Entah sudah berapa kali Roger menghela nafas hari ini. Dia hanya diam setelah percakapan terakhirnya dengan Anna. Begitupula dengan Anna yang mulai mengantuk menonton tayangan di TV lokal.
"Tidur saja, aku akan menjagamu di sini." Anna menoleh dengan mata yang terlihat tinggal seperdelapan.
Roger tertawa, tangan kanannya terulur untuk mengusap kening Anna pelan. Dan ajaibnya, mata Anna langsung terpejam sempurna. Ya tentu saja, Roger tidak melupakan apapun. Dia tahu cara membuat Anna terlelap damai.
Pria itu menggelengkan kepalanya pelan masih dengan usapan sayang di kening perempuan yang nampak lebih baik daripada hari tubuhnya terpapar zat alergen.
"Yang membuatmu seperti ini harus membayar mahal, Na." Bisiknya lirih.
"Iya, mereka memang harus membayar mahal."
Roger tersentak saat mendengarkan ada yang menyahuti perkataannya. Padahal dia di dalam hanya bersama Anna. Dan begitu ditengok, sudah ada Barack Abraham yang tersenyum nanar ke arah putrinya yang sudah tertidur.
"Kau membuat putri paman tertidur." Katanya lagi.
"Aku hanya membantunya, Paman." Roger kembali menoleh ke arah Anna. Perempuan itu malah kembali terjaga mendengar pembicaraan mereka meskipun tidak terlalu keras. "Hai, kenapa bangun lagi?" tanya pria itu keheranan. "Padahal tadi sudah tidur."
"Dia memang seperti itu, Ger. Sensitif sekali dengan pergerakan dan suara." Barack Abraham mengambil ruang di sisi Anna yang lain, lurus menghadap Roger.
"Papaaa?"
"Iya sayang? Kenapa?" tanyanya lembut. "Tidak udah malu." Tawanya. "Kau ingat, dulu kau tidak punya malu kalau bermain dengan Roger. Mandi bersama, tidur bersama. Sekarang sudah sama-sama dewasa, kenangan lama tidak mungkin terganti."
Kantuk Anna langsung hilang seketika mendengar cerita papanya. Perempuan itu mengusap matanya pelan, kemudian menoleh ke arah Roger yang begitu fokus mendengarkan Barack Abraham bercerita. Papanya ini memang senang sekali menceritakan masa kecil Anna. Sementara suasana hati Anna sendiri langsung berantakan. Masalahnya, papanya ini selalu membongkar aibnya. Ya meskipun aib masa kecil juga, tetap saja aib yang seharusnya tidak diumbar-umbar. Papanya ini memang sangat menyayanginya tapi juga tidak pernah lelah untuk membully Anna.
"Sudah, Paman. Kasian anak Paman, nanti menangis." Kata Roger melerai perdebatan yang terjadi antara putri dan ayahnya ini.
Anna cemberut dan Barack Abraham hanya tertawa. "Paman senang menggodanya."
Hening karena Barack Abraham sibuk dengan handphonenya sementara Anna berakhir terjaga, kembali menonton TV dengan wajahnya yang polos, tapi tetap terlihat cantik.
Roger sendiri hanya menatap Anna tanpa henti. Hingga entah setan mana yang merasuki pria ini, dia memanggil Barack Abraham dan menatap serius.
"Paman?"
"Hm?" Barack Abraham menatap Roger sekilas sebelum akhirnya menatap gawainya kembali.
"Aku ingin melamar putri, Paman." Katanya tanpa pikir panjang.
Semua orang terhenti akan aktivitasnya sendiri-sendiri dan langsung fokus ke arah Roger. Baik Barack Abraham maupun Anna, mereka sama-sama menatap Roger tanpa berkedip.
Di detik itu, Anna merasa kalau jantungnya jatuh sampai ke diafragma. Bukannya lega, dia malah merasa sesak sendiri sampai tangannya melambai ke udara, menggapai tangan ayahnya dan mengeluh pelan.
"Pa?"
"Anna? Sayang?" Barack Abraham tersentak. Dia mengusap rambut Anna panik saat wajah putrinya ini tiba-tiba pucat. "Kenapa, Sayang?"
Roger yang melihat tentu ikutan bingung dan panik juga. Dia sampai berdiri, ingin memanggil dokter. Sayangnya, pergelangan tangannya ditahan oleh Anna erat sekali seakan-akan takut kalau sampai ditinggal Roger pergi.
"Tetap di sini, Ger." Barack Abraham menatap Roger serius. Seakan bisa membaca yang tengah dilakukan putrinya.
Tentu setelah semua yang menahannya, Roger kembali duduk. Tangan Anna yang semula menggenggamnya lebih dulu, kini dibalik. Roger yang menggenggam tangan Anna erat. "Tangannya dingin sekali, Paman. Apa tidak dipanggilkan dokter saja?" tanyanya masih saja khawatir.
Tatapan pria itu lurus ke arah Barack Abraham saat ayah dari tiga orang anak ini menatap dalam ke arah putrinya. "Kamu mau apa, Sayang? Katakan kepada papa."
Anna menelan ludah yang masih terasa sakit, kemudian matanya yang sayu menatap ke arah Roger dalam.
"Kak Roger bercanda, Pa."
"Siapa bilang aku bercanda?" Roger langsung mendelik tidak terima. "Aku memang ingin melamarmu Anna."
"Tidak, Pa. Tidak seperti itu."
"Kau ini bagaimana?" Roger menatap Anna tajam. "Aku sudah pernah mengatakan niat ini padamu, Anna."
"Jadi, yang benar bagaimana?"
Barack Abraham tersenyum kikuk melihat Roger dan putrinya tatap-tatapan tajam.
"Hi, Roger. Jangan menatap putriku seperti itu." Peringat Barack kemudian.
Roger langsung menggeleng pelan dan meraup wajahnya agak frustasi. Apa Anna sedang bercanda dengannya? Apa perempuan itu lupa kalau sebelum ini Roger pernah mengatakan keinginannya untuk datang ke rumah perempuan itu? Kenapa sekarang Anna malah mengatakan kalau dirinya sedang bercanda? Roger tidak bercanda.
Karena Roger langsung diam dan membuat Anna ikut terdiam juga, Barack Abraham akhirnya angkat kaki dari sana setelah berpamitan singkat. Dia akan membiarkan dua insan ini berbicara dari hati ke hati dulu.
"Aku serius saat mengatakan ingin datang ke rumahmu Anna. Apa wajahku terlihat bercanda?" Roger memulai pembicaraan lebih dulu yang membuat Anna jadi terdiam tanpa kata.
"Aku tidak akan melarangmu bekerja saat sudah menikah nanti. Aku tidak masalah jika tinggal di kediamanmu. Sekarang aku bertanya denganmu. Apa yang membuatmu ragu padaku? Kalau kau memang memiliki pria lain yang ingin menjadikanmu istrinya, aku akan mundur. Sebelum janur kuning melengkung, aku masih punya kesempatan, Anna. Jadi tolong jangan cabut kesempatan itu di saat aku sendiri bisa mengusahakan banyak hal untuk mendapatkannya." Kata Roger panjang lebar.
Tiga menit kemudian bertahan di dalam keheningan yang menyiksa.
"I am not virgin, Kak."
"Pardon?" Roger menatap Anna tanpa kata. Sementara Anna sendiri juga sama diamnya seperti memikirkan sesuatu yang besar, entah apa, Roger tidak paham.
Sayangnya, keheningan yang terjadi antara mereka terasa begitu menyiksa hingga Anna harus melanjutkannya lagi. "Ada banyak perempuan baik-baik di luar sana. Kakak pantas mendapatkan pendamping yang terbaik untuk menjalani kehidupan ini."
"Kau pikir aku akan percaya dengan omong kosongmu, Anna?" Roger menatap Anna tanpa ekspresi. Jelas sekali raut kecewa di wajahnya dan Anna sadar dengan itu semua.
"Langsung tolak saja kalau kau memang tidak ingin bersamaku. Jangan merendahkan diri seperti ini. Apa kau melakukan hal ini juga pada semua orang yang ingin datang kepadamu?"
Anna hanya diam.
"Kenapa hanya diam?" Roger bertanya menuntut meski nada yang digunakan amat pelan.
"Kau tahu seberapa besar aku menginginkanmu, Anna? Aku tahu kau perempuan baik-baik. Aku juga tahu kalau aku salah dengan mencium mu secara paksa. Apa ini hukuman untukku karena hal itu? Aku sudah minta maaf. Kau bukanlah orang yang pendendam hingga tidak bisa untuk memaafkan kesalahanku."
"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa." Anna menggeleng pelan dengan kepala yang terasa berat.
"Kenapa tidak bisa? Katakan yang sejujurnya dan aku akan pergi."
"Waktu kecelakaan dulu, dokter bilang kalau kemungkinan hamilku akan kecil. Kakak tidak mungkin menikah tanpa anak, kan?" Anna menatap Roger sendu.
Roger menyerngit. "Kecelakaan apa lagi, Anna?"
"Waktu aku sekolah menengah atas pernah kecelakaan."
"Lalu?" alis Roger terangkat, seakan ingin tahu cerita Anna selanjutnya.
"Bagian terparah di bagian otak yang menghasilkan beberapa hormon. Dan waktu itu dokter sudah mengatakan kalau aku akan sulit hamil."
"Sulit bukan berarti tidak bisa, kan?" Roger mendebat. "Lagi pula itu sudah lama. Pasti sudah mengalami perbaikan."
Anna menunduk pelan. "Sayangnya tidak, Kak. Tidak ada perbaikan."
Roger diam memandang Anna yang terlihat terpukul. Dia tidak tahu separah apa kecelakaan itu hingga menganggu fungsi otak perempuan di depannya ini. Hanya saja, dia percaya kalau semua akan baik-baik saja.
Harusnya Anna tidak khawatir saat Roger sendiri yang mengatakan kalau tidak apa-apa jika mereka nantinya tidak memiliki anak. Namun, namanya juga manusia yang banyak menyimpan kekhawatiran-kekhawatiran dalam benaknya.