Sekuat tenaga aku meredam tangisku, menenangkan tubuh yang berguncang hebat. Mataku menatap Bening sayu. Tubuh itu masih berbaring meringkuk menghadap dinding.
Perlahan aku mengitari kembali kamar kos Bening dengan mataku, mencari minyak angin atau sejenisnya yang dapat kuusap pada pundaknya untuk memberi rasa hangat dan mengurangi mual. Tentang hatiku yang nelangsa tidak lagi penting. Yang terpenting tentu saja Bening. Muntah yang baru saja dialaminya pasti masih menyisakan rasa mual.
Terdapat minyak kayu putih botol kecil tidak jauh dari kepala Bening. Aku beringsut dari dudukku untuk meraih benda itu.
"Bening."
Aku memanggilnya pelan. Dia bergeming, tidak menjawab sama sekali walaupun hanya dengan dehaman. Aku tahu dia pasti enggan untuk menyahut panggilanku.
"Mas gosok minyak kayu putih, ya."
Aku tidak meminta izin, melainkan memberitahu. Jadi tidak butuh jawaban darinya. Perlahan kusibak jilbab instan yang dia kenakan agak ke atas, lalu menuangkan sedikit minyak kayu putih pada telapak tangan dan menggosokkannya pada pundaknya.
Bening masih bergeming, tidak menolak, tidak pula memberi respon positif. Matanya tampak memejam rapat. Aku menghela napas memerhatikan rautnya, merasakan hati yang berdenyut nyeri.
Selembut mungkin kuurut pundak dan turun hingga ke punggungnya. Cukup lama dan kukira cukup. Suhu tubuhnya yang sebelumnya terasa rendah dengan keringat dingin yang membanjir, perlahan normal.
Usai menggosok punggung, aku memberanikan diri mengusap pada perutnya. Tanganku gemetar meraba bagian di mana tertanam benihku di dalamnya. Aku sungguh terharu.
'Ini ayah, Nak.'
Kalimat yang hanya berani kuucapkan dalam hati.
'Semoga kamu tidak malu mempunyai ayah sebejat ini. Maafkan ayah, ya, Nak. Bantu ayah untuk membujuk bundamu pulang. Ayah mencintai kalian.'
Kuusapkan pelan minyak kayu putih pada seluruh bagian perut Bening dengan pandangan yang mengabut. Rasa bersalah, pilu, dan haru bercampur jadi satu.
"Sudah cukup, Mas. Jangan banyak-banyak. Nanti minyak kayu putihnya cepat habis," ucap Bening tiba-tiba. Suaranya terdengar pelan dan lemah.
"Aku tidak punya uang untuk membelinya. Jadi harus dihemat," lanjutnya menohok tepat di ulu hatiku. Aku memukulkan pelan tangan pada d**a, memecahkan gumpalan yang tidak henti menyesak di dalam sana.
"Kita pulang, ya, Bening. Pulang ke rumah kita," ucapku parau. Aku tidak lagi berusaha untuk menahan tangis itu. Kubiarkan pecah begitu saja.
Hening. Tidak ada sahutan dari Bening.
"Mas, minta maaf, Bening. Tolong ampuni, Mas."
Cukup lama masih tidak ada sahutan dari Bening. Dia diam, membiarkan isak tangis yang kuredam terdengar jelas dalam kebisuan.
"Bening ...." Aku tidak sabar menuntut jawabannya.
Bening kemudian menggerakkan badannya, beringsut dari posisi berbaringnya lalu duduk bersandar pada dinding kamar. Matanya memejam. Entah karena demikian lemah atau karena enggan menatapku. Aku tidak tahu.
"Iya. Aku maafkan, Mas Pandu," ucapnya terdengar lemah. Matanya masih memejam saat bicara. Meski begitu, hatiku begitu bahagia mendengarnya.
"Benaran, Bening? Kamu memaafkan mas?" Aku bertanya tidak percaya, berharap semua itu benar adanya.
"Iya. Aku memaafkan Mas Pandu," ulangnya.
"Alhamdulillah."
"Mas sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Jadi, sekarang pulanglah."
Ibarat aku diangkat dan dibawa melayang ke suatu tempat yang indah, lalu diempaskan dari ketinggian dengan sangat kuat. Sakit.
Aku yang awalnya sudah begitu senang, seketika kecewa kembali.
"Kamu masih marah sama mas, Bening?" tanyaku lirih.
"Tidak," jawabnya lemah.
"Kalau begitu, ayo pulang. Ikut mas."
"Aku di sini saja."
"Kenapa? Bukankah kamu sudah memaafkan mas?"
"Iya."
Aku menghela napas berat mendengar jawaban Bening yang hanya sekadarnya. Dia terkesan enggan bicara denganku, menyahut hanya satu atau dua patah kata saja.
"Jika sudah memaafkan, mengapa tidak mau pulang?" Aku terus mendesak.
Bening terdiam. Ganti dia yang menghela napas berat.
"Memaafkan dan pulang itu dua hal yang berbeda, Mas," ucapnya kemudian, "pada awal aku meninggalkan rumah, jujur aku berdebat dengan diri sendiri apakah terus pergi atau harus kembali. Aku masih merasa takut malaikat akan melaknatku sebab pergi dari rumah suami tanpa ijin. Hanya saja ...."
Bening menghentikan kalimatnya. Tubuhnya tampak bergetar. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang terlihat lebih tirus dan pucat. Kedua sisi bibirnya ditautkan ke dalam. Aku tahu dia menahan tangisnya untuk tidak bersuara.
"Setiap kejadian malam itu terlintas di kepala, rasanya jiwaku terkoyak. Hatiku bagai dicabik-cabik." Bening tergugu. Isak tangisnya terdengar pilu. Tubuhnya berguncang.
Aku tidak dapat menahan untuk tidak ikut menangis, membayangkan bagaikan perasaannya atas perlakuanku malam itu.
"Jadi maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa pulang." Dia bicara tersendat di antara isaknya.
"Aku telah berulangkali memikirkan untuk pulang, tapi aku tidak bisa. Hatiku sakit, Mas. Sakiiit. Aku ingin melupakan semua kejadian malam itu. Aku ingin menghapusnya dari ingatanku. Jadi aku mohon, bantu aku dengan tidak datang menemuiku lagi."
"Bening ...."
Allah ....
Sakit sekali rasanya mengetahui sedalam itu Bening terluka.
Bagaimana aku bisa mengabulkan pintanya? Bagaimana aku tidak menemuinya lagi? Sementara selain rindu, rasa khawatir atas dirinya begitu besar. Apalagi sekarang ada janinku di rahimnya.
"Aku baik-baik saja. Mas tidak usah khawatir. Aku bisa jaga diri. Aku yatim piatu, sudah terbiasa hidup sendiri. Sampaikan salam takzimku pada Ibu dan Bapak. Maaf aku belum bisa berkunjung. Aku berjanji suatu saat akan datang."
"Bening ...."
"Aku mohon, Mas."
"Tapi, aku khawatir dengan kondisimu. Tempat ini tidak layak untukmu, Bening."
"Aku baik-baik saja, Mas. Nyatanya dalam dua bulan ini aku masih hidup. Tempat ini mungkin tidak layak untukmu, tapi sangat layak untukku."
"Tapi kamu bekerja keras."
"Hidup adalah perjuangan. Memang sudah seharusnya bekerja keras."
"Kamu sedang hamil. Tidak seharusnya kamu bekerja keras."
"Tidak apa-apa. Hitung-hitung aku sedang mendidik anakku sejak dini untuk menjadi seorang yang pekerja keras dan tegar. Kehidupan di dunia luar sangat keras. Orang seperti kami harus bisa mandiri, tidak boleh mengharapkan orang lain bahkan itu orang terdekat yang seharusnya bertanggung jawab pada kita."
Aku kembali terpukul oleh ucapan Bening. Kalimat itu menyindir dengan tepat.
"Jika kamu tidak ingin pulang denganku, kamu boleh tinggal bersama Ibu, Bening. Beliau sempat jatuh sakit setelah kamu pergi. Ibu sangat merindukan dan mengkhawatirkanmu."
"Sampaikan sungkemku pada Ibu. Pintakan maaf dan ridho beliau untukku. Katakan aku baik-baik saja."
"Kamu tidak rindu pada Ibu?"
"Rindu. Aku sangat rindu."
"Kalau begitu pulanglah ke rumah Ibu."
"Nanti aku akan pulang, Mas. Jika Allah mengijinkan. Tapi, sekarang ijinkan kusembuhkan luka ini dulu. Walau aku tidak tahu apakah bisa sembuh atau tidak. Kehadiran Ibu dan Bapak juga mengingatkanku padamu. Dan setiap mengingatmu, aku kembali merasa hatiku terkoyak."
"Ampuni aku, Bening. Ampuni aku," Aku meluruhkan tubuh di hadapan Bening, merendahkan diri, bersimpuh di kakinya.
Dada ini benar-benar sesak mendengar setiap kalimatnya. Aku tergugu di bawah kakinya.
***
Tidak ada yang bisa kulakukan selain pergi jika hadirku hanya menambah perih luka Bening. Dari muka pintu, aku mengusap air mata yang tidak mau berhenti keluar, menatap Bening yang berbaring miring membelakangi untuk terakhir kali.
Hukuman untuk tidak menemuinya sungguh terlalu berat. Jika saja ada hukuman lain yang bisa menggantikan, aku rela meskipun itu harus membuatku babak belur.
Ya Allah, tolong jagakan Bening untukku.
Aku melangkah gontai dengan hati tersaruk penuh sesal.
Semoga Engkau berkenan beri satu kesempatan untukku kembali bersama Bening, Ya Allah. Akan kujaga dia sepenuh jiwa dan raga.
Namun, apakah itu mungkin, jika perbuatanku justru membuat jiwanya terkoyak?
"Bapak siapa?" Langkahku terhenti ketika belum jauh meninggalkan kamar Bening, seorang ibu paruh baya yang melangkah dari arah berlawanan bertanya. Di belakangnya berdiri seorang laki-laki muda.
"Bapak dari kamar Nining?" Dia bertanya dengan sorot mata menyelidik.
"Iya. Saya ...."
"Apa Nining baik-baik saja?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan sebelumnya, dia kembali mengajukan pertanyaan lain.
"Iya. Tadi habis muntah-muntah," terangku.
"Bapak habis menolong Nining?" Dia bertanya lagi.
"Iya." Aku mengangguk, "Ibu siapanya Nining?" Aku bertanya penasaran. Perempuan ini sepertinya sangat peduli pada Bening.
"Saya yang punya kos di sini."
"O ...." Aku mengangguk paham.
"Ya, sudah. Saya mau lihat keadaan Nining."
"Iya, Bu. Silakan." Aku menepi.
"Mau jenguk Nining, Bu?" Dari salah satu kamar kos, muncul seorang perempuan menyapanya.
"Iya." Ibu kos itu menyahut ramah. Sepertinya dia tipe ibu kos yang disayangi penghuninya.
"Oh, iya, Bu. Kasihan sekali Nining. Muntah-muntah terus," terang perempuan itu.
"Iya. Jika keadaannya memang tidak baik, mungkin akan saya bawa ke rumah. Biar dirawat anak saya," balas Ibu kos.
"Oh, iya. Dirawat Pak Dokter?" Perempuan itu mengarahkan pandangan sambil menatap laki-laki yang berdiri di belakang Ibu kos. Laki-laki itu hanya mengangguk sambil tersenyum ramah.
Namun, entah mengapa hatiku berdenyut nyeri melihat senyum ramahnya. Apalagi mengetahui jika Bening akan dirawat olehnya.