Nuansa putih meyeruak begitu Anna turun dari tangga menuju halaman rumah yang memang sudah diatur akan menjadi tempat akadnya nanti. Mata sembabnya sudah tidak terlalu kentara, wajahnya yang memang sudah cantik terlihat begitu pangling di mata orang-orang.
Sesi pemotretan nanti akan ada beberapa yang tidak bisa ikut. Tentu saja Anna sedih kedua kakak iparnya tidak bisa ikut mendampinginya. Baiklah, Anna paham kalau kondisi keduanya sedang tidak baik. Anna beeharap semoga mereka lekas pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Jadi mereka pasti juga tidak enak saat merasakan sakit.
“Na?” Barak kembali menegur putrinya ini untuk kesekian kalinya. Pasalnya sedari tadi langkahnya sering kali terhenti untuk menatap sekitar. Barack sebagai ayah jelas khawatir kalau ada yang tengah mengganggu pikiran putri satu-satunya ini.
“I am okay, Pa. Cuma cari Kak Shilla sama Kak Kania.”
Sekarang Barack paham. Lelaki paruh baya itu lantas mendekap putrinya dan membisikkan kata-kata menenangkan. “It’s okay. Tidak apa-apa. Kalau merekadalam keadaan baik, pasti menemui kamu. Mereka pasti juga sedih tidak bisa hadir.”
Belum sempat menjawab, Khris dan Jordan yang sudah tampan menggunakan jas berwarna hitam formal datang menhampiri mereka. “Lama sekali, Pa. Pengantin laki-lakinya mau menyususl katanya kalau 30 detik lagi pengantinnya tidak turun.”
Anna tersenyum mendengar candaan kakak keduanya, lantas melupakan perihal tadi dan melanjutkan langkahnya bersama dengan Barack Abraham yang dia genggam tangannya, sementara Jordan dan Khris lantas berdiri di belakang, seperti mengawalnya.
Anna menarik nafas dan mengembuskannya berulang kali saat merengkuh lengan ayahnya. Semakin dekat langkah kakinya dengan halaman luar, semakin cepat degup jantungnya. Jangan sampai perempuan itu pingsan saat mereka sedang akad, bisa berantakan acaranya.
“Rileks, Sayang.” Barack berhenti, berbicara lembut pada Anna lagi dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. “Kalau gugup, nanti di luar lihat Roger saja.”
“Kenapa harus begitu, Pa?”
Barack kembali tertawa. “Dulu kata kakekmu, mamamu juga seperti ini saat akan menikah dengan papa. Tapi diminta untuk melihat papa saja, dia merasa lebih baik daripada melihat sekeliling.”
Anna mengangguk paham. Dia menarik nafas sekali lagi dan mengembuskannya perlahan. “Aku paham, Pa. Nanti langsung nyari Kak Roger.”
“Uluh-uluh yang mau menikah, nervous ceritanya.” Celetuk Khris dari belakang yang langsung dihadiahi injakan kaki cukup keras oleh sang kakak.
Usapan lembut yang Barack berikan setelahnya membuat Anna kembali tersadar kalau dia sudah membuang banyak waktu. “Ayo sayang, Roger sudah menunggu.”
Sekali lagi Anna malah melakukan teknik pernafasan agar gugupnya sedikit teratasi. Tidak lucu juga kalau dia sudah sampai setengah jalan dan putar balik karena rasa gugupnya sendiri. Jelas kasihan Roger kalau itu sampai terjadi.
Membulatkan tekad, menenangkan dirinya sendiri, Anna bergegas melanjurkan langkahnya. Begitu sampai beranda rumah yang tentu saja tetap dengan nuansa putih, Anna mencari keberadaan sosok yang dikatakan oleh ayahnya tadi. Anna mencari keberadaan Roger.
Dan di ujung sana, mata Anna terpaku pada sosok lelaki yang tengah berdiri dengan begitu memesona dengan tuxedo yang melengkapi penampilannya. Seperti yang papanya katakan, Anna hanya melihat ke arah sana. Dia bahkan tidak sadar dengan pujian yang nyaris menyertai setiap langkahnya. Yang Anna tahu, hanya Roger yang berada di sana.
Langkahnya yang kian mendekat membuat Roger yang juga tatapannya terkunci ke arah Anna tidak bisa berkutik. Berulang kali merutuki dirinya sendiri yang lemah karena seorang perempuan. Hingga jarak yang perlahan terkikis ini membuat Anna dan Roger bisa saling memandang leluasa, mengagumi ciptaan Tuhan satu sama lain.
“Silakan, Pak.” Barack dipersilakan untuk menjadi wali Anna. Tentu saja Barack Abraham karena memang dia ayah biologis Anna.
Semua keluarga terdekat melihat dari jarak yang sudah ditentukan agar tidak menggangu. Anna yang sedari tadi duduk di saping Roger hanya bisa meremas jemarinya tidak tenang sementara Roger sendiri fokus pada sosok lelaki paruh baya yang sedari tadi juga sama menatapnya tak kalah serius.
Meski Kania dan Shilla tidak turut datang, setidaknya Jordan dan Khris juga turut keluar yang menyenyumi Anna dari jarak kejauhan kalau semuanya akan baik-naik saja. Namun tetap saja Anna deg-degan dengan semua serangkai proses yang akan dia lakukan bersama Roger nanti. Duh, jantung Anna berdebar kencang terus. Bagaimana kalau dia malah terkena palpitasi dan pingsan di tempat? Pasti malu sekali, kasihan Roger juga.
Anna tidak tahu apa yang dirinya rasakan ketika Roger menjabat tangan papanya. Anna merasa sesak dan lega di waktu bersamaan. Apalagi melihat sorot wajah Roger yang serius, Anna sadar kalau setelah ini tidak akan lagi ada hari tenang untuknya. Semuanya akan berubah 180 derajat dan Anna sedang mempersiapkan dirinya untuk itu semua meski jujur saja, Anna sudah mempersiapkan ini semua untuk waktu yang sangat lama. Namun tetap saja, menyambut hari itu datang rasa sesaknya makin menjadi-jadi.
Waktu berlalu begitu saja sementara Anna masih terjebak pada pikirannya sendiri. Hingga sebuah tangan hangat menggenggam telapak tangannya yang berkeringat dingin, Anna tahu kalau waktunya baru akan dimulai.
“Anna?” panggil suara itu begitu lembut. Mau tak mau, Anna membuka matanya, menatap kea rah semua orang yang tengah tersenyum bahagai bahkan ada yang sampai menangis haru. Yakni tidak lain dan tak bukan adalah mamanya sendiri. Anna terpaku di sana, ketika papanya yang paling dia cintai juga berkaca-kaca seraya menenangkan sang istri. Anna merasa jiwanya hilang, dia tidak bisa menguasai dirinya sendiri.
Lalu ada kedua kakaknya yang saling berpelukan dan menebar senyum lebar sekali. Anna takut mengecewakan. Dan belum selesai, genggaman di tangan Anna semakin erat hingga Anna takut menoleh ke arah di mana seharusnya sedari tadi dia menoleh. Roger menunggunya. Bukan hanya Roger, tapi semua orang menunggunya. Anna harus segera bangun dari mimpi tidurnya. Ini kenyataan. Tanah yang sekarang dia pijak adalah bumi, bukan kamuflase belaka.
“Anna, hai?” suara itu mengalun lembut lagi.
Perlahan tapi pasti, Anna menoleh ke samping kanan, jantungnya bak berhenti berdetak saat mendapati senyum Roger terpancar untuknya. Wajah tampan lelaki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya ini membuatnya meremang dan bergejolak di waktu bersamaan.
“Semua orang menunggu kita.” Lanjut lelaki itu lagi, menyadarkan Anna kalau sudah banyak waktu yang terbuang karena keterdiamannya yang tidak beralasan.
Jujur Anna tidak paham. Sedari tadi dia diam sampai tida sadar kalau prosesinya sudah selesai saja.
“Kak, kita sudah menikah?” dengan suara lirih sekali nyaris seperti bisikan takut terdengar orang, Anna bertanya serius pada Roger yang dijawab dengan tawa renyah.
“Na, kau sepertinya masih mimpi. Hai, kita sudah menikah. Kau tadi menjawab berdia menikah denganku. Masak langsung lupa?”
Tak percaya begitu saja, Anna langsung melihat ke arah Barack Abraham yang langsung membuat papanya ini menghampirinya, membantu Anna yang sepertinya kebingungan berdiri.
“Pa, aku?”
“Kamu sudah resmi menjadi istri Roger, Sayang. Akadnya sudah selesai.”
Elusan lembut di punggung Anna membuat d**a bagian depannya sesak bukan main. “Papa?” rengeknya seperti anak kecil yang ingin mengadu.
Barack belum mengatakan apa-apa, hanya mendekap Anna sayang dengan mata yang terpejam rapat dan tak sadar menangis tanpa ada yang menyadari. Namun, Anna sadar yang membuat perempuan itu mengerti sekarang.
“Papa jangan menangis. Aku bahagia.” Kata Anna tanpa pikir panjang. Dia tidak mau menjadi beban untuk papa mama apalagi seluruh keluarganya sendiri. Anna ingin menjadi alasan mereka untuk bahagia, bukan sedih ataupun susah. “Aku sudah ada yang menjaga sekarang, Pa. Papa jangan khawatir.”
Bukannya tegar seperti yang sellau Barack Abraham tunjukkan pada semua orang, lelaki paruh baya itu menangis di bahu putrinya, mendekapnya sayang. “Sehat selalu, Sayang. Papa selau berdoa untuk kebagikanmu. Maaf kalau selama menjadi papa, papa banyak salahnya sama kamu.”
Niat hati ingin menahan tangis, Anna jadi ikutan menangis. Roger yang menghadap Anna tengah berpelukan pada papanya hanya mengusap punggung istrinya ini pelan. Dia jadi ikut terharu. Kalau kedua orang tuanya masih ada, kedua orang tuanya mungkin akan menangis haru karena anak satu-satunya menikah sekarang. Tapi itu semua hanyalah mimpi. Kedua orang tua Roger sudah bahagia di sana.
Tamu undangan hanya melihat dari kejauhan. Nuansa putih yang kental akan kesucian ini menjadikan aura yang berada di sana makin begitu sendu. Irish dengan didampingi oleh kedua putranya mendekat ke arah Barack dan Anna, menepuk punggung suaminya itu dan baru saat itu Barack melepas Anna, beralih memeluk istrinya. Sementara Jordan dan Khris menatap Anna nanar, menyelamati adiknya ini dengan hujan tangis.
“Selamat menempuh kehidupan baru, Na.” Jordan mengusap air matanya gusar begitupun dengan Khris yang juga ikut menangis.
“Kenapa semua orang menangis?” tanya Anna sendu. “Make up ku berantakan.” Rengeknya yang langsung diberi pelukan hangat oleh kedua kakak laki-lakinya.
“Sudah tidak apa-apa. Mascaramu luntur adikku ini tetap cantik.” Khris melawak yang sia-sia karena lelaki itu yang tangisannya paling menghayati sendiri di saat semua orang berusaha menahan tangisnya.
Sayangnya, Anna masih saja sesenggukan.
“Sayang, kasihan Roger lhoh kalau kamu menangis begini, nanti fotonya jelak, aku tidak mau disuruh foto part kedua.”
Anna tertawa dengan dengusan pelan, kemudian menghapus air matanya. Khris dengan baik hati mengambilkan tisu dan membantu membersihkan air mata yang tak terjangkau oleh tangan adiknya ini. “Sudah cantik.”
“Sudah sana, sudah ditunggu orang banyak itu, nanti orang-orangnya bubar.”
Anna menoleh ke arah Roger yang dibalas anggukan pelan seolah menenangkan. Sementara Barack dan Irish menarik kedua putranya agar memberikan waktu kepada Anna dan Roger. Mereka berdua diarahkan ke jalan setapak yang sudah dihiasi sedemikian rupa yang masih dengan nuansa putih dan ruangan terbuka.
MC yang berada di sana mempersilahlan Roger dan Anna berciuman seperti yang seharusnya.
Tangisan kembali menyertai dengan suitan penuh kebahagian pula. Roger yang menggandeng tangan Anna sama-sama menatap depan, ke arah orang-orang yang turut bahagia akan pernikahannya.
“Na?”
Hening lantas melanda, semua orang seakan sepakat kalau mereka harus diam dan memberikan waktu kepada pasangan suami istri baru ini untuk melepas penghalang yang dibuat Anna sedari dulu. Anna yang memang sudah menghadap Roger hanya menatapnya dalam diam, tapi tatapannya sarat akan makna sekali.
“Sekarang, kita sudah menjadi suami istri. Kamu adalah aku, aku adalah kamu. Terima kasih sudah bersedia menjadi pendamping untuk lelaki yang banyak celanya ini, Na.”
Anna menggeleng. “Kakak tidak tercela. Bimbing aku, Kak.”
Roger mendekat selaras dengan tangannya yang terangkat, mengusap sisi wajah Anna yang begitu memesona kemudian turun ke tengkuh lehernya. Mereka jelas mendengar kehebohan yang tertahan di setiap penjuru sisi.
Hingga saat tubuh mereka saling merapat, Anna bisa merasakan embusan nafas Roger yang hangat di pipinya, saat itulah mata Anna terpejam rapat disusul dengan sesuatu yang lembab melumat bibirnya pelan, begitu menghayati, tidak tergesa-gesa.
Teriakan orang di sekitar menggema. Kertas emas berterbangan dan di arahkan ke pengantin baru itu hingga tautan mereka harus terjeda karena terkejut dan malah saling tertawa satu sama lain karena lingkungannya yang sudah hebih sendiri. Bunga mewangi berterbangan di mana-mana, para photographer yang didatangkan mengambil setiap momen yang ada meski ada kalanya ada yang terlewatkan begitu saja karena waktu yang berlalu begitu cepat.
“Buanganya habis, ciuman lagi! Ciuman lagi!” Dengan tidak malunya Khris berteriak yang langsung mendapat injakan kaki oleh Jordan. Merasa malu pernah mengakui Khris sebagai adiknya di depan semua orang itu. Khris memang benar-benar.
Anna dan Roger kembali berhadap-hadapan, mereka saling menatap dengan nafas berat yang memburu. Hingga akhirnya Roger merengkuh pinngang Anna mendekat dan mendaratkan ciuman hangat kembali. Ciuman yang benar-benar lembut—hingga membuat Anna yang belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya seperti melayang. Melayang tinggi sekali.
Rger sedikit menjauhkan wajahnya, kemudian menatap Anna yang masih menunduk. “Terima kasih, Na. Terima kasih.” Ucapnya begitu tulus kemudian menghadiahi Anna pelukan erat, begitupun dengan balasan Anna yang berbanding lurus, dia mendekap Roger tak kalah erat. Akhirnya, mereka benar-benar resmi menjadi sepasang suami istri.
***
Karena sejak awal mereka memang menghendaki acara yang sederhana saja, makanya setelah akad tidak ada apa-apa untuk hari ini. Sementara resepsinya masih mingu depan. Baik Anna dan Roger sudah berganti baju menjadi sarimbitan satu keluarga besar untuk makan bersama. Tetap ada pesat kecil-kecilan malamnya, tapi khusus keluarga terdekat saja.
Di halaman rumah yang besar itu, Anna dan Roger terpisah karena Roger berbincang dengan orang yang dekat dengannya begitupun Roger berbincang dengan koleganya yang kebetulan memang satu rumpun dengan perusahaan Abraham.
Di malam yang cerah ini, Anna terkejut saat Ilyas datang dan memberinya selamat.
"Anna, selamat atas pernikahanmu. Semoga berbahagia." Kata lelaki itu terlihat tulus, tapi sarat kesedihan sekali di matanya itu.
Anna yang sudah menjadi istri jelas langsung memberi batasan saat Ilyas menyentuh pundaknya. Tatapannya melirik ke arah Roger yang tengah memegang minuman dan memperhatikannya dalam diam, tidak ada niat menyusul Anna meski diajak oleh Ilyas berbincang sekalipun. Sementara Ilyas yang sadar diri hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal dan meminta maaf, kemudian pamit pergi begitu saja dengan langkah pelan.
Di saat itu, Anna bisa bernafas lega dan kembali bercengkerama dengan perempuan yang Roger ketahui salah satu karyawan Anna. Sedangkan Anna masih mencuri pandang, tapi tiba-tiba, Roger tidak terlihat lagi dalam pandangannya.
Entah mengapa, Anna merasa ada yang mengganjal. Dirinya bahkan sampai ditgur oleh temannya karena malah melamun yang membuat Anna langsung menggeleng dan memfokuskan dirinya sendiri pada acara kali ini. Namun saat menoleh ke samping di mana Roger berada tadi, lelaki itu sudah tidak ada di mana-mana. Bahkan di saat mata Anna meneliti di setiap sudut yang ada, dia tetap tidak menemukan Roger di mana-mana.
Apa lelaki itu cemburu karena Ilyan ingin memeluk Anna tadi? Tapi kan Anna sudah menghindar. Anna bahkan tidak bersentuhan sama sekali dengan Ilyas.
Namun apapun itu, Anna tidak bisa tenang sendiri saat pemilik pesata selain dirinya tiba-tiba menghilang begitu saja.