Rean yang sedang asyik bersantai di tempat tidur spontan menolehkan kepala ke arah pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka, menghadirkan sosok Rena yang kini berjalan ke arahnya, setelah kembali menutup pintu.
Kening Rean berkerut begitu melihat wajah Rena yang terlihat masam, menunjukkan kalau isi hatinya sedang buruk, seburuk-buruknya. Dan tanpa meminta izin lagi, Rena menghempaskan tubuh pada tempat kosong di atas kasur, tepat di sebelah Rean. Massa tubuh Rena yang menghantam kasur secara tiba-tiba pun berhasil menimbulkan sebuah suara decitan pada kasur yang malang itu.
Awalnya Rean hendak protes pada Rena karena telah mengganggu waktu santai tanpa tugasnya yang sungguh jarang terjadi. Tetapi, karena Rena terlihat begitu nelangsa dan sepertinya siap menerkam jika merasa terganggu, Rean pun mengurungkan niat dan membiarkannya saja. Rean tahu, sebentar lagi pasti Rena akan menumpahkan apapun yang telah membuat wajahnya semasam itu.
Dan benar saja, tak sampai semenit kemudian, Rena berkata diiringi sebuah decakan, “Gue abis berantem sama Gio.”
Rean berguling ke samping, hingga tubuhnya menghadap Rena. “Gimana rasanya? Rasa cokelat atau stroberi?”
Rena kembali berdecak, kali ini lebih kesal dari sebelumnya. “Rasanya kecut, kayak kaos kaki basah.”
“Berarti lo udah pernah nyobain rasa kaos kaki basah ya? Jorok.”
“Rean, jangan ngeselin.”
“Kata Shadira, gue dan ngeselin tuh sepaket, Ren, selalu bersama dan nggak bisa dijual terpisah. Jadi, maaf maaf aja.”
Sesaat Rena menyesali keputusannya yang memilih untuk menghampiri Rean setelah bertengkar dengan Gio lewat telepon tadi. Bukannya membantu dan mencarikan solusi, Rean malah lebih memilih untuk membuat Rena semakin jengkel dan memperburuk suasana hatinya.
Rena mendengus kesal, dan hendak bangkit dari tempat tidur Rean, berniat untuk menghampiri ayah atau bunda yang bisa dijadikan tempat berkeluh kesah. Tetapi, sebelum ia sempat bergerak, Rean sudah terlebih dahulu menahannya di tempat.
Rean memeluk Rena erat. Bukan dengan cara yang romantis, tetapi dengan cara seperti memeluk guling. Persis seperti apa yang sering Rean lakukan waktu mereka masih kecil dulu jika Rean terbangun dari tidur karena mendapat mimpi buruk. Saat itu, mereka masih berbagi kamar yang sama.
“Jangan ngambek, dedekku sayang. Abang cuma bercanda. Jangan baperan gitu entar nggak abang sayang lagi, loh.”
Diam-diam Rena memutar bola mata. Semenjak berpacaran dengan Shadira, Rean memang jadi sering mengatakan sesuatu yang menggelikan seperti itu. “Nggak usah pencitraan,” decih Rena sembari memberontak supaya Rean melepaskan pelukannya.
“Yaudah, diem aja lah gue biar nggak salah mulu,” ujar Rean pasrah. Ia tidak ingin mendebat Rena karena tidak ingin kembarannya itu kalah jika harus berdebat dengannya. Maklum saja, Rean memang jago berdebat. Dia hanya akan kalah dalam sebuah perdebatan jika dirinya mengalah dan jika lawannya adalah bunda. Karena bunda adalah emak-emak, jadi bunda akan selalu benar. Begitu.
Seperti apa yang dikatakannya, Rean pun benar-benar diam dan berbaring lurus sambil menatap langit-langit kamarnya. Suasana pun berubah sunyi. Rean hampir saja hanyut ke pulau kapuk kalau saja Rena tidak menyikutnya dan menyebabkan matanya kembali terbeliak lebar.
“Gue ke sini bukan cuma mau numpang gegulingan,” ujar Rena. “Gue butuh saran, butuh solusi, butuh apapun itu yang bisa lo berikan untuk gue.”
Rean menguap. Di dinding, jam sudah menunjukkan nyaris pukul sepuluh malam. Wajar saja jika Rean mengantuk, bahkan Shadira pun sudah tertidur sejak pukul sembilan tadi. Itu semua dikarenakan beberapa hari ini mereka tidak punya waktu tidur yang cukup karena tugas.
Tetapi, demi Rena yang merupakan separuh dari dirinya, Rean rela menahan kantuk.
“Wajar kalau Gio marah, lo emang salah,” ujar Rean yang memang telah mengetahui pasal permasalahan utama di antara Rena dan Gio. Karena saat semalam Rena mengendap-endap pulang, Rean lah yang memergokinya dan berujung menginterogasi Rena sampai tuntas.
Beruntungnya, setelah interogasi tersebut, Rean mau tutup mulut dan tidak memberitahu kedua orangtua mereka kalau Rena kabur ke kelab malam beberapa jam sebelumnya. Meski begitu, semalaman Rena mendapat omelan dari Rean yang benar-benar marah. Bahkan galaknya Rean lebih menyeramkan, hasil dari perpaduan antara galaknya ayah dan bunda mereka.
Rena mencebik mendengarnya. “Tapi kan, gue udah minta maaf. Gue udah jelasin ke Gio kalau semalam tuh gue ke sana cuma untuk dateng ke acara ultah Mona, soalnya nggak enak kalau gue nggak dateng,” curhat Rena. “Gue juga di sana nggak ngapa-ngapain kok, cuma ngobrol doang sama Mona dan yang lain. Gue nggak minum, Yan, nggak joget-joget, nggak pakai n*****a, nggak selingkuh juga. Kenapa kok kayaknya salah gue fatal banget?”
Rean turut prihatin mendengar cerita Rena. Tetapi, ia juga tidak bisa menyalahkan Gio. Bagaimanapun juga, Gio adalah sahabatnya dan Rean telah mengenal Gio dengan sangat baik. Rean paham kalau Gio merupakan seseorang yang sangat sulit untuk marah karena Gio merupakan pribadi yang ceria dan tidak mudah tersinggung. Tetapi jika dia sudah marah, akan sedikit sulit bagi Gio untuk melupakan dan memaafkan.
“Sabar aja, Ren. Gio butuh waktu untuk mendinginkan kepala. Dia juga marah kan karena dia khawatir sama lo,” kata Rean. “Sama seperti gue, Gio nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo. Jadi, lo tunggu aja sampai dia merasa lebih baik baru lo minta maaf lagi.”
Rena menghela napas, teringat akan pertengkarannya dengan Gio lewat telepon beberapa menit yang lalu, sekaligus komunikasi pertama di antara mereka setelah kejadian semalam. Rena lah yang tadi menelepon Gio, ingin menanyakan mengapa Gio tak kunjung membalas pesan-pesannya. Namun, ditanya begitu Gio malah kesal sehingga perdebatan di antara mereka pun tidak bisa dihindarkan.
Gio marah karena perbuatan Rena semalam. Sementara Rena membela diri dengan penjelasan maksud dan tujuannya berada di tempat itu serta mengatakan bahwa Rena tentunya tidak akan datang ke sana kalau saja Gio datang ke rumahnya seperti apa yang ia sampaikan lewat Ben. Gio bilang, dia tidak bisa datang karena benar-benar tidak bisa meninggalkan kesibukannya. Rena bilang, Gio selalu sibuk. Dan karena itu, perdebatan mereka semakin panjang sampai pada akhirnya Rena yang tidak tahan pun memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Rena tidak ingin berlama-lama berdebat karena takut.
“Gio bilang gue nggak ngertiin kesibukan dia,” gumam Rena setelah tuntas dengan isi pikirannya. “Padahal gue selama ini selalu berusaha untuk ngertiin dia.”
“Paling Gio ngomong gitu cuma karena dia kesel doang. He didn’t really mean it, percaya deh.”
“What if he really did?” Gumam Rena sedih.
“Cewek tuh emang suka banget ya nyiksa diri sendiri dengan pikiran negatif,” gumam Rean diiringi putaran bola mata jengkel.
“Gue tuh takut, Yan. Gue nggak mau kalau misalnya Gio tiba-tiba minta putus. Ngebayanginnya aja udah bikin gue nyesek.”
“Makanya jangan dipikirin, Say,” kata Rean yang mulai gemas. “Percaya udah sama gue, lo sama Gio nggak bakalan kenapa-napa. Udah gue ramalkan, sebentar lagi kalian baikan.”
“Kalau enggak gimana?”
“Entar gue bantuin kalau dalam waktu seminggu kalian nggak baikan juga.”
“Kalau dia nggak mau baikan terus malah mau putus gimana?”
“Entar gue hajar dia, gampang itu mah.”
“Ih, Rean, gue serius!”
“Ya lo pikir gue daritadi ngelenong apa?” Dengus Rean sebal. Menghadapi cewek yang lagi galau memang sulit. ”Udah lah, mending lo tidur aja. Mau tidur di sini juga gue bolehin deh khusus malem ini. Kalau lo kangen dikelonin gue juga sini gue siap.”
Rena memukul d**a Rean pelan. “Najis.”
“Yaudah, lo sekarang berhenti mikirin yang aneh-aneh. Tidur aja, oke? Soalnya gue udah ngantuk banget ini bentar lagi tewas.”
“Gue belum ngantuk tapi.”
“Lo nontonin gue tidur aja biar bisa dapet hidayah.” Rean mengambil bantal guling yang ada di atas kepalanya, membentulkan posisi bantal alas kepala, sebelum mengampil posisi tidur sambil memeluk guling. “Kalau nanti lo mau keluar, jangan lupa tutup pintu,” pesan Rean pada Rena sebelum memejamkan mata.
Rena mendengus melihat Rean yang sudah siap tidur begitu. Tapi ia juga tidak tega jika harus melarang Rean tidur, melihat sepasang kantung mata yang semakin terlihat jelas di bawah matanya. Rean bisa tidur pada pukul sepuluh malam merupakan sesuatu yang jarang terjadi sekarang.
Tanpa sadar, Rena melakukan apa yang dikatakan Rean tadi. Kini tubuhnya sudah menghadap Rean dan dipandanginya wajah laki-laki itu sambil memikirkan hal-hal yang berseliweran dalam benaknya.
Ah, Rena pusing. Kalau saja kemarin dia tidak pergi dan kalau saja Gio tidak muncul tiba-tiba, pasti semuanya tidak akan jadi begini. Sambil mengacak-acak rambut, Rena berkata kesal pada diri sendiri, “Lagian Gio bisa tahu darimana sih gue kemarin ada di sana?”
Entah sadar atau tidak, masih dengan kedua matanya yang terpejam, Rean menyahut, “Tau dari Ben.”
***
Renatta Aurum : Jam berapa kelas lo selesai?
Kening Ben mengerut dalam begitu melihat pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya, bertepatan dengan kelasnya yang baru saja usai. Mulut Ben nyaris saja menganga dan matanya melebar hingga ke bukaan yang paling maksimal berkat sebaris pesan yang tidak disangka-sangkanya itu.
Ben bahkan membaca pesan tersebut dan nama pengirimnya berkali-kali guna mematiskan kalau yang mengirimkan itu benar-benar seorang Renatta Aurum. Katakanlah ini berlebihan, tapi sudah lama sekali semenjak Ben melihat nama perempuan itu muncul di ponselnya.
Meski benci mengakuinya, Ben sempat merasakan sebuah desiran samar kala matanya membaca nama itu tadi.
Ben : Ini baru kelar
Ben : Kenapa?
Ben keluar dari dalam kelasnya setelah membalas pesan dari Rena. Sambil berjalan, ia pandangi ponsel yang ada di dalam genggamannya, tanpa sadar menunggu balasan dari perempuan itu. Sampai-sampai, Ben tidak menghiraukan orang-orang yang berpapasan dengannya di koridor fakultas Hukum tempatnya menuntut ilmu.
Ketika ponselnya berkedip dan satu pesan lagi muncul, dengan cepat Ben membuka pesan itu.
Renatta Aurum : Gue ada di depan mobil lo. Temuin gue sekarang.
Sederet pesan tersebut semakin membuat Ben keheranan. Namun, dirinya tidak ingin membuang waktu dengan terpaku di tempat, Ben melangkah cepat menuju pelataran parkir gedung fakultasnya.
Seiring dengan langkah yang ia lalui, rasa penasaran dan rasa heran semakin bercokol di dalam kepalanya. Ia bertanya-tanya, ada perlu apa Rena hingga rela menghampiri hingga ke gedung fakultasnya seperti ini. Apa lagi jika Rena datang ke fakultas hukum dengan berjalan kaki dari fakultasnya sendiri, yang mana jarak antara fakultas mereka cukup berjauhan.
Tapi, rasanya itu tidak mungkin dilakukan. Rena tentunya tidak akan mau melakukan hal-hal yang merepotkan seperti itu hanya untuk bertemu dengan Ben.
Sampai di pelataran parkir, benar saja, sudah ada Rena yang berdiri menunggu di samping mobil merah milik Ben. Perempuan itu mengenakan kemeja berwarna hijau army dan celana panjang hitam. Dengan kedua lengan yang terlipat di depan d**a, Rena bersandar di pintu mobil. Wajah perempuan itu nampak tidak ramah, tatapannya terlihat tajam, dan tidak ada senyum sama sekali yang menghias wajahnya.
Meski agak ragu, Ben berjalan menghampiri Rena. Lantas Rena langsung mendongak dan menegakkan tubuh kalah Ben telah sampai di hadapannya.
“Gue mau ngomong sama lo.” Rena berkata cepat, tanpa memberi kesempatan bagi Ben untuk menyapanya.
Ben kembali mengerutkan kening. “Mau ngomong apa?”
“Bisa ngomongnya di dalem mobil lo aja?”
Ben mengerjap sejenak, mencerna perkataan Rena itu, sebelum mengangguk dan segera membuka kunci mobilnya. Tanpa berbicara lagi, Rena segera masuk ke dalam mobil Ben, tepatnya ke kursi penumpang yang ada di depan. Sementara Ben tentunya duduk di balik kemudi.
“Mau ngomong apa?” Ben yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya pun bertanya setelah keduanya sama-sama duduk di dalam mobil, pintu sudah tertutup, dan AC telah dinyalakan.
Di sampingnya, Rena masih terlihat tidak ramah. Perasaan Ben jadi tidak enak seiring dengan dirinya yang yakin bahwa Rena datang menemuinya bukan untuk mengatakan sesuatu yang baik.
Oh, tentu saja. Memangnya sejak kapan Rena baik padanya? Ben jadi ingin tertawa miris pada diri sendiri. Jangankan bersikap baik, melempar senyum saja Rena tidak pernah.
Rena tidak langsung menjawab. Gadis itu berdiam diri terlebih dahulu, mungkin sengaja ingin membuat rasa penasaran Ben semakin melebar atau kemungkinan juga karena ia sedang sibuk memikirkan apa yang harus ia katakan terlebih dahulu.
“Gara-gara lo, gue sama Gio berantem gede.” Begitu Rena mengatakan itu, mengakhiri kebungkaman sesaat tersebut, kedua mata Ben kontan terbelalak dan laki-laki itu terdiam di tempat. Ben tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas tuduhan itu. Rasanya seperti ia baru saja didakwa sebagai pelaku sebuah kasus pembunuhan, padahal bukan ia pelakunya dan ia juga tidak punya kuasa hukum untuk membela.
Ben terlebih dahulu berdeham sebelum menjawab, “Maksud lo apa?”
Dan Rena tersenyum. Singkat, hanya dengan sedikit tarikan di bibir. Siapapun yang melihat pasti tahu kalau senyum itu tidak tulus dan hanya bermaksud untuk mengejek. Ben pun paham itu.
“Lo yang ngasih tau Gio kalau dua hari yang lalu gue ada di Fable, kan?”
Oh.
Itu.
“Iya, gue yang ngasih tau Gio soalnya gue liat lo di sana.” Ben menjawab sesantai mungkin.
Di mata Rena, Ben terlihat terlalu santai dan ekspresi wajahnya nampak menunjukkan kesombongan, membuat Rena kesal hingga kedua tangannya terkepal erat. Rena memandang Ben tajam. “Lo sengaja mau bikin hubungan gue sama Gio rusak ya?”
“Loh, kenapa lo malah nuduh gue gitu?”
“Karena gara-gara laporan lo itu, gue sama Gio jadi berantem besar sampai sekarang.”
Mata Ben mengerjap beberapa kali. Lagi, Ben ingin tertawa miris. Entahlah, melihat kilat amarah di mata Rena saat mengatakan itu dan mendengar tuduhannya membuat Ben merasa geli. Ia tidak terima dikatakan begitu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa laporannya pada Gio malam itu memang berpotensi untuk menghasilkan sebuuah pertengkaran bagi mereka berdua.
“Gue cuma melaksanakan protokol yang dititahkan Gio kepada gue. Selebihnya, itu bukan tanggung jawab gue,” ujar Ben dingin. “Jadi, lo nggak bisa nuduh gue sebagai penyebab pertengkaran kalian berdua.”
“Protokol apaan?”
“Protokol untuk segera menghubungi Gio kalau-kalau gue melihat lo berkeliaran di sebuah kelab malam.”
Rena tertawa sinis mendengarnya. “Bullshit.”
“Terserah lo mau bilang apa, tapi emang itu faktanya. Kalau nggak percaya, tanya langsung aja ke Gio.”
Raut wajah Ben terlihat benar-benar meyakinkan saat mengatakan itu. Rena tahu bahwa Ben tidak berbohong. Tetapi, melihat laki-laki itu dan mendengar pernyataannya tadi membuat Rena semakin marah padanya.
“Kalau emang lo baik hati, lo nggak akan ngelaporin gue ke Gio karena lo pasti ngerti kalau laporan itu bisa jadi masalah buat gue sama dia. Lagian, lo ngeliat gue ngapain sih di sana? Minum? Jalan sama cowok lain? Enggak kan? Gue ke sana cuma dateng buat menghadiri acara ultah Mona sebagai formalitas. Cuma sebatas itu.”
Rena semakin menganggap bahwa Ben adalah biang masalah dari pertengkarannya dengan Gio, walaupun nyatanya tidak seperti itu. Rena sudah terlampau pusing dan batinnya sudah terlanjur takut atas kemungkinan apa saja yang bisa terjadi antara dirinya dengan Gio. Katakanlah Rena egois karena sejujurnya, Rena sedang melampiaskan semua kekalutannya itu pada Ben sekarang.
“Itu bukan urusan gue. Tugas gue cuma lapor ke Gio kalau ngeliat lo di kelab malam karena lo tau sendiri bahwa lo sangatlah dilarang keras untuk datang ke tempat itu tanpa pendampingan Rean atau Gio, apapun alasannya.”
Rena menatap Ben tajam. Diam-diam berharap dengan tatapan itu, ia bisa melukai Ben. “Apa lo lupa kenapa peraturan itu bisa ada?”
Ben langsung bungkam. Satu pertanyaan itu sukses menyentilnya. Merasa tidak nyaman, Ben mengalihkan pandangannya dari sepasang bola mata Rena yang kini juga memancarkan sorot kekecewaan, terlepas dari amarahnya tadi.
“Hebat kalau lo bisa lupa, Ben.” Rena berujar, diiringi tawa hambar tanpa unsur kelucuan. “Karena sampai sekarang gue masih ingat dengan jelas, tanpa bisa lupa sama sekali.”
“Gue udah minta maaf sama lo. Berkali-kali.” Hanya itu yang mampu dikatakan Ben, tanpa mampu memandang Rena lagi.
Rena pun kini lebih memilih untuk memandang ke luar jendela. Satu kilasan masa lalunya yang berhubungan dengan Ben terlintas di benak. Mengingat itu selalu bisa membuat Rena merasa dingin karena masa lalu itu terlalu kelam.
“Jangan ganggu hubungan gue sama Gio, Ben.”
“Gue nggak mengganggu hubungan kalian,” tukas Ben cepat. “Gue nggak sehina itu. Udah gue bilang kan, gue cuma nurutin apa yang pernah Gio perintahkan ke gue, tanpa maksud untuk-”
“Setidaknya berhenti melakukan sesuatu yang membuat gue beranggapan kalau lo mengganggu,” potong Rena, tidak mengizinkan Ben melanjutkan ucapannya. “I love him too much, Ben. I don’t wanna lose him.”
Setelah mengatakannya, Rena membuka pintu mobil, bersiap untuk pergi tanpa peduli jika dia baru saja menyakiti perasaan Ben. Lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Cuma itu yang mau gue omongin sama lo.” Rena melompat turun dari mobil, Ben masih enggan menatapnya. Namun, sebelum pintu mobil ditutup oleh Rena, Ben kembali bersuara. “Sebenci itu lo sama gue?”
Ada jeda sejenak sebelum Rena menjawab pelan, “Sebenci itu.”
Kemudian, pintu mobil tertutup. Rena berjalan pergi, sementara Ben hanya bisa meratapi hatinya yang kembali berduka, dan menyesali masalalu yang tidak akan pernah bisa dia ubah.