Dengan diantar oleh ojeg online, tepat pukul sepuluh malam Ilona tiba di rumah kontrakannya, sebuah rumah sederhana yang dikontraknya setahun lalu. Bulan depan ia harus memperpanjangnya, kalau tidak ia beserta keluarganya harus segera angkat kaki dari sana. Membayangkan hal tersebut membuat gadis berhidung mancung itu semakin sedih. Ia tak lagi memiliki saudara untuk diminta tolong.
Tabungannya sudah menipis dan kini ia tak memiliki pekerjaan, ditambah lagi biaya pengobatan ibunya di rumah sakit jiwa masih menunggak, entah dari mana ia bisa mendapatkan uang yang cukup banyak untuk memenuhi semua kebutuhannya. Ilona dilanda kebimbangan yang amat sangat.
Pertemuannya dengan Carissa tadi memang memberinya secercah harapan, sepanjang jalan tadi ia berpikir untuk menerima tawarannya, sayangnya ia masih ragu dengan profesi yang ditawarkannya. Image gadis caddy itu cenderung negatif di mata masyarakat umum, apalagi untuk caddy yang menemani pegolf amatir. Mereka sering digosipkan menjalin hubungan gelap dengan para pengusaha atau pejabat. Memikirkan semua itu membuat Ilona bingung bukan main.
Ia berharap semoga besok pagi sudah bisa memberikan keputusannya, menerima atau tidak tawaran kerja dari Carissa.
Saat memasuki rumah, suasana ruang tamu yang bersatu dengan ruang keluarga sudah dalam keadaan gelap karena semua penghuni sudah tidur.
Hal yang pertama kali dilakukan gadis cantik itu adalah mengintip kamar kakeknya, tempat dimana pria tua yang tengah sakit itu tertidur pulas dengan dengkuran halusnya. Melihat kondisi kakeknya, Ilona terlihat sedih, betapa malang pria tua itu.
Di kamar lainnya, Gery, adiknya pun tertidur lelap di kasur lantai ditemani Ricky, bocah kecil berusia delapan tahun yang merupakan anak hasil selingkuhan ayahnya.
Tentang Ricky, ia terpaksa menerima kehadirannya yang kini turut menjadi bebannya. Ia anak kecil yang tak tahu apa-apa tentang masalah orang tuanya dan ia tak memiliki siapa pun setelah ayah dan ibunya meninggal.
Kenyataan jika ayahnya memiliki selingkuhan memang sangat menyakitkan, hal itu juga yang menjadi penyebab ibunya stres hingga harus menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Mengingat semua itu hati Ilona merasa teriris, namun ia tak boleh terus larut dalam kesedihan, dunia masih berputar dan hidup harus berlanjut apapun kondisinya.
"Kakak!" Ricky terbangun. Anak yatim piatu itu menggosok matanya perlahan seraya menatap ke arah sang kakak.
"Ricky! Kenapa bangun? Kamu mimpi buruk lagi?" Ilona mendekat ke arah adik tampan yang memiliki wajah mirip ayahnya, pria yang dulu selalu menjadi kebanggaannya, sayangnya itu hanya masa lalu. Sebab bertepatan dengan kematian dan terbongkarnya perselingkuhan antara ayah dan ibu kandung Ricky, rasa bangga dan kagumnya terkikis habis.
"Enggak. Ricky mau pipis, Kak!" Ia bangkit lalu berlari menuju kamar mandi tanpa minta diantar padahal kamar mandi ada di belakang dapur.
Untuk anak seumurannya ia tergolong mandiri. Tak pernah ia bersikap manja ataupun menangis. Bocah bertubuh kurus itu tak suka merepotkan siapapun. Tuhan seolah menciptakannya menjadi seorang anak yang kuat.
Awalnya Ilona sempat membencinya karena ia anak hasil selingkuhan ayahnya, namun makin ke sini ia makin menyayanginya. Ricky tak pernah rewel. Ia selalu makan dan mandi sendiri dan mau makan apa saja yang dihidangkan. Ia juga bersedia membantu pekerjaan rumah. Membersihkan tempat tidur dan juga menyapu lantai. Di sekolah pun ia merupakan anak yang pintar dan cerdas, semua teman dan guru menyukainya. Sudah tiga semester ia selalu meraih peringkat satu, ia pun dikenal sebagai siswa yang pandai menggambar.
Setelah memastikan Ricky kembali ke kamar, Ilona yang merasa kelelahan pun memilih segera berisitirahat di kamarnya. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasur busa yang sudah tiips, dalam hitungan menit ia langsung terlelap berkelana ke alam mimpi. Ia abaikan kebiasaan membersihkan wajahnya akibat rasa kantuk yang tak bisa ditahan.
***
Seperti biasa pagi-pagi sekali Ilona sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Pun dengan Gery adiknya, sudah sibuk mengatur es yoghurt ke dalam termos-termos untuk dibawa ke sekolah Ricky dan Gery. Pudding dan roti yang dibuatnya semalam pun sudah siap dikemas untuk dijajakan.
Demi membantu meringankan beban kakaknya, Gery berjualan. Ia menjual dagangannya kepada teman-temannya serta menitipkannya di kantin sekolahnya dan sekolah Ricky. Keuntungannya ia gunakan untuk uang jajan dan bensin serta kebutuhan sekolah lainnya yang tak terduga. Ia tak ingin merepotkan Ilona. Kakaknya cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah saja. Gery juga menyimpan sebagian uangnya untuk keperluan mendadak dan tabungan masa depannya. Ia bercita-cita melanjutkan studynya ke universitas favorit yang ia yakini biayanya pasti mahal.
Mereka bertiga kini ada di meja makan. Gery dan Ricky sudah berseragam rapi. Tas mereka letakkan di ruang tamu.
Setelah selesai sarapan, Gery pun mencuci peralatan makannya.
"Kak, ini kartu SPP!" Gery menyerahkan selembar kartu berwarna kuning kepada Ilona dengan ragu. Sudah dua bulan adiknya menunggak iuaran ditambah lagi cicilan uang DSP SMA adiknya belum lunas, padahal sebentar lagi ujian akhir akan segera dilaksanakan.
Ilona pun menerima kartu yang disodorkan oleh adiknya. Ia langsung mengamatinya dan menghela nafas panjang. Tagihannya semakin banyak.
"Kak, minggu depan Ricky mau ikut acara berenang di sekolah!" Giliran adik kecilnya memberikan kabar tentang kegiatan sekolahnya. Jika ada acara, biasanya sang kakek yang selalu mengantarnya. Meskipun Kakek Banu dan Ricky tak memiliki hubungan darah namun pria tua itu pun sangat menyayanginya. Pria tua itu juga yang dulu menyarankan Ricky ikut mereka daripada menyerahkan ke panti asuhan.
Ilona kembali terdiam. Kebutuhannya sangat banyak sementara penghasilannya tak seberapa, ditambah lagi dirinya tak lagi berpenghasilan karena baru dipecat, entah bagaimana nasib mereka bulan depan.
"Kalau kakak ga ada uang buat beli tiket, aku punya di celengan." Anak kelas dua SD itu menunjuk ke arah celengan ayam miliknya yang ada di atas lemari.
Ilona berusaha tersenyum. Ricky yang dulu dibenci olehnya, ternyata menjadi sosok yang selalu menghiburnya. Ia selalu riang gembira. Kakek Banu pun sering mendapat hiburan darinya, ia sering memijat dan menceritakan dongeng pengantar tidur.
"Insya Allah lusa uanganya ada." Ilona menenangkan kedua adiknya. Ia memang tak punya lagi sesuatu untuk digadai atau dijual, namun ia masih memiliki sedikit sisa tabungan, semoga itu bisa cukup untuk membayar uang sekolah kedua adiknya.
Mendengar jawaban kakaknya, Gery terlihat merasa bersalah. Lagi-lagi ia menyusahkan kakak perempuannya.
"Ayo, kalian bersiap dulu! Nanti takut terlambat, Kakak mau ke kamar kakek dulu!" perintah Ilona dengan lembut. Meskipun usianya masih sangat muda, namun ia mampu beperan sebagai pengganti ibu mereka. Semua tugas yang seharusnya menjadi tanggung kawab orang tuanya, kini beralih ke pundaknya. Ilona tak pernah mengeluh sedikit pun.
"Kami sudah siap, Kak. Kalau begitu kami pergi dulu ya, Kak."Gery langsung meraih tasnya sebelum mencium telapak tangan kakak cantiknya itu, diikuti oleh Ricky.
"Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut!" Ilona memberikan pesan terakhirnya.
Gery harus segera berangkat karena ia harus ke sekolah adiknya dulu.
Setelah keberangkatan kedua adiknya, Ilona membawa nampan berisi bubur yang dibuat olehnya menuju kamar sang kakek.
"Kek, makan dulu!" Ilona membangunkan kakek Banu.
"Iya," Pria tua itu lantas membuka matanya.
Ilona mengambil kursi kayu yang terletak di pojok untuk ia duduki.
"Kakek sudah minum obat mag nya?" Ilona ingin memastikan.
"Sudah, tadi setelah sholat subuh. Sayamgnya kakek malah ketiduran" Pria tua berusia tujuh puluh tahun itu menganggukkan kepalanya. Dengan gerakan perlahan ia menyibak selimutnya, lalu membenahi posisinya untuk bangkit, duduk setengah berbaring.
"Lona suapin ya." Ilona mengaduk bubur dalam mangkuk yang dipegangnya. Tampak asap.masih mengepul.
"Kakek bisa sendiri, kamu juga harus sarapan dan siap-siap ke kampus!" Kakek Banu tak ingin merepotkan cucunya.
"Lona sudah sarapan, Kakek jangan bicara seperti itu, Lona tidak merasa direpotkan." Ilona tersenyum. Sudah menjadi kewajibannya berbakti kepada kakeknya yang sejak kecil ikut mengasuhnya. Dulu ayah dan ibunya sangat sibuk sehingga jarang ada di rumah. Kakeknya yang pengangguran kala itu selalu mendampingi Ilona, menyiapkan bekal sekolah dan mengantar jemputnya ke sekolah.
"Maafkan kakek yang selalu merepotkanmu." Kakek Banu menatap cucunya. Sejak dulu ia merasa selalu merepotkan anak cucunya.
"Sudahlah, Kek. Sekarang kakek makan dulu."
Kakek Banu meraih mangkok di tangan cucunya, ia menolak untuk disuapi karena merasa baik-baik saja.
***
Hanya sedikit mahasiswa yang mau berteman dengan Ilona karena mereka menganggapnya tak selevel. Di kampus elit itu Ilona terkucilkan. Ditambah lagi bukan mahasiswa yang aktif karena pulang kuliah ia segera bekerja. Akibat kesibukannya bekerja ia tak memiliki kesempatan bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Kali ini pun ia memutuskan untuk pergi ke tempat Carissa. Ia sudah memantapkan hatinya menerima tawaran teman SMAnya untuk menjadi caddy, ia lakukan profesi ini demi keluarganya, ya demi mereka agar bisa hidup lebih baik. Ilona ingin melihat Gery melanjutkan sekolahnya, ia juga ingin Ricky mendapatkan kehidupan yang layak , dan tentu saja ia juga ingin menjamin kesehatan kakek serta ibunya.
Dengan tergesa, Ilona berjalan menuju halte. Kemana-mana ia selalu menggunakan kendaraan umum. Ia tak berani meminta diantar jemput adiknya menggunakan motor karena Gery masih berusia enam belas tahun.
Sebuah mobil melaju kencang di dekatnya.
Cekitt
Gadis yang memakai blouse motif polkadot itu tampak panik dan kaget karena mobil tiba-tiba mendadak mengerem.
Ilona mengelus dadanya.
"Maaf, Mbak , mbak tak apa-apa?" Sang pengemudi turun menghampiri Ilona untuk memastikan kondisi gadis itu.
Ilona menggeleng.
"Maaf saya terburu-buru karena harus ke rumah sakit." Pria itu sepertinya tengah dilanda masalah.
"Tidak apa-apa, Mas. Saya baik-baik saja. Saya juga minta maaf karena berjalan tidak fokus." Ilona merasa kejadian dirinya hampir tertabrak bukan salah si pengemudi, melainkan karena dirinya sendiri.
Usai saling bermaafan, si pria berkemeja warna krem itu kembali masuk ke dalam mobil mewahnya meninggalkan Ilona yang kini kembali melanjutkan langkahnya menuju halte. Ia menanti kedatangan bus yang akan mengantarnya menuju alamat yang diberikan oleh Carissa.
***
Bersambung