Bab 1 Si M*sum yang Baik Hati?

1067 Kata
Restoran cepat saji tempatku bekerja selalu ramai, tapi biasanya tidak sepenuh ini. Mungkin karena di luar gerimis. Aku yang biasanya hanya di belakang kasir kini harus ikut membereskan piring-piring bekas makanan sekaligus membersihkan meja. “Harusnya hari ini kita dapat bonus lebih,” candaku ketika berpapasan dengan Niken di dapur. Niken tertawa sambil menyenggolkan pinggulnya, membuat nampan yang kupegang oleng dan  segelas float yang masih tersisa setengah, tumpah membasahi seragamku. “Niken!” pekikku kesal. “Oops, sorry, Ge! Nggak sengaja,” cengirnya. Kuletakkan nampan di tempat cucian piring dan membersihkan bagian yang basah dengan tisu. “Basah gini, gimana mau kerja?” gerutuku. “Pakai punyaku aja, Ge. Aku bawa ganti kok.” Niken menyeretku ke ruangan kecil yang dimanfaatkan sebagai ruang ganti oleh pegawai cewek. “Persiapan untuk kejadian kayak gini,” katanya mengulurkan seragam miliknya. Aku mengamati setelan seragam Niken dengan ragu. Tubuh sahabatku itu mungil, dan dia suka mengenakan pakaian yang pas di badan, jadi bisa dibayangkan akan tampak seperti apa aku nanti. “Sudah, pakai saja,” celetuk Niken melihat keraguanku. Aku tidak punya pilihan, kukenakan seragam Niken dan berdiri di depan cermin.  “Sempit, Ken,” kataku sambil menarik-narik roknya agar lebih menutupi paha. “Nggak apa-apa lah, daripada pakai seragam basah,” ujar Niken. Aku masih ragu. Kancing depan seragam agak terbuka karena ukuran dadaku yang lebih besar dari Niken, dan roknya sangat ketat sekaligus pendek. “Nggak ada seragam lain, Ken?” rengekku. “Mana ada. Sudah deh, yuk kerja lagi. Kelamaan di sini bisa dapat SP dari Pak Bastian nanti.” Niken beranjak keluar ruangan. Lagi-lagi aku tidak punya pilihan, terpaksa mengikutinya. Awalnya aku agak canggung bekerja dengan seragam yang terlalu mini, tapi banyaknya pengunjung membuatku lupa dan kembali sibuk. Namun aku mulai merasa tidak nyaman ketika mendapati seorang pria menatapku dengan pandangan kurang ajar. Aku mendekati Niken dan berbisik padanya, “Jangan noleh, cowok berkaus biru di meja nomor enam, siapa dia?” “Kenapa, kamu naksir?” jawab Niken hampir menoleh, aku segera menginjak kakinya. “Aku bilang jangan noleh.” “Gimana aku bisa tahu kalau nggak lihat orangnya,” gerutu Niken memandangku sebal. “Oke, aku ke belakang sekarang, kamu pura-pura lewat meja nomor enam,” instruksiku dengan bisikan. Kemudian berbalik dan meninggalkan Niken. Tak lama, Niken menyusulku. “Namanya Darel, dia temannya Pak Bastian,” ujarnya sambil meletakkan piring ke atas kitchen sink. “Kamu kenal dia?” “Aku cuma tahu namanya saja, dia kan sering ke sini. Kamu nggak merhatiin?” Aku menggeleng. “Aku nggak mungkin menghafal wajah orang satu per satu.” “Tapi dia itu luar biasa tampan lho,” cengir Niken dengan sorot mata menggoda. “Mungkin,” sahutku tak acuh, “tapi dia juga m***m,” sambungku ketus. “Aku nggak suka cara dia melihatku." Niken terkekeh. “Cowok mana pun kalau normal pasti nggak bakal berkedip kalau lihat penampilan kamu sekarang, Ge.” “Sialan!” umpatku sambil memercikkan air dari keran kepadanya. Niken menghindar, tapi tidak berhenti tertawa. Gerimis masih tersisa di luar, aku kembali disibukkan dengan pekerjaan hingga sore. Begitu jam kerjaku habis, tanpa memedulikan rintik air dari langit, aku memutuskan untuk segera pulang. Sendirian karena Niken harus mengunjungi kakaknya. Dengan mantel yang membungkus tubuhku, aku menerobos hujan. Angin yang kencang cukup membuatku kedinginan. Tetesan hujan yang tadi hanya berupa gerimis, kini berubah menjadi hujan lebat dalam sekejap. Curahan air yang jatuh ke atas aspal membuat sekelilingku terlihat buram. Lampu motor dan mobil-mobil yang masih terjebak macet tidak cukup terang membantu penglihatanku. Berkali-kali kuusap wajahku yang tepercik air hujan dari kaca helm. Rasanya lega sekali ketika akhirnya aku terbebas dari kemacetan. Kulajukan motor dengan hati-hati, berusaha melewati jalanan dengan genangan air yang semakin tinggi. Namun lagi-lagi kesialan mendatangiku. Motorku berhenti mendadak di tengah jalan. Aku mengerang sebelum akhirnya turun dari motor dan menuntunnya ke tepi jalan. Tidak ada bengkel di sini, jadi satu-satunya jalan aku coba memperbaiki sendiri masalah ini. Semoga saja hanya businya yang basah. Aku berjongkok dan meraba tempat busi, memastikan busi dalam keadaan dingin, dan berdiri lagi untuk membuka jok motor. Untungnya aku selalu membawa tool kit motor di bagasiku. Ketika sedang mencari kunci busi, suara seorang pria terdengar  di belakangku. “Ada masalah?” Aku buru-buru berbalik, tanpa sadar menahan napas melihat siapa yang menyapaku. Darel. “Kenapa?” tanyanya. “Motormu mogok?” Aku mengangguk, diam-diam menggenggam salah satu obeng yang terbesar di balik punggungku. Jika dia macam-macam, aku sudah siap. Hujan sudah tidak begitu deras, tapi rintiknya masih cukup untuk membasahi siapa pun yang berada di bawah langit tanpa perlindungan. Termasuk Darel. Kemeja hitam yang ia kenakan sudah hampir kuyup, dia menatapku sambil mengangkat alisnya. Aku masih belum bersuara. “Oh, oke. Maaf kalau aku membuatmu takut. Aku sering melihatmu di Little Bites Chicken.” Dia menyebutkan nama restoran siap saji tempatku bekerja. “Aku teman Bastian, manajermu, benar dia manajermu, kan?” Aku kembali mengangguk. “Well, aku hanya ingin membantu. Jika kamu nggak keberatan tentu saja.” Darel tersenyum, sorot matanya hangat dan ramah. Dia terlihat sopan, sangat berbeda dengan yang kulihat di restoran tadi. Aku mulai ragu dengan apa yang kupikirkan tentangnya, mungkin aku hanya salah mengartikan pandangannya saat itu. “Jadi apa aku boleh membantu?” tanyanya memastikan. Aku diam sesaat, hingga akhirnya mengangguk pelan. Lengkungan yang manis kembali menghias bibir pria itu. Dia mengulurkan tangannya meminta tool kit yang berada di tanganku, aku menyerahkannya. Lalu dia berjongkok di samping motorku. Tak berapa lama kemudian, dia kembali berdiri, menekan tombol starter elektrik, tersenyum puas ketika suara mesinnya menyala. “Sekarang sudah beres,” katanya sambil menyimpan kembali tool kit ke dalam bagasi motor. Menguncinya, dan menyerahkan kunci itu padaku. “Lain kali kalau hujan deras kayak gini mending nunggu reda aja.” Aku hanya mengangguk sambil menerima kunciku, agak heran karena tidak mengira pria yang memandangiku dengan sorot mata mes*m di restoran tadi ternyata lumayan baik hati. Tetapi itu tidak membuatku serta merta menjadi lengah, sikapku masih waspada, bagaimanapun aku tidak mengenalnya. “Baiklah, kamu bisa pulang sekarang,” kata Darel masih tersenyum. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, memerhatikan dia yang berbalik pergi meninggalkanku tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tubuh tegap pria itu menghilang dari pandangan begitu dia memasuki mobilnya. Saat sedan hitam itu melaju pergi, aku baru sadar aku belum mengucapkan terima kasih padanya, yang membuatku merasa tidak enak hati. Aku bertekad akan mengucapkannya jika bertemu dengannya lagi di restoran. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN