Keesokan paginya nampak seperti biasa untuk Gressa. Membereskan rumah, menyiapkan makanan untuk papanya, dan berangkat bekerja untuk mencari pundi-pundi uang untuk bertahan hidup.
“Gressa!”
Suara itu berasal dari depan rumah Gressa.
Gressa yang sedang merias dirinya pun terperanjat kaget karena suara yang sangat familiar di telinganya itu.
Agam tersenyum polos saat melihat Gressa keluar dari rumahnya dengan wajah yang masam. Lelaki itu tahu bahwa Gressa sedang kesal kepadanya karena suaranya yang terlalu keras saat memanggil tadi.
“Merasa nggak ada dosa ya?” sindir Gerssa masih dengan wajah yang sama.
Agam semakin meringis lebar, “Maaf kali Gress, kan niat aku baik manggil kamu.”
“Niat baik maksud kamu? Hey, memanggil dengan cara seperti tadi menurut kamu baik? hampir lepas jantungku ini dari tempatnya,” omel Gressa. Namun, tidak membuat Agam takut, justru lelaki itu semakin terbahak sampai membuat perutnya merasakan kram.
“Bahagia kau?” tanya Gressa sembari memutar bola matanya malas.
“Udah lah jangan galak-galak, lebih baik ayo kita berangkat,” ucap Agam.
Gressa menghela napasnya pelan, “Tunggu aku mau ngambil tas dulu.” lalu gadis itu pun masuk kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil tas yang biasanya dia bawa bekerja. Sebelum pergi, tentu saja Gressa berpamitan dengan Estu.
“Sudah?” tanya Agam saat Gressa kembali.
“Papa kamu lagi tidur?” tanya Agam sembari melihat ke dalam.
“Enggak, tapi tadi aku udah sekalian bilang kalo aku mau berangkat sama kamu,” jelas Gressa membuat Agam mengangguk paham.
“Oke terima kasih,” ucap Agam.
Gressa mengangguk dengan senyuman singkat, “Ayo.” Lalu ke duanya berjalan beriringan.
Di tengah-tengah perjalanan sangatlah hening. Agam ingin membuka pembicaraan, tetapi lelaki itu tidak tahu ingin memulainya dari mana.
“Gressa.”
“Agam.”
Keduanya bersuara secara bersamaan membuat Agam salah tingkah.
“Kamu duluan,” ucap Agam sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Lelaki yang mempunyai tubuh tinggi sedikit kurus itu sedari tadi menahan senyumnya agar tidak lolos dari bibirnya yang tipis.
“Kamu aja duluan,” ucap Gressa yang masih nampak tenang.
“Emm, tadi kamu udah sarapan?” tanya Agam dengan menahan senyum malu-malunya.
Gressa menatap Agam lalu gadis itu tersenyum, “Udah kok, tadi pake roti.” Keheningan terjadi beberapa saat. “Kamu udah sarapan ‘kan? Kok muka kamu pucet banget sih?” tanya Gressa sembari melemparkan tatapan penuh curiganya.
“Hah, muka aku pucet?” Agam menunjuk wajahnya sendiri dengan kedua mata yang melotot kaget. “Tadi aku udah sarapan kok,” jelasnya.
Gressa mengangguk paham, “Kalau belum makan, nanti mampir dulu ke restoran tempat aku kerja. Kamu bisa ambil jatah makan siangku di sana,” ucap Gerssa.
Agam menggeleng, “Mana bisa begitu. Itu jatah kamu, masa iya mau aku ambil. Aku tadi udah sarapan kok, beneran dah.” Agam berucap sangat serius agar membuat Gressa percaya.
Akhirnya Gerssa menganggukkan kepalanya, “Ya udah iya. Nanti pas kerja hati-hati ya, jangan terburu-buru. Pelan yang penting pekerjaan kita rapi dan nggak merugikan orang lain,” ucap Gressa dengan senyum tipisnya.
Senyuman itu bagaikan energi tambahan untuk Agam melakukan pekerjaanya hari ini. Senyum yang selalu dia lihat bila bersama dengan Gerssa. Sangat menenagkan dan sangat membuatnya bahagia.
“Terima kasih. Aku pasti akan bekerja lebih hati-hati.”
Keduanya kembali diam dan suasana yang tercipta kembali hening. Diam-diam Agam mengamati Gerssa dari samping. Meskipun wajah Gerssa hanya terpoles dengan bedak bayi, tetapi kecantikan gadis itu begitu terpancar dengan jelas.
Kulit Gerssa yang putih dan lembut, membuat Agam ingin selalu menyentuhnya. Namun, lelaki itu sadar diri, pekerjaanya yang menguras tenaga dan menggunakan otot membuat tangannya menjadi kasar. Agam takut jika telapak tangannya yang sangat kasar itu bisa melukai permukaan kulit Gerssa yang begitu halus seperti terawat.
