9.Aku Seorang Caddy

1584 Kata
Ilona mulai terbiasa menjalani hari-harinya sebagai seorang caddy. Untuk memandu para pegolf amatir yang berasal dari kalangan umum baik itu pejabat atau pun pengusaha. Hampir bisa dipastikan jika mereka yang berolahraga elite itu memiliki kantong tebal. Golf bukan olah raga yang murah mengingat semua peralatan dan biaya sewa lapang yang cukup lumayan menguras isi dompet. Hanya kalangan tertentu yang dapat menjangkaunya. Sesuai kesepakatan, ia hanya bekerja paruh waktu di akhir pekan saja, sabtu dan minggu. Kebanyakan ia habiskan waktunya untuk kuliah. Ilona masih memiliki cita-cita lain. Ia ingin membangun usaha sendiri dengan adiknya membuka toko kue. Perjalanan hidupnya masih panjang, bukan hanya itu ia pun ingin memiliki rumah pribadi. Mengalami jatuh miskin sangatlah menyakitkan dan ia ingin berusaha kembali bangkit dari keterpurukannya. Senin sampai jumat ia habiskan waktunya di kampus. Kehidupan perekonomiannya pun perlahan mulai membaik. Meskipun gaji bulanan yang diterimanya sedikit namun ia memiliki uang tip yang lumayan besar dan mampu menutupi semua kebutuhan bulanan serta membayar pengobatan ibunya. Hari ini ia tengah duduk santai bersama Carissa di cafe. Pekerjaannya sudah berakhir dan untuk kali pertama Pratama absen di sana. Ia memberi kabar jika dirinya harus pergi ke luar pulau untuk urusan bisnis. Ilona merasa senang karena bisa lepas sesaat dari pria itu. Pratama selalu saja menekan dirinya memintanya menemani dari pagi hingga malam. "Bagaimana kamu betah kerja di sini?" Sebulan sudah Ilona bekerja di Padang Golf Pesona Indah. Banyak hal yang telah didapatkan olehnya. "Alhamdulillah." Ilona bersyukur ia mulai betah dan nyaman berada di sana, meskipun pada awalnya banyak yang iri kepadanya. Keterampilan dirinya sebagai pemandu golf semakin meningkat. Kemampuan dalam memegang stik golf semakin mahir. "Syukurlah." Carissa ikut senang. Kehadiran Ilona menjadi berkah tersendiri. Banyak para pemain golf amatir yang ingin ditemani olehnya meskipun hanya beberapa saja yang bisa karena ia selalu dimonopoli oleh Pratama yang berani membayarnya mahal. Pihak manajemen padang golf tak bisa berbuat apa-apa karena itu urusan mereka dan Pratama merupakan member VIP. Namun setidaknya Padang Golf Pesona Indah menjadi semakin ramai. "Sepertinya kamu semakin dekat dengan Pak Tama." Carissa memberikan komentarnya. Selama ini ia selalu memperhatikan keduanya meski saat ini Carissa sudah jarang berada di Pesona Indah karena tengah mengelola Padang Golf lainnya yang biasa dipakai turnamen profesional. "Iya. Kami berteman baik." Ilona mengakui kedekatan dirinya dengan Pratama. Ia selalu menjadi caddy pilihannya di lapangan dan juga teman ngobrolnya. "Para Caddy ramai memperbincangkan kamu loh." Carissa berusaha mengorek informasi lebih dalam. "Masa sih?" Ilona tak menyadari. Selama ini ia menjaga jarak dengan rekan-rekannya. Lagipula ia hanya datang di akhir pekan saja sehingga kurang banyak memperhatikan perkembangan sekitar. "Aku ga masalah, asalkan hubungan kalian baik-baik saja dan tak ada skandal yang dapat merugikan semua pihak. Pak Tama memang terkenal playboy jadi aku harap kamu sedikit berhati-hati kepadanya." Carissa memberikan peringatan. Sebagai senior ia tahu banyak sepak terjang pria yang sudah memiliki anak istri itu. Di sana sudah cukup banyak skandal yang melibatkan para caddy sehingga cukup mengkhawatirkan reputasi padang golf. Saat tengah asyik mengobrol sambil menyantap hidangan pisang coklat, tiba-tiba datang seorang pria tampan mendekat ke arah mereka. Penampilannya terlihat rapi dan berkelas, pertanda ia bukan orang sembarangan. "Eh, Pak Anggara." Carissa yang menyapa duluan, begitu pria dewasa itu berada di hadapan keduanya. "Boleh bergabung?" Ia meminta izin. Suasana cafe sore ini cukup ramai dipadati oleh pengunjung. "Silahkan!" Tentu saja Carissa tak keberatan. Terlebih Anggara bukan sosok asing di Kawasan Pesona Indah, meski akhir-akhir ini jarang menampakan dirinya. Ilona tersenyum ke arah pria tampan di dekatnya. Pembawaannya sangat tenang, dari raut wajahnya memancarkan keteduhan. Ia pernah berkenalan dengannya, lebih tepatnya dikenalkan oleh Pratama saat mereka bermain golf bersama sekitar dua minggu yang lalu namun saat itu ia berada jauh darinya. Pria bernama lengkap Anggara Yogaswara itu menarik sebuah kursi sebelum akhirnya menjatuhkan bokongnya. "Tumben, Pak Tama kemana? Kok tidak ada." Anggara menanyakan keberadaan pria yang selalu ditemani oleh Ilona. Boleh dibilang selama sebulan terakhir pria itu seperti kuncen. "Pak Tama lagi ke luar pulau." Ilona memberikan jawaban. Meskipun tak bertemu, hampir setiap hari Pratama memberikan kabar berita tentang dirinya. "Oh, pantas saja." Ia pun tersenyum paham. "Sudah lama ya kita tak jumpa." Perkataan Anggara ditujukan kepada Carissa. "Saya sibuk di Tanggerang,Pak.  Carissa memberitahukan kesibukan terbarunya. Ia hanya ada di Pesona Indah seminggu sekali atau dua kali. "Oh." Pria berkumis tipis itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Bapak juga sudah lama ya tak terlihat." Giliran Carissa yang balik bertanya. "Anak saya sakit dan harus bolak balik Singapura Jakarta, jadi tak ada waktu me time." Ia terkekeh. Akhir-akhir ini ia jarang bermain golf. Baru hari ini ia mampir, itu pun bukan untuk urusan golf melainkan bertemu clientnya. "Bagaimana kondisinya sekarang?" Carissa menunjukkan rasa empatinya. "Alhamdulillah sudah membaik," jawabnya. "Ngomong-ngomong, Pak Angga mau pesan makan apa?" Carissa menyodorkan daftar menu.  "Terima kasih, tapi saya sudah pesan kopi kok," tolak Anggara. "Oh." Tak lama kopi pesanannya pun datang. Mereka lantas terlibat percakapan seru. Ilona baru menyadari siapa sosok pria bernama Anggara Yogaswara itu. Dia pengusaha sukses yang bergelut di dunia pertambangan. Selama berbincang, Ilona lebih banyak menjadi pendengar setia. "Maaf, Sa, sepertinya aku mau pulang duluan," Ilona memberanikan diri undur diri. Barusan Ricky mengirim pesan jika tetangganya ada yang meninggal. "Kita pulang bareng saja. Aku pesan dulu taksi online." Carissa menahan Ilona. "Kalau tidak keberatan, bagaimana kalau kalian saya antar saja. Kebetulan saya juga sudah mau pulang." Anggara pun memberikan tawaran. "Apa tidak merepotkan?" Carissa merasa tak enak hati. Biasanya ia pulang bersama David, sayangnya tunangannya itu tengah berada di luar kota karena ada urusan keluarga. "Tenang saja, saya kemari bersama sopir. Jadi saya merasa tak direpotkan." Anggara berkata dengan nada santai. Sesekali ia melirik ke arah Ilona yang pernah diceritakan Pratama. "Kalau begitu terima kasih banyak." Carissa senang mendapatkan tumpangan. Usai membayar tagihan yang tentumya dibayari oleh Anggara, mereka bertiga meninggalkan cafe itu untuk menuju parkiran. *** Mobil yang ditumpangi Ilona akhirnya berhenti di depan gang menuju rumahnya. "Terima kasih banyak ya, Pak," ucap Ilona begitu keluar dari mobil sedan merci Anggara. "Sama-sama." "Dag Carissa. Makasih ya!" "Hati-hati " Ilona lantas berjalan menuju rumahnya yang ada di gang. Suasana tampak ramai karena di sana ada yang meninggal. Ilona pun menyempatkan diri untuk melayat. Sebelum akhirnya ia tiba di rumah kontrakannya. Di dalam hanya ada Ricky seorang karena sang Kakek dan Gerry masih berada di rumah orang yang meninggal untuk membantu memandikan jenazah. "Assalamualikum." Ilona mengucapkan salam. "Waalikumsalam." Ricky memberikan jawaban. Tampak matanya bengkak pertanda ia telah menangis. "Ricky kenapa?" Gadis berkemeja coklat itu menatap adik kecilnya dengan perasaan heran. "Ricky sedih, Kak Lona. Ricky ingat Mama sama Papa. Kasihan Adit, ayahnya meninggal." Ricky memeluk Ilona. Tangis sang adik kembali pecah. Tetangganya yang meninggal itu adalah orang tua teman sepermainan Ricky. Pantas saja adiknya sampai menangis seperti itu. "Sudah, kamu jangan nangis terus!" Ilona memeluk sang adik. Ia tahu adiknya itu sedang ingat orang tuanya. Sebulan yang lalu ia pernah minta berkunjung ke makam orang tuanya yang sampai detik ini belum bisa dipenuhi. *** Pagi hari Ilona belanja di warung Mpok Wati, kebetulan ia baru akan berangkat ke kampus pukul sepuluh sehingga masih memiliki waktu untuk membeli kebutuhan dapur, sekalian masak untuk makan siang adik-adiknya. Saat ia tiba di warung sayur ibu-ibu tengah berkerumun memilih belanjaan. Layaknya kebanyakan, para ibu itu selalu saja bergosip. "Eh, ada Lona." Mereka melirik ke arah Ilona dan memberi tempat kepadanya. "Selamat pagi ibu-ibu." Sebisa mungkin Ilona bersikap ramah. Ilona segera memilih semua yang dibutuhkan. "Wah, banyak banget belanjaannya." Salah satu dari mereka memberikan komentar. Persediaan di kulkas sudah kosong, sehingga Ilona ingin mengisinya. Ia tak bisa tiap hari ke warung. Lagipula ia merasa malas jika terlalu sering bertemu ibu-ibu gosip tak berperasaan itu, sehingga memutuskan untuk menyetok bahan makanan yang cukup dalam kulkas. "Kan sekarang mah Ilona banyak duitnya." Mpok Wati seolah memberikan pengumuman. Ilona dan keluarganya tak pernah lagi terlibat hutang kepadanya. Bahkan jika belanja ia selalu banyak untuk stok satu minggu. "Lona, sebetulnya kamu kerja apa sih?" Salah satu ibu-ibu bertanya kepada Ilona dengan memberikan tatapan sinis penuh dengan kebencian. Ia merasa iri kepada tetangganya itu. Mereka mengamati kehidupan keluarga Ilona yang telah banyak berubah. Dua hari lalu ia terlihat membeli televisi baru. Ilona ingin memberikan hiburan untuk kakeknya. "Jangan-jangan kamu jual diri ya?" Ia kembali memojokkan Ilona. Mendengar perkataan wanita usia tiga puluhan itu seketika darah Ilona mendidih, namun ia berusaha menahannya. Ia tak mau meladeninya. "Kenapa diam?" Wanita tadi semakin membuat Ilona kesal. Bicara memberikan penjelasan rasanya percuma. "Sudah..sudah..ah. Ibu-ibu ini bagaimana sih." Mpok Wati berusaha untuk menenangkan situasi yang mulai memanas. "Saya pernah lihat dia sering diantar om om bermobil mewah. Bukan sekali dua kali tapi tiap akhir pekan. Ilona akui ia sering diantar pulang oleh Pratama. David pun sering mengantarnya namun jika ada Carissa, sementara tadi malam ia diantar oleh Anggara. "Saya kerja di lapangan golf, Ibu-ibu." Ilona memberitahukan profesinya. "Jadi caddy?" Ilona enggan membahasnya. "Permisi saya duluan." Usai membayar semua belanjaannya Ilona pergi meninggalkan tempat yang selalu dijadikan arena gosip. Ilona masih mendengar gunjingan mereka yang menuduh dirinya sebagai perempuan tak benar. Ia memang seorang caddy,namun sampai detik ini ia tak pernah terlibat skandal apapun. "Kamu kenapa?" Kakek Banu menatap cucunya penuh selidik begitu Ilona kembali dan nampak murung. Ia masih sedih dengan ucapan ibu-ibu gosip tadi. "Tidak apa-apa.Kek." Ilona berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia menahn agar tangisannya tak pecah. "Kakek pikir kamu sakit." Sang kekek tampak khawatir. "Ilona mau masak dulu." Gadis cantik itu berlalu dari hadapan sang kakek. Ia tak mau kakeknya curiga. Kakek Banu pun kembali pun melanjutkan aktifitasnya menyapu halaman dan menyiram tanaman. Kebetulan ia senang tanaman. Bukan hanya tanaman hias, ada juga sayuran yang ditanam olehnya. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN