Prolog

557 Kata
Dua garis merah! Jantungku seolah berhenti berdetak, wajahku mungkin sudah seputih kapas saat ini. Oh, sial! Aku buru-buru memasukkan benda itu ke pembungkusnya dan menyimpan kembali ke dalam tas. Kacau! Semua kacau sekarang! Keputusanku melanjutkan hidup setelah kejadian laknat itu tidak akan terwujud dengan kondisiku saat ini. Kehamilan ini tidak mungkin ditutupi, aku harus melakukan sesuatu. Darel. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saat keluar dari toilet, tanpa sadar aku tersentak ketika berpapasan dengan Niken, sahabatku. “Kenapa, Ge?” tanyanya heran. “Memangnya kenapa?” tanyaku agak panik. Niken menautkan alis. “Ada masalah?” tanyanya hati-hati. “Atau sakit? Kamu pucat.” Aku menggeleng cepat, menyembunyikan tanganku yang gemetar di balik tubuh. “Aku pulang dulu, Ken,” kataku sambil berlalu begitu saja. Tak menghiraukan keheranan Niken. “Gea!” Aku baru mau keluar ketika mendengar suara bass yang kukenal memanggilku. “Kamu mau pulang, kan?” tanya Pak Bastian, manajer di restoran cepat saji tempatku bekerja. Aku mengangguk. “Iya, Pak.” “Kebetulan, saya mau nitip ini,” ujar Pak Bastian mengulurkan bungkusan plastik dengan brand restoran. “Teman saya tadi order, tapi kurir lagi kosong semua. Tempatnya searah sama kosan kamu kok.” Aku  menerima bungkusan itu beserta notanya, membaca alamat tujuan, dan menghela napas. Memang searah, tapi aku musti balik arah lagi untuk pulang karena gedung perkantoran yang dituju melewati daerah kosanku. “Thanks, ya,” kata Pak Bastian sambil melambaikan tangan dan meninggalkanku. Tidak merasa bersalah sama sekali. Dengan lesu aku mengeluarkan motor matik dari parkiran. Sapaan dari teman-teman kerja yang berpapasan hanya kujawab seperlunya. Masih separuh perjalanan ketika ponselku berdering, aku mengabaikannya tapi si penelepon tidak putus asa. Terpaksa kutepikan motor dan menerima panggilan dari nomor tak dikenal. “Cepat ya, jam makan siang sudah mau selesai ini!” Suara datar dan dingin dari seberang membuatku mengerutkan kening. Dan sebelum aku sempat menjawab, telepon sudah dimatikan. Otakku belum bisa berpikir jernih jadi aku sama sekali tidak paham dengan apa yang dibicarakan si penelepon. Kupikir itu hanya salah sambung. Aku bersiap melajukan lagi motorku ketika ponselku kembali berdering. Dari Pak Bastian. “Gea, kamu di mana? Temanku tadi menelepon, katanya kamu belum sampai.” “Iya, Pak. Saya masih di jalan.” “Cepat sedikit ya!” “Siap, Pak,” sahutku lesu. Lalu teringat sesuatu. “Eh, maaf, Pak. Apa Bapak tadi memberikan nomor telepon saya pada teman Bapak?” “Iya, kenapa? Dia sudah meneleponmu?” Aku menghela napas kesal. “Ya, Pak. Tadi beliau sudah menelepon saya. Baru saja.” “Kalau gitu cepat kamu antar pesanannya!” “Oke, Pak. Siap.” Lalu cepat-cepat kuputuskan panggilan. Sambil memasukkan benda tipis itu aku menggerutu, seenaknya saja Pak Bastian memberikan nomorku pada orang asing. Gedung perkantoran yang kutuju berada di kawasan elit. Aku heran kenapa orang itu memesan makan siang di restoran cepat saji kami jika banyak restoran mewah di sekitar tempat kerjanya. Aku melihat lagi kertas yang diberikan Pak Bastian, alamat yang kutuju ada di lantai 26. Jadi aku harus cepat sebelum pria pemarah itu meneleponku lagi. Setelah bersabar dengan pria berlemak di dalam lif, aku terdampar di sebuah lobi kantor. Resepsionis cantik tersenyum ramah begitu aku menghampirinya. Belum sempat aku bertanya, seorang pria berjalan menghampiri kami. Aku terbelalak melihatnya. “Darel,” desisku dengan tangan terkepal, dan tanpa bisa menahan diri tinjuku melayang ke rahang pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN