3 : He Found Out

2512 Kata
Gio lelah bukan main. Tubuhnya terasa ngilu dan pegal, butuh direbahkan di atas kasur yang empuk. Matanya terasa berat akibat kantuk yang tertahan, sebab sejak semalam hingga ke malam berikutnya, ia baru tidur selama satu hingga dua jam saja. Sepasang mata itu butuh istirahat, jika Gio tidak ingin tumbang secara tiba-tiba. Lalu, badan Gio juga rasanya sudah lengket dan terasa tidak nyaman, bekas keringat yang mengucur di tubuhnya berkat pergerakan yang ia lakukan seharian ini. Gio rindu akan sentuhan air dingin yang menyentuh kulit. Dia butuh mandi, sangat amat butuh. Tetapi, terlepas dari semua kepenatan tersebut, senyum Gio tak bias berhenti terkembang di bibir. Ada perasaan senang dan bangga yang membuncah dalam dadanya. Dikarenakan hari ini, acara yang diketuai Gio bisa dibilang sukses, meskipun ini adalah kali pertama ia menjadi seorang ketua dalam hal semacam ini. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Gio masih berada di lingkungan kampus. Ia dan anggota BEM yang lain baru saja selesai membereskan ruangan serta perlengkapan bekas acara seminar yang mereka adakan hari ini serta mempersiapkan untuk acara pelatihan besok. Dan setelah seharian penuh disibukkan oleh acara tersebut, pada akhirnya Gio berkesempatan untuk duduk dan beristirahat. Gio duduk tepat di bawah pendingin ruangan. Disekanya peluh yang membasahi dahi, serta dikibaskannya kaus yang ia pakai karena merasa gerah setelah selesai menyusun kursi-kursi untuk acara pelatihan besok. Gio memutar kepala kepala ke kanan dan kiri, merasakan pegal pada leher serta punggungnya. Kalau begini, Gio jadi rindu kamar dan kasur kesayangannya. “Capek, Pak Ketupel?” Mikail, salah satu rekan Gio di BEM datang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Laki-laki berkumis tipis itu menyerahkan sebotol air mineral dingin pada Gio yang terlihat ngos-ngosan seperti habis ikut lomba lari. Segera saja Gio membuka tutup botol tersebut dengan sekali putar dan menandaskan setengah isi dari botol itu dalam sekejap, melepas dahaga yang sejak tadi tertahankan. “Yaelah, Pak, udah kayak nggak minum setahun aje lo.” Tanpa dosa Mikail tertawa sembari menggelengkan kepala. Gio mendengus. “Haus gue, Mik. Abis makan malem tadi sampe sekarang gue nggak minum sama sekali soalnya.” “Gila, kagak seret lo?" “Udah nggak kepikiran lagi gue sama minum demi ngurusin ini acara.” Tawa Mikail kembali terdengar. “Kalo ketua pelaksana emang gitu ye,” tuturnya. “Entar lo rasain sendiri lah gimana pas kebagian jadi ketua pelaksana,” timpal Gio. Mikail hanya cengengesan dan mengusap helaian rambutnya yang lembab karena keringat. Sama seperti Gio, Mikail juga ikut menyusun kursi-kursi dan menata ruangan tadi. Hanya saja, Gio kerjanya lebih ekstra karena selain menyumbang tenaga, laki-laki yang ditunjuk sebagai ketua pelaksana itu juga harus menyumbang pikiran serta solusi tiap kali ada laporan kendala dari anggota panitia yang lain. Untuk ukuran seorang Januari Giovano Atmajaya yang semasa SMA-nya sama sekali tidak pernah mencecap dunia organisasi seperti ini, rasanya memang cukup melelahkan. Namun di sisi lain juga seru karena bisa memberi pengalaman baru. Selain itu, kegiatannya yang ia tekuni saat ini tentunya akan berguna untuk masa depannya kelak. Harus diakui, Gio menikmati semua kesibukannya sekarang, walaupun ada banyak hal yang mesti ia korbankan. Salah satunya adalah waktu untuk bersenang-senang dan bermain-main bersama teman. But then he thought, he got enough of times for that in high school. Sekarang sudah waktunya untuk membayarkan semua kemalasan dan hura-hura mengisi tahun-tahun masa putih abunya. Sudah waktunya untuk berubah. Supaya orangtuanya tidak khawatir akan masa depan anak semata wayang mereka. Terlebih, supaya ayah yang selama ini menjadi panutan utama Gio, bangga padanya. Sekali lagi Gio menenggak air minumnya, kali ini lebih pelan. “Anak-anak cewek udah pada pulang?” “Udah,” angguk Mikail, menjawab pertanyaan Gio. “Barusan bubar mereka.” “Mereka yang nggak bawa kendaraan pada dianterin, kan?" “Iye, tenang aja. Raka sama Juan yang numbalin diri jadi supir mereka,” ujar Mikail. “Bagus kalau gitu.” Gio mengangguk, puas karena instruksinya yang menyuruh panitia-panitia cewek untuk pulang dituruti. Intruksi tersebut sengaja Gio berikan karena menurutnya, cewek tidak sepantasnya pulang larut malam. Walau masih banyak pekerjaan, biarlah panitia-panitia cowok saja yang menyelesaikannya. Jika harus menginap di tempat ini pun mereka yang jantan siap-siap saja. “Lo tuh perhatian amat ya, pantes banyak yang baper sama lo.” Gio mengerutkan hidung mendengar pernyataan Mikail yang tidak terlalu ia sukai. “Termasuk lo gitu baper sama gue?” Candanya. “Ye, amit-amit. Gue punya cewek kali.” “Lo yang baru pacaran sebulan jangan sombong, gue lebih senior di sini,” sahut Gio sambil menepuk d**a bangga, mengundang sebentuk cibiran dari rekannya itu. “Kadang gue masih suka nggak nyangka kalau cewek lo itu Renatta Aurum yang naujubileh idaman para lelaki,” ujar Mikail kemudian. Gio meninju bahu Mikail ringan, tidak terima dengan pernyataannya. “Maksud lo gue nggak pantes gitu bersanding sama Rena?” Mikail mengangguk. “Abisnya kan lo dekil dan bau ketek.” “Ye, k*****t!” Seru Gio sebal. Ia lantas mengangkat lengannya tinggi-tinggi hingga helaian rambut ketiaknya terlihat. Lalu, ia sodorkan ketiaknya yang terpampang itu kepada Mikail. “Makan nih ketek gue!” Mikail segera bergerak menjauh dari Gio dan terbahak geli. “Najis,” ejeknya sambil berjoget-joget konyol, membuat Gio mendengus dan ingin memblender laki-laki itu. Tetapi, Gio terlalu malas untuk bergerak guna mengejar Mikail. Maka dibiarkannya laki-laki tersebut keluar ruangan sambil tertawa. Gio kembali mendinginkan diri. “Woy, Yo! Ponsel lo udah penuh nih, gue cabut ya?” Gio menolehkan kepala ke arah panggung yang ada di ujung ruangan. Di sana ia melihat Hadi, salah satu rekannya yang lain sedang melambaikan sebuah ponsel yang ada di tangannya. Itu ponsel Gio yang daya baterainya baru sempat ia isi sejak tiga jam yang lalu. Gio hampir saja lupa. “Anterin ke sini dong, Di, gue mager!” Seru Gio pada Hadi. Laki-laki bertubuh besar itu pun berjalan mendekati Gio. “Manja amat lo,” omel Hadi setelah memberikan ponsel Gio pada tuannya. Gio hanya cengengesan. “Makasih, Ndut Kesayangan,” ujarnya manis. Hadi hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas sebelum kembali berjalan ke tempatnya tadi. Masih dengan mengibaskan kaus, Gio menyalakan ponsel hitam yang kini berada di genggamannya. Sejak tadi pagi ia sama sekali tidak sempat memegang benda itu. Bahkan, sejak semalam ponsel Gio mati karena kehabisan daya baterai dan baru sempat ia charge beberapa jam yang lalu. Saat koneksi internet di ponsel tersebut aktif, langsung saja berbagai notifikasi masuk secara bergantian. Ada senyum yang terbit di bibir Gio kala melihat notifikasi yang berbaris masuk, pesan-pesan dari Rena. Ah, melihat namanya saja membuat Gio jadi rindu. Dalam pesan-pesan tersebut, Rena juga menyampaikan kerinduannya. Serta, sebuah ucapan terima kasih atas hadiah yang Gio titipkan untuk Rena lewat Ben tadi siang. Dan pada pesan paling bawah yang dikirimkan pukul delapan malam tadi, Rena menanyakan apakah Gio jadi datang ke rumahnya seperti apa yang disampaikan Ben kepadanya. Gio menghela napas, menyayangkan bahwa ia tidak bisa merealisasikan pesannya itu. Siapa sangka, pekerjaannya malah selesai hingga larut malam begini. Terkadang Gio merasa bersalah pada Rena. Akibat kesibukannya, waktu mereka untuk bersama jadi berkurang. Mereka yang biasanya bertemu nyaris setiap hari, kini hanya mampu bertemu setidaknya satu kali dalam seminggu atau bahkan satu kali dalam dua minggu jika jadwal Gio benar-benar sedang padat. Dan rasa bersalah itu pun sering bertambah menjadi dua kali lipat beratnya karena Rena tidak pernah protes walau Gio tahu, jauh di lubuk hati, gadis itu pasti merasa jengkel. Tapi, Rena mencoba untuk menjadi seorang kekasih yang pengertian. Untuk itu, Gio berterima kasih padanya. “Ah, Natta, aku juga kangen,” gumam Gio seperti orang gila, pada ponselnya yang menampilkan pesan dari Rena. Sebelum menghubungi Rena, Gio terlebih dahulu memberi pesan pada ibunya, memberitahukan bahwa malam ini Gio tidak pulang dan akan menginap di kosan temannya. Setelah itu, barulah Gio ingin menghubungi kekasih yang sudah sangat ia rindukan itu. Namun, baru saja ibu jari Gio hendak menyentuh kontak Rena, sebuah telepon masuk dari Ben mendahului. Kening Gio berlipat bingung melihatnya seiring dengan tanda tanya yang muncul dalam kepala. Walau bersahabat dekat, Gio dan Ben jarang berkomunikasi lewat telepon, apalagi di waktu seperti ini. Kecuali, jika ada sesuatu yang darurat. Tidak ingin terlalu lama penasaran, Gio pun menerima panggilan dari Ben. Ditempelkannya ponsel ke telinga. “Halo?” Ben membalas, namun Gio tidak mampu mendengar dengan jelas apa yang dikatakan laki-laki itu akibat suara bising yang menjadi latar belakangnya. “Hah?” Ben kembali membalas, namun masih tak terdengar, membuat satu decakan keluar dari mulut Gio. “Lo ngomong apa, anjing, kaga kedengeran!” Serunya hingga membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu menoleh pada Gio. “Lo dimana?!” Kali ini baru suara Ben terdengar jelas seiring dengan suaranya yang meninggi. “Oh, gue masih di kampus, baru kelar acara ini abis beres-beres. Kenapa?” Dan jawaban yang diberikan Ben selanjutnya berhasil membuat Gio membeku di tempat untuk sesaat. Sepuluh menit kemudian, Gio sudah berada di dalam mobilnya, siap melesat menuju sebuah kelab malam yang disebutkan Ben padanya. Tempat dimana Rena berada sekarang. *** Berbeda seperti dua sahabatnya, Ben dan Rean, Gio tidak pernah suka dengan yang namanya kebut-kebutan dalam berkendara. Meski sering dicibir cupu oleh Ben, Gio tetap memegang prinsipnya untuk selalu berkendara dengan hati-hati dan menaati semua peraturan berkendara serta rambu-rambu lalu lintas yang ada. Namun tentunya ada beberapa pengeculian untuk prinsip Gio itu. Dan biasanya, prinsip tersebut akan ia langgar demi sesuatu yang dianggapnya darurat. Sekarang, Gio menganggap bahwa menghampiri Rena di sebuah kelab malam adalah sesuatu yang sangat darurat karena berbagai macam alasan. Alasan yang pertama, kelab malam adalah tempat yang seharusnya haram untuk Rena datangi. Baik orangtuanya, Gio, bahkan Rean melarang Rena untuk datang ke tempat itu. Rena cuma boleh datang dalam kegiatan tertentu saja, itu pun harus ditemani oleh Gio atau Rean. Dan Rena pun harus meminta izin dari jauh-jauh hari untuk itu. Alasan yang kedua, Gio tidak pernah suka tempat hingar bingar itu. Maka ia pun tidak suka dengan fakta kalau Rena berada di sana. Katakanlah Gio terlalu berlebihan atau kepalang protektif. Gio hanya tidak ingin orang yang sangat ia sayangi terjerumus ke hal-hal yang buruk. Alasan terakhir, Gio menganggap ini darurat karena dia khawatir. Kekhawatiran Gio pun bukan tanpa alasan. Di masa lalu, saat mereka masih kelas sepuluh, Rena  datang ke sebuah kelab untuk yang pertama kali atas ajakan temannya. Saat itu, Rena pergi diam-diam dan entah bagaimana caranya masuk ke dalam tempat tersebut. Yang pasti, pulang dari sana Rena meminta dijemput oleh Gio, lalu menangis saat mereka telah bertemu. Gio tidak tahu apa yang terjadi pada Rena saat itu karena Rena tidak pernah mau bercerita. Gio pun tidak memaksa. Namun, satu hal yang pasti, sesuatu yang buruk telah terjadi pada Rena waktu itu. Hal itulah yang membuat Gio dengan keras mengharamkan tempat penuh bahaya itu untuk Rena. Karena Gio secinta itu pada Rena dan tidak ingin hal buruk terjadi padanya. Bahkan ia telah mewanti-wanti Ben yang merupakan penghuni kelab sejati untuk selalu menghubunginya kalau-kalau bertemu Rena di sebuah kelab. Dan ternyata, malam ini hal itu terjadi. Setelah mendapat kabar dari Ben, ia segera bergegas untuk menghampiri Rena. Bahkan, Gio pun menghilang begitu saja tanpa memberi tahu rekan panitianya yang lain. Di tengah jalanan malam yang cukup lengang, Gio mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang bisa dibilang tinggi. Tak jarang ia pun menyalip kendaraan-kendaraan yang ia anggap menghalangi. Semua dilakukan demi cepat sampai ke tempat tujuan. Jarak tempuh yang biasanya memakan waktu satu jam pun mampu Gio pangkas hingga menjadi empat puluh menit. Kini mobilnya telah terparkir di parking lot kelab malam terkenal itu. Sejenak Gio terdiam memandangi roda kemudi. Nafasnya terasa menderu dan ada rasa kesal bercampur khawatir yang ia rasakan, serta rasa lelah yang entah mengapa bertambah menjadi dua kali lipat. Gio menarik napas, kemudian menghembuskannya pelan, mencoba menenangkan diri sebelum meraih ponsel dan menghubungi Rena. Mulanya, panggilan Gio tidak dijawab. Hingga ia terus-menerus menghubungi tanpa henti, membuat hatinya gusar. Pada panggilan ke enam, barulah panggilan itu diterima. “Keluar sekarang, Natta. Aku tunggu di parkiran.” Tanpa membiarkan Rena menyapa, Gio segera berkata dingin. Dan tanpa sempat membiarkan Rena menjawab pula, Gio memutuskan panggilan dan menuggu. Gio tahu, di seberang sana, Rena pasti langsung gusar. Selama lima tahun menjalin hubungan dengan Rena, bisa dihitung dengan jari berapa kali Gio marah pada gadis itu. Dan kemarahan Gio selalu berdasarkan alasan yang kuat. Gio tidak pernah marah hanya karena masalah sepele seperti Rena yang terkadang terlampau egois dan bisa bersifat sangat bitchy. Kemarahan Gio selalu didasarkan atas kesalahan yang Gio tahu tidak baik untuk Rena. Contohnya, seperti sekarang. Tidak lama kemudian, Rena datang menghampiri mobil Gio. Lewat jendela mobil, Gio bisa melihat penampilan Rena yang sama sekali jauh dari bayangannya. Rena tidak mengenakan pakaian terbuka. Gadis itu hanya mengenakan celana jins dan kaus turtle neck lengan panjang. Tanpa sadar Gio bernafas lega sebelum membuka pintu mobil untuk Rena. Setelah gadis itu duduk di sebelahnya dan pintu mobil tertutup, Gio kembali melajukan mobil. Kali ini, menuju rumah Rena untuk mengantarnya pulang. Hening meliputi atmosfer di sekitar mereka dalam perjalanan itu. Padahal, keduanya sama-sama memendam rindu yang telah tertumpuk selama dua minggu. Gio memilih untuk fokus penuh ke jalan raya dan mengemudikan mobilnya dengan serius meski sesekali ia melirik Rena lewat ekor mata. Di tempatnya duduk, Rena menunduk. Gadis itu memuntir ujung kausnya dengan gelisah. Ia gusar, tentu saja. Karena Gio yang muncul tiba-tiba dan memergokinya datang ke tempat yang tak seharusnya ia jamah. Hatinya juga gundah, sebab Gio terlihat marah di balik lelahnya. Karena itu, Rena tidak berani mengatakan sepatah kata pun dan lebih memilih untuk membisu meski sangat ingin berbicara dengan Gio, mendengar suara manisnya, melihat senyum dan tawanya, dan memeluknya. Rena tidak suka jika harus bertemu Gio dalam situasi seperti ini. Merasa bodoh, ia pun mengutuki diri dalam hati. Sampai mobil itu berhenti tepat di depan pagar rumah Rena, tidak ada yang berbicara di antara dua sejoli itu. Cukup lama mereka bertahan dalam kebisuan, memilih untuk memandangi jalanan komplek di depan yang kosong dan hanya dihiasi oleh pendar sinar bulan dan lampu jalan. “Maaf.” Pada akhirnya, Rena bergumam, lirih dan nyaris tidak terdengar. Gio mencengkeram roda kemudi dengan erat. “Kita bicarain ini besok aja, aku capek, males ribut,” jawab Gio yang sudah tahu bahwa pembahasan ini pasti akan mengundang perdebatan. Pasrah, Rena mengangguk. “Yaudah,” gumamnya lagi sebelum membuka pintu mobil. “Aku pulang kalau gitu.” Gio tidak menjawab. Tetapi, sebelum Rena turun dari mobil, laki-laki itu terlebih dahulu mencondongkan tubuh untuk mendekap Rena. Gio memang marah, tapi Gio juga rindu. Maka dalam kebisuan ini, izinkan Gio memeluk Rena sebentar, membenamkan wajah pada bahu gadis itu dan menarik nafas dalam-dalam di sana. Gio ingin menyerap energi yang hanya mampu dihasilkan Rena untuknya supaya besok ia mampu menjalani hari meski hatinya masih merasa jengkel dan tubuhnya terasa seolah akan ambyar karena lelah. Rena balas memeluk Gio dan menikmati kenyamanan serta kehangatan yang ia rindukan. Masih dalam bisu, sesaat mereka bertahan dalam posisi itu. Lalu, Gio melepas pelukannya, meninggalkan satu kecupan ringan di kening Rena sebelum membiarkannya keluar dari dalam mobil. Dengan langkah gontai, Rena berjalan menuju rumahnya. Selesai berurusan dengan Gio, masih ada orangtuanya yang harus ia hadapi di dalam. Tapi, kembali lagi ke Gio, bagaimana laki-laki itu bisa tahu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN