8

886 Kata
Begitu sampai di kamar mereka, Dewa langsung melepas genggaman tangannya. Lelaki itu membanting tubuh di ranjang lalu tangannya terangkat mengusap wajah, membuatnya sedikit meringis karena merasakan sakit. "Awas saja kamu Yah. Akan kubuat ayah tak bisa semena-mena padaku lagi." Tari menggelengkan kepala, sembari dalam hati beristighfar. Astaghfirullah. Tak menyangka ada anak yang begitu dendam pada ayahnya. Dewa memijit-mijit kening, tampak sedang berpikir. Apa yang sebaiknya ia lakukan agar bisa mengontrol ayahnya? Agar lelaki itu tak semena-mena lagi padanya, memperlakukannya seperti anak kecil. Ia mengangguk-angguk saat ide gila melintas di benaknya. Iya. Ia akan buat rencana secepatnya, menyuruh seorang gadis menggoda ayahnya, mengabadikan dalam bentuk vidio, yang akan dijadikannya alat itu untuk menekan ayahnya. Ayahnya sangat mencintai mamanya. Iya yakin tak ada yang dicintai ayahnya selain mama. Membuatnya kadang takjup, bisa-bisanya lelaki dewasa tak butuh kehangatan lain di luar sana, hanya melabuh pada satu wanita. "Lihat saja, sebentar lagi, kamu takkan bisa mengekangku lagi, Yah." Dewa beranjak duduk dengan senyum terkembang lebar. Ditatapnya Tari yang duduk menghadap jendela. "Allah nggak suka sama orang pendendam, Tuan. Apalagi, pada anak yang ingin menjadi durhaka pada ayahnya." Raih wajah Dewa seketika memejah, tatapannya yang tajam serupa elang menatap Tari seakan tak percaya. Entah perasaannya saja atau bagaimana, tapi ia merasa, Tari semakin berani saja padanya. Dan yang ia harus sadari satu hal. Walau setiap perkataan Tari selalu diucap dengan suara pelan, namun selalu saja terdengar sinis dan menusuk hati. "Apa hakmu bicara seperti itu, Baby? Kamu harus sopan padaku. Tak baik kamu terlalu ikut campur masalah Tuanmu. Kalau aku mau, aku bisa mendepakmu sekarang juga." Tari memperhatikan Dewa cukup lama, lalu menganggukkan kepala dengan wajah tak terlihat tenar. Padahal sebenarnya, dadanya bergemuruh hebat. "Maka, lakukan, Tuan." Wajah Dewa yang terlihat luar biasa kesal membuat Tari tersenyum kecil. Entah kenapa melihat Dewa sangat marah, kali ini ia tak begitu takut lagi, melainkan sedikit senang. Perkataan menyakitkan, memang seyogyanya dibalas begitu agar ia tak begitu sakit hati lagi. Tangan Dewa terkepal kuat di sisi tubuhnya. Wajahnya yang tampak kaku dan bibirnya yang sedikit berkedut, menandakan ia sedang berusaha keras mengontrol emosinya. "Jaga bicaramu, Baby. Aku bisa mendepakmu pergi dari sini kapan saja. Dengan hartaku yang melimpah, aku juga bisa membuat hidup mamamu menderita. Kamu tahu uangku sangat banyak kan, Baby? Apa pun bisa kulakukan." Dewa terus berusaha menekan amarahnya, tangannya yang terkepal sedikit bergetar saking kesalnya. Jika Tari bukan perempuan, pasti sudah ditinjunya sampai puas. Sabar. Tidak gentleman lelaki main kasar pada perempuan. Tatapan Tari jatuh ke tangan Dewa yang terkepal kuat, itu membuatnya takut. Tubuh Tari panas dingin, wajahnya juga pucat juga berkeringat padahal ruangan berpendingin. Seolah tak takut apa pun, ia menatap suaminya itu dengan raut mengejek. Suaranya terdengar sedikit serak saat ia berkata, "Kamu sombong sekali, Tuan? Pakaian Allah kamu kenakan. Ingat dia hanya perlu berkata, Kun, maka kehidupan tuan yang bergelimang harta bisa raib dalam sekejap. Ingat itu, Tuan. Maka jangan congkak jadi orang." Dewa memicingkan mata, sungguh tak percaya dengan ucapan istrinya yang begitu gamplang. "Kamu bicara apa, Sayang? Kenapa tak sekalian kamu doakan aku segera mati? Itu yang kamu harap, kan, Baby? Aku mati, lalu kamu ...." Dewa mendekat, tangannya bergerak cepat mendongakkan dagu Tari, menatap istrinya dengan raut curiga bercampur kesal. "Apa jangan-jangan kamu jatuh cinta pada clienku? Sepertinya setelah kamu bertemu dengannya, sikapmu jadi aneh." Tari menepis tangan Dewa. "Ooh, tentu. Dia begitu baik juga lembut." Lalu Tari tersenyum sendiri, sengaja, semata hanya untuk membuat Dewa kesal. "Dan apa kamu tau, Tuan? Dia ingin bertemu denganku lagi." Dada dewa bergemuruh. Matanya menyipit, menatap Tari begitu merendahkan. "Siapa yang akan ijinkan kamu keluar dengannya? Jangan bermimpi. Kamu milikku. Hanya sekali saja kamu boleh bersamanya." "Kenapa? Tuan cemburu?" Tari menatap dengan raut heran, yang seketika berubah penuh ejekan. Membuat Dewa sedikit melotot. Tari tersenyum penuh kemenangan. Awas saja kamu, kalau sampai berani melawan tuanmu. Jangan bermain-main padaku, Tari. Dewa memandang Tari. Perempuan itu seperti sedang kesurupan, sebentar-sebentar tersenyum sendiri. Lebih baik, ia kerjai saja. "Baby, aku mau mandi." Ia dengan sengaja melepas kancing bajunya sendiri. Tari hendak protes, tapi tatapan Dewa yang tak ingin dibantah akhirnya hanya membuatnya mendengkus kesal. "Baby, ayo mandikan aku. Tapi, Baby, aku tak ingin kamu menutup matamu. Jika melakukannya, maka mamamu akan menderita." Tari menggerutu tak jelas, wajahnya yang memucat kini bersemu merah. "Lalu setelah kamu memandikanku, kita akan bersenang-senang ke hotel. Bagaimana,Baby?" Putar otak, Tari. Kalaupun kamu harus tidur dengannya, maka ia tak boleh lagi memikirkan perempuan lain. Hanya kamu, satu-satunya. Cukup lama, Tari membisu. Ia tersentak saat Dewa mendongakkan wajahnya, menatapnya begitu dalam. Entah dapat kekuatan dari mana, ditepisnya tangan Dewa. "Apa Tuan tak berperasaan? Aku baru saja melayani ckientnya Tuan. Tunggu sebulan, Tuan." Tari merebah di ranjang lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, dadanya bergemuruh hebat, takut kalau-kalau Dewa akan memaksa. Tapi lelaki itu terus terdiam di tempatnya. "Aku ingin kamu memandikanku, Baby." Tari tak menanggapi ucapan suaminya. Ia mendesah panjang lantas berucap seolah pada dirinya sendiri "Allah, sungguh besar kuasamu. Memberikan manusia tangan, untuk melakukan sesuatu. Untuk apa manusia memiliki tangan kalau masih harus mengandalkan orang? Tangan dipakai untuk mandi, bukannya menyuruh orang lain unt--" Saat membuka mata, Tari langsung terdiam menyadari Dewa sudah berbaring miring begitu dekat dengannya, dengan tangan menyangga kepala. Tari merasakan jantungnya nyaris copot saat suaminya itu mendekat mengikis jarak di antara mereka. *Btw, cerita ini berkesinambungan dengan Cerbung Nikah Dengan Kakak Ipar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN