Bab 8 Tercekik

1420 Kata
Aku baru saja keluar dari kamar ketika sebuah pesan dari Dathan masuk ke w******p. Kubalas pesannya sambil tetap menyeimbangkan langkah di samping Niken.   Dathan : Hari ini kamu shift pagi, kan? Gea      : Ya. Dathan : Jam tujuh aku jemput kamu di kosan ya?” Gea      : Memangnya mau apa? Dathan : Ke rumah orangtuaku.   Kakiku terperosok anak tangga teras, hampir saja terjatuh kalau Niken tidak buru-buru menangkapku. “Jalannya lihat-lihat dong, Ge.” Niken terkikik geli. Aku mengerucutkan bibir dan mengelus engsel kaki yang lumayan nyeri. “Dathan bikin konsentrasiku buyar nih,” gerutuku. “Ada apa emang?” Aku menunjukkan pesan Dathan pada Niken. “Wah, gercep juga si Dathan,” cengir Niken. “Menurutmu aku harus gimana?” tanyaku ragu. “Ya, pergi aja,” ujar Niken santai. “Pergi? Bertemu orangtua Dathan?” “Yap!” angguk Niken mantap. “Tapi aku nggak kenal orangtua Dathan.” “Ya, justru karena itu Dathan mau mengenalkan kamu sama mereka.” Mendadak aku menjadi gelisah. Berbagai pertanyaan berkeliaran dalam otakku, bertubrukan antara yang satu dengan yang lain hingga membuatku resah. Bagaimana kalau mereka tidak setuju dengan keputusan yang diambil Dathan? Bagaimana kalau mereka tidak percaya ini anak Darel? “Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Dibawa santai aja,” saran Niken menepuk punggungku lembut. Aku mengangguk pelan. Seharian itu aku tidak bisa berhenti memikirkan ajakan Dathan. Membayangkan bertemu dengan keluarganya membuat perutku terasa diaduk-aduk. Mereka bukan hanya kaya, tapi juga keluarga terhormat. Bertolak belakang dengan orangtuaku yang hanya pedagang sayur di pasar tradisional. Apa sebaiknya aku menolak saja ya? Jangan jadi pengecut, Gea! Kalau kamu mau anakmu punya ayah, kamu harus bisa menghadapi ini! Batinku bertarung. Namun pada akhirnya aku tetap tidak bisa memutuskan. “Aku kayaknya demam deh, Ken. Apa mending aku batalkan aja janji sama Dathan ya?” gumamku saat kami baru saja menginjakkan kaki di teras kos-kosan. Niken menyentuh keningku dengan punggung tangannya. “Demam dari Hongkong,” cibirnya. “Udah deh, kamu tenang aja. Mereka nggak bakal gigit kamu kok,” kata Niken sambil terkekeh. Aku merengut. “Tapi—” Niken memotong kata-kataku. “Yuk, aku bantu kamu siap-siap.” Dan menyeretku masuk ke rumah. Tepat pukul 18.30, aku sudah berdiri di depan cermin dalam keadaan rapi. Dress lama yang belum pernah kupakai melekat di tubuhku. Dulu aku membeli dress ini karena suka dengan modelnya yang simpel, tapi baru sekarang berkesempatan mengenakannya. Mengenakan dalam artian yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar mencoba. Sekali lagi kupandangi pantulan diriku di cermin. Aku tidak memercayai ini, dress lurus selutut warna marun dengan ruffle di bagian bawahnya tampak memberikan kesan manis sekaligus elegan pada diriku, sangat berbeda dengan keseharianku. Niken mengubah rambut pendekku yang lurus dan lepek menjadi gaya loose crimped wave yang chic. Lipstik merah menyala terpulas di bibirku, dipadukan dengan sapuan make up natural yang memberikan kesan kontras, tapi tetap terlihat pas. Astaga, aku hampir tidak mengenali diriku sendiri. Niken membalik tubuhku, mengamati penampilanku. “Perfect,” ucapnya tersenyum puas. “Aku nggak nyangka kamu punya keahlian mendandani begini, Ken.” Aku menatapnya kagum, dia hanya tertawa kecil. “Kenapa nggak buka salon aja sih?” “Memangnya kamu mau kasih modal?” kerling Niken. Aku meringis. Setelah puas dengan penampilanku, Niken meletakkan clutch miliknya di tanganku. “Dompet dan ponselmu sudah ada di dalam,” ujarnya menggenggam kedua tanganku. “Aku doakan semoga semua berjalan lancar,” sambungnya tersenyum lebar. Saat itulah aku mendengar salah satu penghuni kos mengetuk pintu kamar dan berkata, “Ge, ada tamu tuh.” “Oya, sebentar,” sahutku dari dalam. Aku memeluk Niken. “Terima kasih, Ken. Kalau nggak ada kamu aku nggak tahu harus bagaimana.” Niken menepuk-nepuk punggungku sayang, kemudian meepaskan pelukan kami. “Udah gih sana, jangan biarkan Dathan menunggu lama.” Aku mengangguk, kemudian menarik napas panjang sebelum melangkah keluar kamar. Di luar, Dathan sudah menungguku. Dia tampak terpaku selama beberapa saat ketika melihatku. Aku tidak berpikir dia mengagumiku, mungkin hanya terkejut karena melihat penampilanku yang berbeda dengan biasanya. Dia berdeham sebelum berkata, “Kamu cantik sekali.” Well, basa-basi yang sangat sopan. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dathan mengenakan stelan resmi, rambutnya tersisir rapi dan dia tampak baru bercukur. Dagunya bersih tidak seperti saat terakhir kali aku melihatnya. Dia mengulurkan tangan, perasaan canggung menggangguku saat aku menerimanya, menjadi gugup ketika dia menyelipkan tanganku ke lengannya. Kami berdua berjalan beriringan menuju mobilnya. Begitu sampai, dengan sopan dia membukakan pintu untukku, setelah yakin aku sudah duduk dengan baik, baru dia menutup pintu dan berjalan memutar ke sisi yang lain. Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di tujuan. Melihat megahnya kediaman orangtua Dathan kembali menciutkan nyaliku. Rumah ini benar-benar mewah, dari luar saja sudah terlihat mahal, apalagi bagian dalamnya. Seorang pelayan membukakan pintu untuk kami. Bahkan pelayannya pun mengenakan seragam. Tanpa melihat ke arahku, dia mengangguk hormat pada Dathan. Aku ragu untuk melangkah masuk, tapi tiba-tiba kurasakan genggaman hangat pada tangan kananku, reflek aku menoleh. Dathan tersenyum padaku, kemudian menganggukkan kepala mengajakku masuk. Kami berhenti di sebuah ruangan yang luas, sofa setengah lingkaran terletak di tengahnya menghadap meja bulat dari kaca. Ada dua sofa single lain dan kursi mewah dengan sandaran tinggi yang juga terletak di sana. Di atas kursi dengan sandaran tinggi, duduk seorang pria yang hampir semua rambutnya sudah memutih. Bibirnya yang melengkung ke bawah memberikan kesan galak pada wajahnya. Seorang wanita yang masih terlihat cantik di usia senjanya berdiri dari salah satu sofa single, menghampiri kami. “Selamat datang di rumah kami, Gea,” sapanya tersenyum ramah. “Saya Martha, mamanya Dathan.” Dia mengulurkan tangan. Aku memang melihat kemiripan wanita itu dengan si kembar. Tapi sejujurnya aku sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan seorang ibu yang seperti ini. Bayangan wanita tua berkacamata dengan wajah angkuh lenyap begitu saja. Canggung, aku menyalami Tante Martha. “Mari duduk,” ajak Tante Martha. Aku dan Dathan duduk di sofa yang berbentuk setengah lingkaran. Tante Martha ikut duduk di sampingku. Aku memperhatikan penghuni rumah yang lain.  Selain Tante Martha dan pria tua yang aku duga ayahnya Dathan, ada gadis berusia 20-an yang mirip dengan Dathan, tampak cuek dengan ponselnya. Lalu dua orang lainnya, seorang wanita yang tidak kutemui garis kemiripannya dengan keluarga ini, dan seorang pria yang berdiri memunggungi kami menghadap jendela besar di salah satu dinding. Tante Martha mengenalkan mereka satu per satu. Dari situlah kemudian aku tahu bahwa kedua orang yang kusebutkan terakhir bernama Belvin dan Jovan Walter, anak-anak sahabat keluarga mereka yang dirawat orangtua Dathan sejak kecil. Sedangkah si gadis smartphone adalah adik Dathan dan Darel yang bernama Dania. “Kamu benar hamil anak Darel?” Dania bertanya tanpa melihat padaku, tangannya masih sibuk dengan layar ponselnya. “Dania!” bentak Dathan. Aku yang sempat syok dengan pertanyaan Dania agak terlonjak mendengar bentakan Dathan. Seketika aku menjadi gugup. Tapi tidak dengan Dania, dia sama sekali tak acuh dengan teguran kakaknya. Dania menurunkan ponselnya dan menatap Dathan datar. “Kenapa? Aku cuma mau mastiin dia benar hamil anak Darel dan bukannya orang lain?” “Sayang ... jangan bicara seperti itu,” tegur Tante Martha, dia melihatku dengan sorot mata meminta maaf. Namun aku yang terlanjur mendengar ucapan Dania tidak menanggapinya. Aliran darahku terasa naik, jantungku berdenyut nyeri hingga membuat dadaku terasa sesak. “Memangnya kenapa?” tantang Dania. “Kalian nggak curiga cewek ini menjebak kita?” Suara tamparan menggema di ruangan, aku tidak tahu kapan Dathan bergerak, tapi dia sudah ada di depan Dania sekarang. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. “Buka mata kamu, Kak! Memangnya Darel pernah meniduri wanita tanpa pengaman?” Dadaku sudah terasa siap meledak, susah payah aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh. Aku tidak bersedia dipermalukan di sini. “Saya tidak akan menolak kalau kalian ingin melakukan tes DNA,” ucapku lantang, meski dengan suara gemetar. Semua perhatian teralih padaku, termasuk pria bernama Jovan Walter yang tadi membelakangi kami. “Saya bersedia tes DNA,” ulangku mantap, mencoba memberanikan diri menatap Dania yang memandangku penuh rasa benci. Secara mendadak Dania berdiri dan sambil menghentakkan kakinya dia pergi meninggalkan kami. Belvin terlihat bimbang sebelum akhirnya mengejar Dania. Sorot mataku tertuju pada pria tua yang tetap duduk di singgasananya, tampak tidak terpengaruh dengan keributan yang kami buat. Dia melihatku sekilas, kemudian pandangan matanya beralih ke arah lain dengan tak acuh, seolah aku hanya hal kecil yang tidak perlu dia tanggapi keberadaannya. Di tempat lain, aku menyadari aura permusuhan dari sosok Jovan Walter. Tiba-tiba saja pundakku terasa berat, seolah ada berton-ton beban tak terlihat yang dletakkan di sana. Belum apa-apa aku sudah merasa tercekik. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN