Cukup lama aku berdiri di depan kamar Bening, menunggunya keluar dan kembali membujuknya pulang.
Keadaan di dalam sana masih hening. Belum ada suara yang menjadi pertanda bahwa Bening sudah bangun dan beraktivitas.
Berulangkali aku menghela napas berat, membayangkan dia yang menderita menghadapi kehamilan ini sendiri. Pasti sangat tersiksa ketika mual, muntah, dan pusing, tetapi tidak ada tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah.
Andai dulu tidak menjadi laki-laki bodoh, aku bisa mendampinginya di saat seperti ini. Aku bisa sekadar mengusapkan minyak angin pada dahinya ketika dia pusing atau mengurut pundaknya di saat dia mual dan muntah.
Namun, saat ini semua itu hanya menjadi sebatas keinginan saja. Bening sudah sangat sulit kugapai. Semoga Allah masih memberiku kesempatan untuk melakukan itu. Semoga DIA melembutkan hati Bening dan bersedia pulang bersamaku.
Ah, rasanya malu untuk meminta kepada Allah. Selama ini datang pada-Nya saja aku jarang.
Ponsel di saku celanaku terasa bergetar. Aku memang jarang mengaktifkan nada dering benda itu. Jadi jika ada panggilan atau pesan singkat yang masuk, hanya getar saja.
Sebuah panggilan video dari Arunika masuk. Aku menghela napas malas. Ponsel itu kugenggam saja tanpa berniat untuk menjawab panggilan. Kubiarkan panggilan itu padam sendiri. Setelah kepergian Bening pagi itu, semua rasaku pada Arunika seolah pupus. Aku tidak mengerti entah mengapa. Namun, seringkali tentang hati memang sulit untuk dimengerti.
"Mas, kamu dimana? Kenapa teleponnya enggak diangkat?" Sebuah pesan dari Arunika masuk sesaat setelah panggilannya padam.
Aku tidak membuka pesan itu, hanya membacanya melalui jendela notifikasi. Dulu menerima pesan apalagi telepon dari Arunika merupakan hal yang paling aku tunggu. Namun, sekarang tidak lagi. Semua terasa hambar.
"Kamu sekarang benar-benar keterlaluan, Mas. Kamu sulit ditemui, sulit pula dihubungi."
Aku memang sebisa mungkin menghindar dari Arunika. Sudah kukatakan padanya untuk tidak lagi mengharapkanku. Aku memintanya mencari laki-laki lain yang masih lajang dan lebih baik. Namun, dia tidak terima.
Aku datang ke kantor sudah mepet jam masuk, jadi Arunika tidak sempat mengajakku bicara apalagi sarapan. Saat siang, aku buru-buru keluar meninggalkan kantor, mengitari kota mencari keberadaan Bening.
"Aku menunggu janjimu untuk menikahiku, Mas. Apalagi alasanmu sekarang? Pelakor itu sudah kabur. Mungkin juga sudah mati."
Aku menggeram saat membaca pesan Aruni yang terakhir. Ingin rasanya kubalas dengan kata-kata kasar. Namun, aku tahu dia akan semakin menjadi jika kubalas.
"Baca pesannya, Mas!"
"Kur4ng 4j4r kamu, Mas! Be de bah!Baca pesannya!"
"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kapan pun!"
"Kamu ingat, ya, Mas. Jika sampai kutemukan pelakor itu di jalan, akan kubuat dia babak belur. Tidak akan kumaafkan dia."
Aku tidak bisa lagi menahan diri atas apa yang disampaikan Arunika melalui deretan pesannya. Emosiku sukses terpancing. Lekas kubuka ruang pepesanan pribadi dengannya.
"Seujung kuku kamu menyakiti Bening, aku tidak akan tinggal diam, Aruni. Kamu akan tahu akibatnya," balasku gusar.
Benar kata Ibu dan Bapak, Arunika bukan perempuan yang santun. Belum menikah dia bahkan sudah berani mengumpat.
Bapak dan Ibu selalu menentang hubunganku dengan Arunika sebab menurut mereka dia perempuan yang kurang dalam attitude. Namun, selama ini mataku seolah dibutakan cinta. Bagiku Arunika tetap terbaik. Dia tentu tahu adab. Bukankah dia seorang yang berpendidikan? Pun dia seorang ASN. Namun, hari ini mataku terbuka lebar dan bisa melihat siapa dirinya sebenarnya.
Bahkan Bening yang sudah kusakiti selama enam bulan, tidak sekalipun mengeluarkan kata-kata kasar padaku. Dia selalu santun. Jika sedang tidak mampu menahan amarah, dia lebih memilih diam.
"Baji ngan kamu, Mas! Aku sudah menunggu sesabar ini, tapi begini balasanmu! Da sar PHP! Buaya!"
"Aku sudah minta maaf berkali-kali, Aruni."
"Aku tidak butuh maafmu!"
"Kamu bukalah hatimu untuk laki-laki lain yang lebih baik. Kamu cantik dan cerdas. Ada banyak laki-laki lajang yang mau antri mempersuntingmu."
"Aku tidak mau laki-laki lain! Aku maunya kamu!"
"Maaf, Aruni. Aku tidak bisa."
"Kamu harus bisa, Mas. Pokoknya harus bisa. Aku tidak akan melepaskanmu! Aku akan menyingkirkan pelakor itu dari hidupmu!"
"Kamu yang pelakor!"
"Aku bukan pelakor. Aku lebih dulu memilikimu. Istrimu itu yang merebutmu dariku. Aku hanya ingin mengambil hakku kembali."
"Tidak ada hak milik dalam sebuah hubungan selain dari pernikahan, Aruni." Aku mencoba bijak, "Bening yang terlebih dulu menikah denganku. Jadi dia yang berhak penuh atasku."
"Memang laki-laki tidak tahu diri kamu, Mas. Aku benci kamu!"
"Lebih baik kamu memang membenciku."
"Aku bersumpah tidak akan melepaskanmu! Pelakor itu harus membayar semuanya."
Aku memutuskan tidak membalas pesan Arunika lagi. Benar saja, semakin dibalas dia semakin menjadi. Tidak akan ada habisnya dia bicara.
Segera kuklik titik tiga pada nomornya, lalu memilih tombol blokir. Setelah itu, kumasukkan kembali ponsel ke saku. Lebih baik fokus pada Bening. Dia tujuanku sekarang.
Aku masih terus berdiri di depan kamar Bening, tidak mau beranjak sejenak pun meski sudah berjam-jam berlaku. Aku tidak mau kehilangan kesempatan walau sedetik. Bening bisa saja kembali menghilang.
Tidak ada kursi yang digunakan untuk duduk. Kaki yang mulai lelah tidak lagi kuhiraukan.
"Bening ...." Jantungku berdegup cepat ketika pintu terbuka. Bening muncul dari dalam.
"Bening ...." Aku kembali memanggilnya. Namun, kali ini penuh rasa khawatir setelah mendapati rautnya yang begitu pucat.
Cadarnya tidak terpasang. Jadi aku bisa melihat wajahnya secara jelas. Pipinya yang dulu cukup singsat, sekarang begitu tirus.
Bening tidak menyahut. Dia menatapku sebentar, lalu melangkah cepat suatu arah.
"Hoek." Dia menutup mulut. Aku segera mengekor di belakang, khawatir dengan kondisinya.
Bening menuju kamar mandi yang terletak di luar. Kamar mandi yang menyerupai toilet umum di terminal. Tidak terlalu luas.
"Hoek." Sesampai di kamar mandi, Bening menumpahkan semua isi perut yang membuat mual dan tadi ditahannya. Dapat kulihat jika dia sangat sakit ketika berusaha keras agar apa yang membuat mual itu bisa keluar. Namun, tidak ada apa-apa selain ludah.
Aku ikut masuk ke kamar mandi, mengurut pundaknya dan berharap bisa memberikan secuil rasa nyaman. Syukur-syukur rasa mual itu bisa berkurang.
"Bening!" Aku berseru panik ketika tubuhnya tersurut dan nyaris ambruk. Dia terlihat begitu lemas. Wajahnya demikian pucat dengan keringat dingin membanjiri pelipis. Lekas kutopang tubuhnya agar tidak terjatuh.
Napas Bening ngos-ngosan. Matanya memejam. Pasti energinya terkuras saat tadi memaksa muntah, tetapi tidak ada yang keluar.
"Sudah muntahnya? Kita kembali ke kamar, ya?" Aku bertanya dengan suara parau. Lagi-lagi air mataku memaksa keluar. Tidak tahan rasanya melihat kondisinya seperti ini. Semakin besar saja rasa bersalah mengungkungku.
Bening tidak menjawab. Dia tidak membantah ketika kutuntun tubuh lemahnya keluar dari kamar mandi. Mungkin karena tenaganya benar-benar habis, jadi dia tidak mampu memberikan perlawanan.
"Sampai sini saja, Mas," ucapnya lemah setelah sampai di depan pintu.
"Mas antar sampai dalam." Dia berusaha melepaskan diri, tetapi aku kukuh mengantar.
"Sudah di dalam. Mas pulanglah. Terima kasih sudah menolong." Bening lekas membaringkan tubuhnya. Aku terhenyak menatapnya dengan pandangan yang semakin kabur.
Tidak ada kasur untuknya berbaring, hanya dialasi karpet tipis. Bantal yang digunakannya pun tipis.
Tidak ada sekat pemisah antara tempat tidur dengan dapur atau ruangan lainnya. Semua hanya disusun pada sudut yang berbeda. Semua begitu memprihatinkan. Sulit untukku jelaskan dengan kata-kata. Satu yang pasti, mungkin beginilah kehidupan kaum papa tiada.
Allahu Rabbi ....
Tubuhku tersurut. Aku terduduk di atas lantai semen yang belum diporselen, menatap Bening yang berbaring miring membelakangi sembari menarik selimut tipis menutupi tubuhnya. Untuk pertama kali, aku menangis tergugu hingga seluruh tubuhku berguncang kencang.