“Agam!”
Suara yang terdengar melengking di telinga itu membuat langkah Agam dan Gressa terhenti.
Seorang gadis berwajah imut dan berpakaian minim sedang berdiri di depan mereka berdua dengan senyum yang mengembang.
“Dibalas dong Gam sapanya,” ucap Gressa disertai unsur godaan.
Agam berdecak kesal dengan wajah yang semakin masam. Lelaki itu sangat tidak suka sekali dengan gadis di depannya itu.
“Kamu kenapa sih?” tanya Gressa saat melihat Agam tidak kunjung membalas sapaan Alunika.
Gadis berwajah imut dan selalu berpakaian minim itu bernama Alunika. Sifatnya yang ceria dan cenderung berisik terkadang sangat mengganggu Agam. Alunika memang mencintai Agam sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan. Kala itu Alunika sedang berkeliling saat pertama kali dia tiba di komplek perumahan tempat Agam tinggal dan tidak sengaja keduanya bertabrakan.
“Ihhh Agam, kenapa Lika-nya dicuekin sih,” ucap gadis itu menggerutu kesal. Bibirnya sudah mengerucut lucu persis seperti moncong bebek.
Agam mengusap wajahnya frustasi. Rasanya malas sekali meladeni Alunika yang pasti tidak akan ada ujungnya.
“Kamu ngapain sih ada di sini?” tanya Agam dengan nada yang tidak suka.
Wajah Alunika semakin terlihat sedih, “Emangnya kenapa sih? Agam kan my baby honey sweety-nya Lika, salahkah kalau Lika mau ketemu sama Agam?” tanya gadis itu sembari menatap Agam dengan wajah yang sedih.
Sedari tadi Gressa hanya bisa menahan senyumnya saat melihat wajah Agam semakin terlihat memerah karena menahan kesal.
“Agam, Lika, aku pergi dulu ya, sepertinya kalian membutuhkan waktu berdua,” ucap Gressa lalu gadis itu melenggang pergi.
Agam berdecak kesal saat tidak berhasil menahan pergelangan tangan Gressa. Lalu dia beralih menatap Alunika yang semakin tersenyum saat menatapnya.
“Lebih baik kamu pulang deh. Aku mau kerja,” ucap Agam sedikit pedas.
Seorang Alunika tidak akan pernah menyerah sampai di situ saja. Justru gadis itu semakin gencar mendekati Agam meskipun reaksi lelaki itu selalu menyakiti perasaannya. Entah mengapa sosok Agam lelaki yang sederhana dan tidak terlalu tampan, tetapi manis membuatnya terpikat.
“Agam kenapa sih setiap kali Lika deketin pasti parah-marah.”
Agam menghela napasnya kasar, “Karena kamu itu menyebalkan. Pakaian kamu yang minim itu mengganggu penglihatan aku. Apa tidak ada pakaian lain selain itu? tidak sepantasnya seorang wanita mempertontonkan auratnya apalagi sampai terlihat lekuk tubuhnya seperti kamu.”
Alunika terdiam. Ucapan Agam seperti besi panas yang menikam hatinya secara bebas. Sungguh, Alunika adalah gadis biasa yang mempunyai batas kesabaran yang luar biasa. Pakaian luarnya memang tidak mencerminkan dia adalah gadis baik-baik, tetapi di dalam hatinya tersimpan kelembutan yang sangat tulus.
Alunika berasal dari kota, yang pindah ke komplek biasa hanya karena tugas papanya yang ada di sekitar komplek itu. Alunika merupakan gadis yang berada, semua kebutuhannya terpenuhi dengan sempurna. Itu lah mengapa Alunika tumbuh menjadi gadis yang manja.
“Lebih baik kamu pulang sebelum Mama kamu melihat kita sedang mengobrol berdua,” ucap Agam lalu lelaki itu melenggang pergi.
Alunika masih diam di tempatnya, menatap punggung Agam yang semakin menjauh. Gadis itu menghela napasnya pelan saat kehadirannya lagi-lagi ditolak mentah-mentah oleh lelaki yang dia cintai.
Keluarganya sangat tidak menyukai Agam, karena ekonomi lelaki itu yang terbilang sangat pas-pasan. Itu lah mengapa membuat Alunika semakin dilema. Sudah ratusan kali dia mencoba untuk melupakan Agam, tetapi nama dan bayang-bayang lelaki itu selalu saja menghantuinya.
Setelah dirasa Agam telah pergi jauh, Alunika memutuskan untuk pulang ke rumahnya dengan hati yang kembali kecewa. Namun, wajahnya sangat pandai bersandiwara. Alunika kembali tersenyum lebar dan melangkah dengan ceria.