertawa mendengar Anna terlalu serius menanggapi candaannya. "Aku hanya bercanda, Na. Kau serius sekali."
"Aku juga bercanda. Kakak yang serius sekali."
"Baiklah. Baiklah aku salah, aku minta maaf padamu. Sekarang ayo bersiap. Kau mau pulang sekarang atau besok saja?"
"Nanti." Jawab Anna tanpa pikir panjang.
"Nanti tidak ada dalam pertanyaanku, Na."
Anna menarik nafas perlahan sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Roger dengan pertanyaan kembali. "Memangnya kenapa harus sekarang kalau nanti siang atau sore tidak boleh? Aku ingin tidur lagi."
"Ya sudah nanti kita pulangnya. Kau tidur lagi saja. Aku pergi sebentar."
"Mau kemana? Aku tidak ditinggalkan, kan?" tangan kiri Anna sudah menahan lengan Roger cukup kuat. Dia tiba-tiba takut. Bagaimana kalau Roger pergi dan tidak kembali. Bagaimana kalau Roger meninggalkannya sendirian?
Anna bisa saja kembali hanya tinggal sekali menghubungi orang rumah. Hanya saja, dia tidak mungkin kembali seorang diri di saat dia pergi disaksikan semua orang bersama Roger. Calon suaminya ini bisa mendapat masalah kalau sampai orang rumah tahu Anna datang seorang diri.
"Aku hanya ingin melihat-lihat sebentar. Katanya kau mau istirahat? istirahat saja, Na. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Ayo."
Roger menarik tangan kiri Anna pelan sampai perempuan itu berdiri. Detik berikutnya dia menuntun Anna sampai kembali ke kamar. Jangan sampai kekasihnya ini kenapa-kenapa. Entah bagaimana mereka memiliki ketakutan satu sama lain seperti ini. Satu takut, satunya takut juga.
"Kau terlihat pucat, Na. Kepalamu masih sakit?"
Anna hanya menggelengkan pelan, persis sekali bocah kecil saat duduk di tepi ranjang.
"Mau kupijat kepalanya? Pelan-pelan?" Roger menawarkan bantuan.
"Kakak tidak bisa memijat." Kata Anna tanpa pikir panjang.
Roger berdecak pelan. "Kau memang suka meremehkanku, Na. Selalu saja seperti itu."
Anna hanya tertawa seadanya. "Ya sudah kalau mau dipijat. Nih."
Pria itu geleng-geleng melihat Anna yang langsung mendekatkan kepalanya. Tanpa pikir panjang juga, Roger langsung memijat kepala Anna pelan, hati-hati. Anna saja sampai memejamkan matanya, entah karena kesakitan atau malah keenakan.
"Kepalamu hangat sekali. Apa aku telfonkan dokter saja, Na? Mungkin alkohol langsung berdampak buruk padamu?"
Anna yang ditatap serius hanya geleng-geleng pelan. Dia merasa lebih baik saat Roger memijat kepalanya. Kepalanya tidak seberat tadi. "Kepalaku tidak sakit, Kak. Hanya sedikit nyeri saat bangun tadi. Begitu muntah, sudah tidak seberat waktu bangun tidur. Setelah itu Kakak memijitku, aku sudah merasa lebih baik."
"Benar?"
"Iya, kenapa tidak percaya padaku?"
"Ya sudah, aku pijit lagi. Kau diam saja, jangan banyak gerak." Anna hanya manggut-manggut seadanya.
Roger jadi tertawa seadanya melihat Anna yang malah keenakan dia pijat.
"Kau kenapa lucu sekali, Na?" Roger jadi geleng-geleng sendiri. Sepertinya dia salah mencintai orang. Tapi sepertinya tidak juga. Buktinya dia bahagia. Anna adalah definisi dari kehidupannya yang bahagia.