Bab 9 Tunangan Dathan

1186 Kata
Dalam perjalanan pulang Dathan berulangkali mengucapkan maaf atas kejadian tidak menyenangkan di rumahnya. Perasaan sedih dan marah yang masih melekat dalam hati memaksaku mengabaikannya dan hanya memandang keluar jendela. Hingga akhirnya dia pun terdiam. “Kenapa Pak Dathan mau menikahi saya?” tanyaku tanpa menoleh padanya. “Karena ada darah keluarga kami yang mengalir pada tubuh bayi di perutmu,” jawabnya lugas. “Bagaimana kalau Dania benar? Bagaimana kalau bayi ini bukan anak Pak Darel?” “Itu tidak mungkin.” Ketegasan pada jawaban Dathan memalingkan wajahku padanya. “Bagaimana bisa Pak Dathan begitu yakin?” tantangku, memperhatikan wajahnya yang bergaris rahang tegas dari samping. Sudut matanya terarah padaku sekilas. “Karena aku yakin,” jawabnya datar. Aku menyipitkan mata. “Pak Dathan tidak mengenal saya,” kataku mencoba membantahnya. “Aku tahu kamu bukan pembohong.” Aku terdiam, kembali memalingkan wajah ke arah jendela. Dulu, selayaknya para gadis yang sering tenggelam dalam imajinasinya, aku pernah berkhayal menikah dengan pria tampan nan kaya raya, seperti kisah-kisah asmara yang k****a di n****+ ataupun w*****d. Ironis sekali, sekarang ini khayalan itu hampir menjadi kenyataan, tapi bukan dengan cara yang aku inginkan. Keningku berkerut memikirkan pertemuanku dengan keluarga Dathan tadi, sudah jelas sekali aku bukan kelas mereka. Aku tidak yakin bisa berbaur dengan mereka. “Sudah sampai.” Dathan memberi tahu. Aku mengerjap, ya kami sudah berada di depan pagar rumah kosku. Aku melepas sabuk pengaman. Saat mengulurkan tangan hendak membuka pintu, Dathan menahanku. “Tunggu,” katanya sambil melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil, membukakan pintu untukku. “Terima kasih,” ucapku lalu keluar dari mobil. “Mau kuantar sampai teras?” “Tidak usah.” Selama beberapa saat kami sama-sama terdiam, berdiri terpaku dan saling memandang. Sampai aku mengalihkan pandanganku ke arah lain karena jengah. “Maaf, Pak Dathan menghalangi saya,” gumamku. Dathan langsung bergeser, tapi sebelum aku melangkah dia berkata, “Mulai sekarang jangan panggil aku ‘pak’ lagi, oke?” Aku hanya melihat padanya sekilas, kemudian berlalu meninggalkannya. Di dalam rumah, aku tidak langsung ke kamar melainkan mengintip Dathan dari balik gorden. Pria itu masih berdiri diam di samping mobilnya, menghadap ke arahku. Aku buru-buru menutup kain tebal yang kusibak dan masuk ke kamar. ****** “Kamu bercanda kan, Ge!” Wajah Niken tampak syok. Aku menatapnya memelas. Niken menggeleng. “Jangan main-main, Ge. Ini menyangkut masa depan kamu,” ucapnya gusar. “Oke, kamu memutuskan buat resign itu bisa diterima, tapi membatalkan pernikahan dengan Dathan? Itu perbuatan paling bodoh yang pernah kudengar!” sambungnya tajam. “Kamu bisa ngomong gitu karena nggak kenal keluarga Dathan. Aku nggak akan bisa berbaur dengan mereka.” “Apa perlunya kamu berbaur dengan mereka? Yang kamu perlukan ayah buat bayi kamu, ingat itu. Ayah-buat-bayi-kamu!” Niken mengulang ucapannya dengan menekankan setiap kata di kalimat tersebut. Seolah ditampar dengan buku tebal, pikiranku kini terbuka lebar. “Jangan terbawa perasaan, Ge, pakai otak kamu,” sambung Niken pelan, kedua tangannya menggenggam tanganku, sorot matanya menatapku sendu, seolah mengatakan jangan mengulangi kesalahan yang telah  dia perbuat. Aku memeluknya. “Ya, kamu benar,” gumamku. Niken menepuk-nepuk pundakku. Rasa hangat menjalar di hatiku, aku beruntung memiliki sahabat seperti Niken saat berada di perantauan. Entah bagaimana nasibku jika harus menghadapi ini sendirian. “Kapan kamu mau memberi tahu Ibuk sama Bapak?” tanya Niken saat pelkan kami sudah terlepas. “Aku nggak tahu,” gelengku. “Kenapa nggak sekarang aja?” Aku termenung sebentar sebelum menjawab. “Kayaknya nggak deh, mending aku bilang mereka kalau sudah ada kepastian,” gumamku. “Hm, betul juga,” sahut Niken. “Oke, sekarang ceritakan tentang kunjungan kamu ke rumah Dathan kemarin, kamu belum cerita sama aku, kan?” Aku menghela napas. “Sebenarnya nggak ada yang bisa diceritakan, sih.” “Aku nggak percaya, pasti kamu cuma nggak kepingin cerita aja.” “Oke oke.” Aku mengalah “Mereka itu … aku nggak tahu harus mulai dari mana?” “Ibu Dathan,” seru Niken antusias. “seperti apa dia?” Aku agak melamun saat bercerita. “Tante Martha sangat ramah, kalau melihat umur Dathan, mungkin beliau hampir berusia 60 tahun, tapi dia terlihat seperti baru 45 tahunan. Cantik sekali.” “The power of money,” gumam Niken sambil mengangguk-angguk. “Kamu bilang dia ramah?” “Sangat ramah, satu-satunya penghuni rumah itu yang menyambutku dengan baik. Tapi aku tahu itu cuma sebatas sopan santun.” “Siapa tahu dia memang tulus.” Aku menggeleng. “Tante Martha mungkin wanita baik, tapi ingat, dia nggak kenal aku. Dia bersikap ramah padaku karena nggak mau melukai perasaan Dathan,” bantahku. “Apalagi waktu Dania bilang bisa aja aku menjebak mereka dan mengaku-aku hamil anak Darel, wajah Tante Martha langsung pucat.” Mata Niken terbeliak. “Dania bilang begitu? Kurang ajar sekali dia!” serunya gusar. “Eh, tapi siapa Dania?” Aku mencibir geli. “Adik Dathan, umurnya mungkin nggak beda jauh sama kita, antara 23 sampai 25 tahun.” Mulut Niken membulat, meloloskan kata o panjang dari sela bibirnya. “Bagaimana dengan ayah Dathan?” “Bapak Indradewa Kunto Manggala, dia pria tua yang arogan,” ucapku datar. “Dia salah satu pengusaha terkaya di Indonesia,” ujar Niken dengan desahan pelan seakan-akan memaklumi tindakan Pak Dewa. “Maksudmu karena dia kaya lalu dia boleh bersikap arogan?” “Bukan boleh, tapi memang umumnya orang kaya itu arogan.” “Dia bahkan tidak menganggapku sama sekali, seolah aku cuma butiran debu yang menempel pada setelan jas mahalnya.” Niken terkekeh. “Sejak kapan kamu jadi sensitif seperti itu?” ledeknya. Seketika bibirku maju beberapa centi. “Udahlah,” kata Niken sembari bangkit dari tempat tidurku. “Kan aku udah bilang, buat urusan ini pakai otak kamu. Jangan memikirkan hal-hal kecil kalau kamu nggak mau hancur. Bayi dalam perutmu itu memang tanggung jawab mereka. Darel yang menghamilimu, jadi udah kewajiban mereka mengurusmu, suka atau nggak,” sambungnya panjang lebar. “Aku balik ke kamar dulu ya, Ge, mau mandi.” Tanpa menunggu jawabanku Niken langsung mengeluyur keluar  dari kamarku. Aku mendesah. Ngomong memang gampang, coba kalo Niken yang ada di posisiku. Lalu aku termenung, mungkin Niken bisa bicara seperti itu justru karena dia pernah mengalaminya. Tidak persis seperti kejadian yang menimpaku, tapi aku tahu dia sempat menghancurkan dirinya sendiri karena lebih mementingkan perasaan daripada otak. Ponselku berdering, aku meraihnya dan tanpa melihat siapa yang menelepon langsung menerima panggilan tersebut. “Ini dengan Gea?” Suara wanita yang sangat merdu terdengar dari seberang. Aku mengernyit, merasa tidak mengenali suara itu. “Ini siapa ya?” tanyaku, kemudian melihat layar ponselku dan menemukan nomor tak dikenal tercantum di sana. “Aku Belvin. Mm, maaf … bisa kita bertemu?” Belvin? Tunggu, dia gadis yang ada di rumah Dathan, kan? Dari mana dia tahu nomor teleponku? “Memangnya ada perlu apa?” tanyaku hati-hati, aku tidak mengenal gadis itu, sudah sewajarnya waspada. “Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” “Kenapa nggak bicara di telepon saja?” Hening sebentar di seberang. Lalu saat menjawab, suaranya terdengar putus asa. “Karena aku perlu berbicara langsung dengan wanita yang akan dinikahi tunanganku.” Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN