Bab 7. Pelakor tidak tahu Diri

1012 Kata
Mutia sontak berdiri tegak menyambut kedatangan sang Nyonya rumah. Wanita itu pun tersenyum menyeringai. Sementara anak berusia lima tahun berjenis kelamin perempuan hanya duduk tanpa melakukan apapun. "Aku selingkuhannya Mas Antoni," ujar Mutia dengan penuh rasa percaya diri. Bella tersenyum hambar lalu melanjutkan langkahnya. "Aku tau," jawabnya singkat lalu duduk di sofa yang berbeda dengan Mutia. "Berani sekali kamu datang ke rumah ini? O iya aku lupa, pelakor mana ada rasa malu. Jadi gundiik suami orang aja kamu gak malu, 'kan?" Mutia seketika mengerutkan kening dengan kedua tangan mengepal sekaligus merasa heran. Dari mana wanita itu tahu bahwa dirinya adalah selingkuhan Antonio? Bukankah ia dan pria itu selalu bermain rapi dan tidak ada satu orang pun yang mengetahui prihal hubungan mereka? Satu hal yang membuat Mutia semakin merasa bingung, bagaimana bisa wanita itu masih bersikap tenang setelah mengetahui perselingkuhan suaminya sendiri? "Sial! Kenapa dia bisa setenang ini berhadapan sama aku selingkuhan suaminya? Seharusnya dia jambak aku atau maki-maki aku, gitu?" batin Mutia merasa tidak habis pikir. "Sekarang cepat katakan apa tujuan kamu datang ke sini?" Bella mengulangi pertanyaannya dengan begitu santai. "Selain untuk mengenalkan diri sebagai selingkuhan suamiku, apa ada hal lain lagi yang ingin kamu lakukan?" "Kamu gak marah sama aku karena aku udah ngerebut suami kamu?" tanya Mutia dengan wajah datar. Bella tidak menjawab pertanyaan wanita itu, tatapan matanya beralih kepada anak perempuan yang sedari dari hanya terdiam seraya mendengarkan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Sayang sekali jika anak sekecil itu harus mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar. "Siapa nama anak kamu?" tanya Bella datar. "Aliana," jawab Mutia seraya mengusap kepala sang putri. Bella tersenyum kepada anak itu. "Aliana, kamu mau bermain di luar sebentar? Bilang sama Om yang ada di luar itu, Tante yang nyuruh kamu buat main sama dia, mau?" pinta Bella seraya menunjuk wajah Ryan yang tengah berada di halaman. Tidak ada alasan untuknya membenci anak ini, meskipun Aliana lahir dari wanita yang paling ia benci di dunia ini, tapi akan tidak adil untuk anak itu jika kemudian dia menjadi pelampiasan amarahnya. Seorang anak tidak dapat memilih ingin dilahirkan dari rahim siapa. Jika Aliana diperbolehkan untuk memilih, mungkin anak itu tidak ingin dilahirkan dari rahim seorang pelakor. "Mau, Tante," jawab Aliana seraya tersenyum lebar lalu bangkit dan menuruti apa yang diperintahkan oleh Bella. Anak itu berlari keluar lalu menghampiri Ryan. Setelah memastikan Aliana bermain dengan riang di luar sana, Bella kembali menatap wajah Mutia dengan tatapan dingin. "Marah? Buat apa aku marah, Mutia? Apa kamu pikir, kamu udah berhasil ngerebut suamiku hanya karena kamu udah kasih dia anak?" Mutia seketika mengerutkan kening. "Tidak, Mutia. Kamu itu tak lebih dari toilet umum yang hanya digunakan saat suamiku lagi di luar," tegas Bella penuh penekanan. "Dasar kurang ajar," sahut Mutia dengan kedua tangan mengepal. "Kalau aku saja kamu sebut kurang ajar, lalu panggilan apa yang pantas buat pelakor kayak kamu? Jalaang? Wanita murahaan? Atau, gundiik?" "Ceraikan Mas Antoni secepatnya, aku yakin kamu tak mau berbagi suami sama wanita lain." "Kamu salah, Mutia. Aku gak keberatan berbagi suami sama kamu," jawab Bella membuat Mutia seketika tercengang. "Aku tak akan pernah menceraikan suamiku, dan kamu ... kamu akan menjadi gundiik selamanya, jangan harap kamu bisa jadi Nyonya besar di rumah ini." Wajah Mutia seketika memerah menahan rasa amarah. Kepalan tangannya pun kian membulat, bola matanya nampak memerah dan berair. Wanita berambut pendek itu menatap tajam wajah Bella penuh kebencian. Bukankah Bella yang seharusnya marah di sini? Mengapa yang terjadi malah sebaliknya? Apa wanita itu sedang berakting sama halnya ketika dia sedang bermain film? Mutia seketika memalingkan wajahnya ke arah lain. Menurutnya, Isabella pantas mendapatkan penghargaan sebagai artis terbaik karena aktingnya benar-benar luar biasa. "Kamu pantas dijuluki sebagai artis terbaik, Bella. Kamu bahkan mendalami peran kamu sampe ke dunia nyata," sahut Mutia tersenyum menyeringai. "Siapa yang sedang berakting? Aku?" tanya Bella tersenyum lebar. "Aku tak lagi akting, Mutia. Astaga!" "Apa kamu tau Mas Antonio sangat mencintai aku? Dia udah gak cinta lagi sama kamu, Isabella. Apa kamu gak malu terus mengemis cinta sama suami kamu itu?" tanya Mutia mencoba untuk memprovokasi. "Itu bukan cinta, tapi nafsu." "Kata siapa? Dia cinta sama aku, itu sebabnya dia--" "Menjadikan kamu selingkuhannya, begitu?" sela Bella bahkan sebelum Mutia menyelesaikan apa yang hendak ia sampaikan. "Kalau Mas Antoni benar-benar mencintai kamu, dia gak akan menjadikan kamu selingkuhannya. Kalau dia udah gak cintai sama aku, mungkin dia udah menceraikan aku sejak lama." Kedua tangan Mutia seketika mengepal sempurna. "Dengarkan aku, Jalaang murahaan. Aku gak akan menceraikan suamiku dan kamu--" Bella menahan ucapannya seraya menatap tajam wajah Mutia. "Kamu akan tetap jadi gundiik, toilet umum. Hmmm! Apa lagi ya namanya?" Bella kembali menahan ucapannya seraya tersenyum menyeringai. "Pokoknya, jangan pernah mimpi buat jadi Nyonya Antonio karena hanya ada satu wanita yang memiliki gelar itu yaitu aku, istri sahnya. Paham?" Ucapan terakhir Bella sebelum akhirnya berdiri dan hendak melangkah meninggalkan ruang tamu. "Apa kamu mau tau rahasia besar yang selama ini disembunyikan sama suami kamu, Nyonya Isabella yang terhormat?" seru Mutia membuat Bella sontak menghentikan langkahnya lalu kembali memutar badan juga menatap wajah Mutia santai. "Tak perlu, aku tak penasaran sama rahasia yang disembunyikan sama suamiku. Kamu simpan aja rahasia itu buat diri kamu sendiri," jawab Bella tersenyum menyeringai. "Apa kamu tau, tak ada yang namanya rahasia antara suami istri." Bella kembali melanjutkan langkahnya. Ingin rasanya ia mencabik-cabik wajah sang pelakor yang terkesan tidak tahu diri itu. Ingin rasanya ia menjambak rambutnya, menghantam wajahnya bahkan menghabisi nyawanya. Namun, Isabella berusaha sebisa mungkin untuk menahan diri, menekan emosinya dalam-dalam demi sebuah harga diri yang harus ia jaga dan pertahankan. Selain itu, kekerasan bukanlah cara satu-satunya untuk membalas sebuah kedzaliman. Isabella sudah menyiapkan pembalasan yang lebih menyakitkan yang tidak akan pernah dilupakan oleh wanita itu nantinya. Sementara Mutia, wanita itu tidak akan pernah menyerah sebelum istri sah dari pria bernama Antonio itu bersedia melepaskan gelarnya sebagai Nyonya Besar di rumah ini. Bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi demi sang putri yang sebentar lagi akan menginjak bangku sekolah. "Kamu tau kenapa kamu bisa keguguran dua tahun yang lalu?" tanya Mutia tersenyum menyeringai membuat Isabella kembali menahan gerakan kakinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN