Anna terbangun saat pagi buta. Ada Roger yang masih terlelap seraya memeluk pinggangnya. Senyuman lantas terukir di bibir merahnya yang tipis. Meski sudah melakukannya beberapa kali bersama Roger sebelum ini, tetap saja tubuhnya masih butuh penyesuaian. Karena itu jalannya pelan sekali saat menuju kamar mandi. Dan begitu kembali, Roger sudah duduk setengah selonjoran seraya menguap, menggaruk kepalanya yang langsung membuat Anna berjalan cepat, menahan tangan Roger karena ada lukanya di bagian yang Roger garuk tadi.
“Nanti berdarah.” Anna memperingatkan pelan, dengan tangan yang sudah membawa tangan Roger ke depan, dan melihat kepala suaminya ini, takutnya jahitannya terbuka atau bagaimana melihat cara Roger menggosok kepalanya tadi.
“Berdarah?” Roger bertanya pelan, malah penasaran sendiri. Dia tadi saja tidak sadar kalau kepalanya yang digaruk sedemikian rupa memang terluka. Kalau sudah begitu, paniknya di akhir, takut kalau sampai jahitannya terbuka, kan lama lagi, harus ke rumah sakit lagi yang belum apa-apa sudah membuat suasana hari Roger langsung buruk.
“Tidak. Lain kali hati-hati, jangan asal digaruk.”
“Aku mau minum obat,” kata Roger tiba-tiba, yang Anna rasa tidak nyambung sama sekali dengan pembahasan mereka sedari tadi.
“Kan belum sarapan, Kak. Ini masih pagi buta. Kenapa? Kepalanya sakit?”
Roger menggeleng, “biar cepat sembuh.”
“Iya nanti minum obat, Kakak istirahat lagi saja, aku mau turun.”
“Untuk apa?” tanya Roger langsung saja, seraya tangan menarik Anna agar duduk di tepi ranjang, tidak pergi kemana-mana.
“Katanya mau minum obat? Mau masak untuk Kakak, tapi nanti makannya, sesuai jam makan.”
“Tidak jadi saja, jangan pergi kemana-mana.”
Anna tertawa, “Kakak kalau sakit manja sekali, ya? Seperti anak kecil.” Tangannya yang kecil, mengusap bengkak pipi kanan Roger pelan.
“Tidak. Aku tidak manja. Kau yang manja, Na. Jangan lempar batu sembunyi tangan, ya?”
“Lhoh, memangnya kalau aku sakit minta dipeluk seperti Kakak semalam, hm?”
Roger berakhir cengengesan saat dibilangi seperti itu. Kemudian menarik Anna mendekat lagi seperti semalam. “Kan pengantin baru, Na. Ya tidak apa-apa.”
Satu kecupan berhasil Roger berikan pada bibir Anna yang terasa lembab, yang saat itu juga membuat Anna tersenyum tulus. Kapan lagi manja-manja seperti ini. Suatu hari ini, Anna pasti akan merindukan manjanya Roger. Hanya Roger dan satu-satunya lelaki yang bisa sedekat itu dengan Anna, kecuali kedua kakaknya dan papanya sendiri.
“Kakak istirahat lagi saja, ini masih pagi, masih ada tiga jam. Kenapa ikut bangun?” tanya Anna kalem.
“Entah,” Roger mengangkat bahu. “Tadi saat begini-begini,” lagi-lagi Roger mempratikkan gerakan seperti mencari seseorang di samping tempat tidurnya. “Karena tidak ada, jadinya bangun. Mau memanggilmu, tapi ternyata ada suara keran. Ya tidak jadi.”
“Ya sudah, Kakak istirahat lagi saja.” Anna kembali naik ke ranjang, menyelimuti Roger kemudian mempuk-puk punggungnya seperti anak kecil.
“Kenapa tidak dari dulu saja aku menikahnya.”
“Memangnya kenapa?” Anna menanggapi.
Awalnya Roger tidak menjawab, hanya melihat ke arah Anna dengan senyumannya yang khas. “Ada yang menemani saat tidur, Na.”
Anna yang memang sudah merebahkan diri sedikit mendongak menatap Roger. “Kakak pasti kesepian selama ini.”
“Hm,” Roger masih saja menatap langit-langit, dia memang tidak pernah tidak kesepian. Hidupnya seperti terkurung meski dirinya bebas keluar kemana-mana. Karena sesungguhnya kehadiran seseorang di dalam rumahnya yang sangat dirinya rindukan. Selama ini Roger selalu sendirian, hanya ada Lili yang sesekali menemaninya.
“Sekarang kan sudah tidak, sudah punya keluarga.” Anna mendekap perut sang suami pelan, dengan tangan yang masih setia mengusap d**a sebelah kiri Roger. Rasanya nyaman sekali berdekatan dengan orang yang dicintai. Mereka sama-sama merasa tenang dan tidak perlu mengkhawatirkan hal lain.
“Karena itu, tapi kenapa kau tetap keras kepala di rumah baru, Na? Di sini, aku bisa bermain dengan Niel, kau juga bisa sering-sering membantu Kania atau Shilla yang membutuhkan bantuan. Kau tidak full time di b***k lagi, kan?”
Anna menghela nafas pelan sebelum menjawab. “Iya, memang tidak full time lagi, Kak. Tapi aku mau sama Kakak saja di rumah baru. Ingin merasakan hidup sendiri dengan suami. Kan aku sudah bilang kalau akan di rumah papa kalau siang, baru pulang kalau malam nanti. Kenapa masih dilarang?” tanya Anna agak muram.
“Bukan melarangmu seperti itu. Hanya saja khawatir terjadi sesuatu yang buruk denganmu, Na. Di rumah ini kan pasti banyak yang akan memantau. Kalau di sana sendirian, akan sulit mendeteksi orang jahat. Taukutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”
Mungkin ini bukan waktu yang tepat, di saat mereka sedang berpelukan dengan damainya. Namun Anna rasa memang harus mengatakan ini daripada tidak diberi kesempatan sama sekali. Dia tidak mungkin menutup mata ataupun menutup telinganya yang masih berfungsi normal.
“Kecelakaan yang menimpa Kakak,” Anna terdiam sejenak, “aku tahu itu tidak murni kecelakaan. Mobil depan sengaja mengerem mobilnya secara mendadak, biar mobil Kakak terhimpit mobil di belakang juga. Itu semua sudah direncanakan, aku tahu.” Bisiknya.
Roger jelas langsung menelan ludah susah payah. Dia tidak tahu kalau Anna sudah mengetahui sejauh ini. Harusnya Anna tidak tahu karena semua orang yang sebenarnya sudah tahu tentang ini diminta diam oleh Roger. Bahkan Barack pun juga menyetujui keinginan Roger karena tidak ingin kalau Anna bertambha sedih mengetahui suaminya kecelakaan karena ulah orang.
“Kenapa aku selalu membuat orang susah, Kak?”
“Sayang?” Roger menatap puncak kepala Anna yang tengah bertengger di dadanya nanar. Tidak menyangka kalau dibalik senyum Anna, perempuan ini juga pandai membohongi semua orang. “Itu hanya kecelakaan biasa, tidak perlu difikirkan. Kenapa malah berpikir seperti itu? Hai, coba lihat ke sini.”
Anna menggeleng saat tangan Roger mengusap puncak kepalanya. “Tidak mau. Kakak berbohong. Kenapa harus berbohong untuk menghiburku? Itu tidak akan membuatku tenang. Jangan lakukan itu”
“Anna?” lelaki ini menelan ludah susah payah. “Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, maafkan aku. Kau jangan merasa bersalah seperti ini. Bukan salahmu, memang aku saja yang tidak hati-hati. Sudah, jangan bersedih. Kan yang penting sekarang aku bersamamu, aku tidak apa-apa. Sudah, jangan khawatir.”
“Tetap saja,” bisik Anna lirih. “Kenapa jahat dengan Kakak. Kalau membenciku kan, bilang saja padaku, aku akan minta maaf. Kenapa orang disekitarku harus dilukai juga? Itu tidak adil.”
Ada helaan nafas berat yang terdengar dari Roger yang mendadak pusing kembali. “Aku bisa melapor kalau kamu mau. Biar kamu tenang, iya?”
“Nanti dia berulah lagi. Aku tidak mau ada yang sakit lagi karena aku. Kenapa tidak minta saja aku yang diserang. Aku akan minta maaf pada orang yang sudah kubuat sakit hati. Aku akan minta maaf. Kenapa sulit sekali memaafkanku?”
“Anna, jangan terlalu sering meminta maaf yang bahkan bukan kesalahanmu, nanti kau tidak dihargai oleh orang lain, dianggap remeh. Aku tidak suka. Kau tidak salah, tidak perlu minta maaf. Biarkan saja mereka yang tidak suka itu menjadi urusannya sendiri. Kau tidak perlu khawatir. Kenapa harus pusing memikirkan ini semua, hm? Masih banyak hal yang bisa kita lakukan.”
“Bagaimana aku tidak kepikiran kalau mereka mainnya nyawa, Kak. Bagaimana kalau kemarin Kakak sampai kenap-kenapa?’
“Kan yang penting sekarang aku tidak apa-apa. Sudah jangan khawatir lagi. " Roger mengusap puncak kepala Anna sekali lagi, susah payah meski tangannya masih sakit kalau harus ditekuk ke dalam. "Ya sudah ayo istirahat. Kau yang jadi sakit nanti Na kalau kepikiran terus. Sudah, hal tidak baik semacam itu tidak perlu dipusingkan, yang penting kamu sudah berusaha baik pada orang lain. Kalau orang lain itu tetap membencimu, itu tandanya mereka iri padamu, hm?"
Anna mengengguk pelan, menempatkan posisi paling nyaman di samping Roger. Lagi pula masih pagi, dia akan tidur lagi selagi bisa, apalagi ada Roger di sampingnya, makin lelap juga itu tidurnya nanti. "Terima kasih banyak, Kak."
"Tidak perlu berterima kasih, Na. Sudah kewajibanku. Maaf membuatmu khawatir. Lain kali, aku akan hati-hati. kau juga harus hati-hati juga, jangan keluar rumah tanpa pamit, jangan pergi tanpa izin."
Meski tidak melihat, namun Riger bisa merasakan kalau Anna tersenyum. "Terima kasih, Kak. Lain kali aku akan hati-hati juga."
"Pintar." puji Roger dengan senyum yang sama mengembang. Dia selalu senang saat Anna tersenyum. Karena itu Roger sangat berambisi agar istrinya ini selalu tersenyum, tidak murung lagi seperti yang sudah-sudah.