Tiba di kantor Aryan.
"Cepat ke luar dari mobil! Jangan membuat masalah di kantorku ya. Tahan bawel, dan ceriwismu, paham!" Ucap Aryan ketus.
"Bapak yang bawel, saya ceriwis sih iya." Nysa terkikik, sementara wajah Aryan ditekuk. Aryan melangkah dengan diikuti Nysa, siapapun yang berpapasan dengan mereka selalu menyapa sambil menganggukkan kepala. Nysa membalas dengan senyum, dan juga anggukan kepala.
Nysa sadar, dirinya jadi pusat perhatian orang yang mereka lalui.
Saat di dalam lift, Nysa yang merasa sedikit takut, mengaitkan tangannya di lengan Aryan. Aryan menatap lengannya yang dipegang Nysa. Nysa menatap ke arah tatapan Aryan.
"Tidak kena kulit Bapak, jadi tidak dosa. Saya ingin seperti di n****+, atau sinetron, berjalan sambil menggandeng lengan pasangan. Bapak tidak akan rugi, memenuhi keinginan saya, malah dapat pahala, karena membuat senang anak yatim piatu ini," cerocos Nysa, untuk membuang rasa malu, karena merasa takut naik lift. Aryan menghela nafas. Ditahan rasa kesalnya pada Nysa. Gadis yang ia anggap udik, tak selevel dengannya. Namun ia tak bisa menolak untuk menikah dengan Nysa. Saat pintu lift terbuka, Aryan melangkah, dengan tangan Nysa masih memegang lengannya.
Aryan tahu, seluruh staff yang mereka lewati, menatap mereka dengan rasa penasaran. Aryan menghentikan langkah, ia menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan dengan perlahan. Aryan berdiri di dekat meja-meja kerja staf kantornya. Nysa berdiri di sampingnya.
"Selamat siang, semuanya. Bisa minta perhatiannya sebentar!" Panggil Aryan dengan suara nyaring.
"Selamat siang, Pak.
Semua staff di sana berdiri, tatapan mereka pada Aryan, dan Nysa.
"Saya ingin memperkenalkan, dia!"
Aryan menoleh ke arah Nysa, tepat saat Nysa mendongak ke arahnya. Semua menunggu, apa yang akan Aryan katakan selanjutnya, termasuk juga Nysa.
"Dia, namanya Nysa, dia ... tidak lama lagi, akan menjadi istri saya. Hanya itu yang ingin saya sampaikan, selamat siang." Aryan bicara dengan cepat.
Aryan melangkah lagi, Nysa yang masih terbengong bak terseret langkah panjang Aryan. Ia tidak menyangka kalau Aryan akan begitu cepat berterus terang pada orang lain akan statusnya.
'Arghh ... tidak asik nih, Pak Aryan. Kalau pernikahan disembunyikan dulu kan asik tuh, seperti di n****+-n****+!' Nysa menggerutu di dalam hatinya
"Kamu bicara apa!?" Aryan berhenti di depan pintu ruangannya.
"Haah, apa!? Tidak ada!"
Nysa menggelengkan kepala.
"Bapak bisa membaca pikiran orang?" Tanya Nysa yang sangat terkejut dengan pertanyaan Arya. Aryan membuka pintu ruangannya, Nysa mengekor masuk ke dalam.
"Apa yang ada di dalam pikiranmu?" Tanya Aryan.
"Kenapa Bapak bertanya? Bukannya Bapak bisa membaca pikiran saya," jawab Nysa.
Aryan menghembuskan nafas dengan kuat. Pintu yang baru ia tutup ada yang mengetuk. Aryan membuka pintu.
"Selamat siang, Pak. Maaf, saya dari kamar mandi. Bapak sudah siap untuk rapat?"
Muti, sekretarisnya berdiri di hadapan Aryan.
"Iya, tapi tolong suruh OB ke sini. Biar dia bisa dibelikan makan siang." Aryan menunjuk Nysa yang sedang mengamati apa saja yang ada di dalam ruangan Aryan.
"Baik, Pak."
"Kamu duduk saja, nanti katakan pada OB kamu ingin makan apa. Ini uangnya!"
Aryan mengambil uang seratus ribu dari dalam dompetnya. Lalu menyerahkan pada Nysa.
Muti datang bersama seorang pria.
"Ayo kita pergi," ucap Aryan pada Muti.
"Kamu masuk saja."
Aryan memberi jalan pada si OB, agar bisa masuk ke ruangannya untuk menemui Nysa.
Muti ke mejanya, mengambil semua yang diperlukan untuk meeting. Aryan melangkah lebih dulu, Muti mengikuti langkah bosnya itu.
Sementara di dalam ruangan kantor Aryan.
"Nysa!" Si OB menatap Nysa dengan pandangan tidak percaya.
"Kak Daud! Kok di sini?"
Nysa terlonjak dari duduknya. Sesaat tadi ia masih melamun, bisa berada di dalam ruangan kantor Aryan yang menurutnya sangat bagus. Persis dalam khayalannya, saat sedang membayangkan ruangan kantor di n****+ yang ia baca.
"Kamu juga, kenapa ada di sini!?"
Daud menunjuk ke arah Nysa.
"Ini kantor calon suamiku!" jawab Nysa, tanpa bermaksud pamer pada Daud.
"Apa!? Apa maksudmu dengan calon suami?" Tatapan mata Daud melebar.
"Yang punya kantor ini calon suamiku." Nysa lebih menegaskan tentang statusnya.
"Apa? Pak Aryan, maksudmu?" Daud tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Iya."
Kepala Nysa mengangguk.
"Bagaimana bisa!?" Daud menatap Nysa tak percaya.
"Kalau Allah sudah berkehendak, apa yang tidak bisa," sahut Nysa, menjawab pertanyaan mantan pacar yang sudah mengkhianatinya. Daud yang tujuh tahun lebih tua darinya, tergoda oleh Diah, keponakan bos pabrik tahu di kampung mereka. Dua tahun lalu, Daud menikah, dengan gadis yang datang ke kampung mereka untuk berlibur di rumah pamannya itu. Setelah menikah, Diah memboyong Daud pindah ke Jakarta. Konon mereka tinggal di rumah orang tua Diah yang kaya raya.
"Bukannya Kak Daud sekarang sudah kaya, kenapa bisa jadi OB di sini?" Tanya Nysa. Nysa mengamati pakaian Daud.
Daud menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan.
"Dua bulan lalu aku bertengkar dengan Diah. Aku pergi dari rumah orang tuanya," jawab Daud dengan nada sedih
"Kenapa tidak pulang ke kampung, Kak?"
Nysa yang tadi berdiri kini kembali duduk.
"Duduk, Kak." Nysa menunjuk sofa di hadapannya. Daud duduk di sofa yang ditunjuk Nysa.
"Aku malu, Nysa."
Kepala Daud menunduk dalam.
"Di sini Kak Daud sendirian, lebih baik pulang. Orang tua Kak Daud sudah tua. Kak Daud anak lelaki satu-satunya. Ehm ... apa mereka tahu, masalah Kak Daud dengan Mbak Diah?" Tanya Nysa penasaran.
Nysa menatap mantan pacarnya itu. Kepala Daud menggeleng.
"Kak Ifat tahu, tapi aku minta padanya, untuk tidak memberitahu masalahku pada orang tua kami," jawab Daud.
"Semoga masalah Kak Daud, dan Mbak Diah bisa selesai. Ehm ... aku lapar, Kak. Bisa tolong belikan aku makan?"
"Aku datang ke sini memang untuk itu, bukan begitu, Bu Bos. Selamat ya, Nysa, semoga kamu bahagia," ucap Daud tulus.
"Aamiin, ini uangnya, Kak."
Nysa menyerahkan uang yang tadi diberikan Aryan kepadanya.
"Mau makan apa?" Tanya Daud, diterima uang dari Nysa.
"Apa yang ada?"
"Nasi campur, nasi pecel, nasi gudeg, nasi rawon."
"Nasi gudeg saja."
"Baiklah, aku pergi ya, Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Daud pergi, Nysa membiarkan saja pintu terbuka. Ia merasa mengantuk, dan memutuskan untuk berbaring di sofa.
"Aryan!"
Seruan memanggil nama Aryan membuat Nysa terlompat bangun dari berbaringnya.
Orang yang berseru, dan Nysa saling tatap. Mata Nysa melebar, mulutnya ternganga. Ia terpukau, terpesona, terpaku di tempatnya. Ia tak mampu bersuara, tak mampu mengedipkan mata. Menatap sosok di hadapannya, Nysa hanya bisa memuji dalam hati, tak bisa terucap lewat sela bibirnya yang terbuka.
*