14. Talk

1192 Kata
Roger sudah mendengarkan semua yang ingin Anna katakan kepadanya. Dia juga sudah memahami alasan kenapa Anna sampai menolaknya sejauh ini. Dan bisa dibilang, alasan ini tidak main-main karena memang akan mempengaruhi kehidupan mereka ke depannya akan seperti apa. Setelah mendengar semuanya, Roger merasa kalau Anna perempuan berhati malaikat. Sayangnya, perempuan itu tidak adil pada dirinya sendiri. Dia begitu baik pada semua orang, tapi keras pada dirinya sendiri. Kalau begini membuat Roger berpikiran kalau Anna terlalu baik untuk dirinya yang biasa saja. Anna pantas mendapatkan pendamping hidup yang jauh lebih baik dan lebih segala-galanya daripada dirinya. Namun, Roger juga tetap punya pembelaan untuk dirinya sendiri. Memiliki Anna mungkin sudah menjadi tujuan hidupnya. Katanya setiap orang berhak bahagia. Tuhan juga sudah menegaskan kalau tidak ada penderitaan yang abadi di dunia ini. Di dunia serba sementara. Susah pun hanya sementara. Jadi tidak apa-apa bersusah-susah dahulu, asalkan akhiratnya nanti bahagia. Aamiin. "Apa ada yang lain lagi?" tanya Roger setelah diam untuk waktu yang cukup lama. Tatapan dalamnya tak beralih sama sekali yang malah membuat Anna memalingkan wajahnya. "Anna?" panggil Roger pelan sekali lagi. "Apa lagi, Kak?" Harusnya Roger mengerti. Mau dia mengatakan apapun itu, rasa tidak enak yang ditanggung Anna tidak akan langsung hilang begitu saja. "Sekarang coba dengarkan aku." Roger menarik tangan kiri Anna pelan agar perempuan itu sudi melihat ke arahnya lagi. Pada akhirnya, Anna menoleh, mau melihat ke arah Roger yang juga tengah menatapnya begitu dalam dan tidak ada nada bercanda sama sekali dalam suaranya yang berat. "Aku sudah tidak punya orang tua. Tidak akan ada mertua yang memaksamu memiliki seorang anak. Jadi apa yang kau khawatirkan?" "Tapi Kakak anak tunggal. Harus ada yang menjadi ahli waris, bukan?" Anna menatap pria di depannya ini nanar. Roger tersenyum, meraih tangan Anna yang langsung ditepis pelan. "Kau sudah berpikir sejauh itu?" Anna kembali memalingkan wajah. Sebagai seorang perempuan, dia sudah tidak percaya diri di awal. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan hal ini. Karena jelas, Anna tidak mau membangun rumah tangganya didasari dengan kebohongan. "Anna dengar." Roger menarik tangan kiri Anna pelan sekali lagi, menggenggamnya erat. "Kita bisa ikut program hamil atau apapun itu yang bisa membuat kita memiliki keturunan. Kenapa kau terlalu khawatir berlebihan seperti ini? Hai, itu tidak baik. Kau tahu itu?" Sayangnya, meski apapun yang Roger katakan, Anna tetap tidak bisa tenang. Dia selalu dihantui akan fakta itu. Sudah berkali-kali juga pergi ke dokter, tapi tetap saja seperti itu hasil pemeriksaannya. Hormonnya kacau dan Anna tidak bisa meminum obat yang khusus untuk menormalkan hormon kembali karena berakibat fatal pada tubuhnya. "Astaga, Na. Tidak apa-apa sungguh." Roger berupaya meyakinkan sekali lagi karena Anna terus saja diam. "Kita ke dokter yang paling baik kalau kau memang ingin punya anak. Aku sungguh tidak masalah. Jadi, kita bisa pacaran terus." "..." Roger tahu, sebagai perempuan, Anna pasti sedih menerima kenyataan pahit seperti ini. Namun, Roger akan menerimanya dengan lapang d**a. Memilih Anna, berarti Roger juga bersedia menerima kelebihan maupun kekurangan dari perempuan yang dipilih menjadi istrinya kelak. Karena dia juga paham, tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Yang ada saling menyempurnakan untuk bisa mencapai kesempurnaan itu sendiri. "Aku tahu kalau tidak ada perempuan di dunia ini yang tidak ingin memiliki anak. Kalaupun ada, itu urusannya sendiri. Tapi denganmu Na, kau menginginkannya. Hanya saja, tubuhmu tidak mendukung untuk kehamilan itu sendiri. Kau lebih mulia dari mereka. Kau tahu itu?" Roger lantas menghela nafas pelan. "Aku mungkin salah dengan menghakimi sebelah mata pasangan yang memilih childfree padahal mereka kaya, dan memungkinkan besar terjadinya kehamilan karena tubuh mereka sama-sama sehat dan mendukung. Kata orang itu pilihan. Jadi ya sudah. Menurut pandang mereka, itu benar karena khawatir tidak bisa mengurus anaknya dengan baik. Tapi hai, manusia punya akal pikiran dan hati. Mereka bisa bekerja menggunakan keduanya. Mereka bisa belajar dari awal, ikut kelas parenting misalnya. Tapi, mereka memang memilih tidak sebelum memulai. Jadi Na, kenapa kita harus seperti ini sementara tujuan kita menikah mulai? Jangan merisaukan perihal anak. Kalau sudah rejeki, pasti diberi oleh Tuhan. Kita bisa usaha, ya?" Anna masih tidak menyahut. Begitu ditilik, mata perempuan itu berkaca-kaca. "Anna?" Roger berdiri, menarik tubuh Anna yang setengah duduk, lantas membawa dalam dekapannya. "Tidak apa-apa. Kenapa malah menangis?" tanyanya kalut sendiri. "Aku tidak menangis." Anna berujar pelan, tidak terima dikatai menangis. Tangan Roger yang bebas terangkat, mengusap kepala Anna pelan. "Kepalanya masih sakit?" "Kan tanganku yang patah!" "Lhoh, malah menangis betulan?" Roger tertawa. "Bilang saja Na kalau mau menangis di pelukanku. Aku tahu aku sangat tampan." "Tidak ada hubungannya." Dan setelahnya, mereka diam saja. Hanya Roger yang terus mengusap puncak kepala Anna. Hingga waktu yang berlalu, membuat tekad Roger semakin besar untuk memperistri Anna. "Jadi bagaimana? Aku sudah diterima apa tetap ditolak." Anna menarik tubuhnya menjauh, mengusap wajahnya dengan tangan kiri, kemudian berujar pelan. "Tanya Kak Jordan." "Kok Jordan?" Roger menyerngit pelan. "Aku ingin menikah denganmu, Na. Bukan dengan Jordan. Aku masih waras." Kata Roger langsung saja. "Kalau ingin menikah denganku, harus berbicara dengan Kak Jordan, Kak Khris setelah itu Papa dan Mama." Roger menelan ludah. "Haruskah seperti itu? Kenapa ribet sekali?" "Peraturan tetap peraturan, Kak. Kata Mama, memang sudah seperti itu ketentuannya sejak aku lahir." "Woi, lihat. Mereka sangat menyayangimu. Apa lagi yang kau takutkan, hm? Jangan pedulikan omongan orang, Na. Anggap saja angin lewat. Nanti, kita bisa membangun rumah di kawasan yang sepi biar tidak dijulidi oleh tetangga." "Pokoknya Kakak harus berbicara dengan mereka dulu." "Iya iya, baiklah." *** Anna tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Dulu, dia berpikir kalau Roger tidak akan kembali. Namun takdir Tuhan tidak ada yang bisa menebak. Mana tahu kalau dia akan dipertemukan dengan pria yang sekarang tengah sibuk memijat tangannya padahal Anna sudah mengatakan kalau tangannya baik-baik saja. "Kak, sudah. Tanganku tambah sakit kalau ditekan seperti itu." "Ini namanya pijat auto sembuh, Na. Kau saja yang mainnya kurang jauh, makanya tidak tahu." Roger kembali melanjutkan kegiatan memijatnya. Dia merasa sudah pro sekali padahal Anna yang dipijat sesekali tertawa geli karena Roger seperti bingung ketika memijatnya. "Ini tulang pengumpil" Roger berujar pelan dengan tangan yang menekan-nekan pelan pergelangan tangan kiri Anna yang sejalan dengan jari kelingking. "Itu tulang hasta, Kak." "Bukan. Tulang hasta yang sebelahnya." Roger bersikeras. Kemudian tangannya bergeser ke pergelangan tangan yang sejalur dengan jari jempol. "Ini baru tulang hasta." "Bukan Kak, itu tulang pengumpil." Anna mengoreksi. Apa iya Anna harus diam saja saat menyadari ketidakbenaran yang terjadi. "Kau lulusan anak sosial, Na. Kenapa sok tahu sekali?" Roger menatap Anna agak memicing. Sekiranya dia tidak terima pernyataannya dipersalahkan. "Coba lihat google kalau tidak percaya. Kakak juga anak sosial." "Okay, kita buktikan siapa yang benar." Roger mengeluarkan handphonenya, kemudian mencari perbedaan tulang pengumpil dan tulang hasta. "Lihat, Na. Kau yang salah. In-" Anna tersenyum senang sekali melihat Roger meringis seolah kepintarannya sedang dipertanyakan oleh orang sedunia. "Tidak apa-apa, Kak. Lain kali aku yang salah." "Ya mana bisa seperti itu?" tanya Roger tidak terima. "Jangan mengalah padaku, Anna." Baiklah, berbicara dengan Roger itu memang rajanya ribet. Anna sering kali tidak paham dengan pemikiran pria tampan di depannya ini. "Mau jalan-jalan? Udaranya segar di luar. Kita pergi yang dekat-dekat saja." Roger menawarkan. "Boleh, jalan kaki, ya?" Roger auto menggeleng. "Tidak boleh, Na. Pakai kursi roda, atau aku gendong?" Dan Anna hanya memutar bola matanya pelan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN