Bab 7. Tumbal

1024 Kata
Tiara mendengus kesal. Suaminya ini benar-benar tidak memiliki perasaan. Selalu dan selalu, Bagus selalu saja mengatakan sesuatu yang menohok tanpa memikirkan bagaimana perasaanya. Namun, dia akan berusaha untuk bersikap sabar. 'Hanya satu tahun, Tiara. Kamu hanya perlu bersabar selama satu tahun ini. Setelah itu, kamu akan terbebas dari mahligai tanpa cinta yang menyakitkan ini,' Tiara kembali berucap di dalam hatinya. "Cepat bereskan pakaian kamu sebelum Ibu masuk ke sini," pinta Bagus dengan wajah datar hendak keluar dari dalam kamar. "Pakaian ini harus aku simpan di Mana, Mas?" tanya Tiara merasa bingung. "Ya di lemari 'lah, masa di kamar mandi," sahut Bagus sinis seraya berjalan meninggalkan kamar. Tiara lagi-lagi mendengus kesal. "Dasar suami tidak punya hati. Tak bisa apa dia menjaga perasaan istrinya sedikit saja," decak Tiara seraya menyeret koper miliknya ke arah di mana lemari berukuran besar berada. "Siapa yang tidak punya hati, Tiara?" tanya Laila tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar lagi-lagi mengejutkan Tiara. "Hah? Eu ... itu ... anu, Bu," jawab Tiara terbata-bata tidak tahu harus berkata apa. Laila seketika duduk di tepi ranjang seraya menatap wajah menantunya dengan tatapan mata sayu. "Ibu tahu pasti sulit untuk kamu menjalani pernikahan tanpa cinta bersama putra Ibu. Perjodohan ini pun dilakukan secara tiba-tiba," ucap Laila membuat Tiara seketika merasa tertegun. "Tapi Ibu berharap kamu bisa bersabar dalam menghadapi sikap dan sifat Bagus. Ibu yakin, lambat laun dia akan mencintai kamu." Tiara seketika menunduk sedih. "Apa Ibu tahu kalau sebenarnya Mas Bagus sudah memiliki seorang pacar?" tanya Tiara tidak berani menatap wajah ibu mertuanya. "Maksud kamu, si Dona?" Tiara menganggukkan kepalanya pelan. "Hmm! Kamu tak usah khawatir, hubungan mereka sudah berakhir. Ibu yang meminta Bagus untuk memutuskan hubungannya dengan wanita itu," jawab Laila semakin sayu dalam menatap wajah sang menantu. "Ibu memang kurang suka sama dia, Tiara. Sama gaya pacaran mereka pun, Ibu tak suka." 'Tidak, Bu. Mereka belum putus sama sekali, suamiku dan si Dona masih berhubungan sampai sekarang," batin Tiara tanpa berani mengatakannya secara langsung. "Apa kamu belum sempat mengeluarkan pakaian kamu dari dalam koper?" tanya Laila seketika bangkit lalu berjalan menghampiri. "Ibu bantu kamu rapikan pakaian kamu ya. Jangan sungkan lho sama Ibu. Anggap saja Ibu ini seperti Ibu kandung kamu sendiri." Tiara menganggukkan kepalanya seraya tersenyum ramah. Dia benar-benar merasa beruntung karena memiliki ibu mertua yang baik hati seperti Laila. Di saat suaminya bersikap sinis terhadapnya, masih ada wanita paruh baya ini yang lebih menghargai juga menguatkannya. *** Malam hari tepat pukul 20.00, Bagus baru saja pulang usai bekerja seharian di kantor. Kepulangan Bagus yang sangat terlambat itu tentu saja mendapatkan kritikan pedas dari Laila ibundanya. Wanita paruh baya itu nampak menatap tajam wajah sang putra yang baru saja tiba. "Dari mana saja kamu jam 8 malam baru pulang, Gus?" tanya Laila seolah mewakilkan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh Tiara. "Memangnya kantor kamu buka sampai malam begini?" "Saya habis kerja lembur, Bu," jawab Bagus berbohong tentu saja. Sebenarnya, dia menghabiskan waktu selama beberapa jam bersama Dona kekasihnya. "Kamu tidak habis bertemu sama si Dona, kan?" Laila kembali bertanya merasa curiga. "Ingat, Gus. Kamu itu sudah punya istri. Kamu harus bisa menjaga perasaan istri kamu, Tiara itu dewa penolong kita. Kalau tak ada dia, bagaimana kita bisa membereskan kekacauan yang di buat sama Ayah kamu?" Bagus menghela napas kesal seraya meletakan tas kerjanya sembarang di atas meja ruang tamu. "Iya, Bu, iya ... saya mengerti dan saya paham. Tiara adalah orang yang telah menyelamatkan keluarga kita. Karena kelakuan Ayah, saya yang menjadi tumbalnya. Andai saja Ayah tidak menggelapkan uang perusahaan Ayahnya Tiara, mungkin saya tidak perlu menikahi wanita yang tidak saya cintai," tegas Bagus penuh penekanan. "Ibu minta kamu perlakukan Tiara dengan baik. Ibu tahu kamu tidak mencintai dia, tapi Ibu yakin lambat laun perasaan cinta itu akan tumbuh di hati kamu, Tiara wanita yang baik ko," sahut Laila memberi nasehat. "Tidak seperti si Dona mantan pacar kamu itu." "Cukup, Bu. Jangan pernah membanding-bandingan Dona dengan Tiara. Mereka itu 2 wanita yang berbeda," pinta Bagus merasa kesal. "Saya akan mencoba untuk mencintai Tiara, meskipun saya tidak yakin rasa cinta itu akan benar-benar hadir di hati saya," decak Bagus segera berjalan menuju kamar miliknya lalu membuka pintu dan masuk ke dalamnya. "Ibu apa-apaan sih? Saya sudah mengikuti apa yang dia inginkan, tapi masih saja membanding-bandingkan Dona dengan Tiara," decak Bagus seraya melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Laki-laki itu menjatuhkan tumbuhnya di atas ranjang. Kedua matanya nampak menatap langit-langit kamar. Mengapa tidak ada yang mengerti perasaanya. Harus meninggalkan wanita yang dia cintai dan menikahi wanita asing adalah hal yang sangat menyakitkan. Baik istrinya maupun ibunya sendiri, bersikap seolah dia adalah laki-laki yang paling jahat di dunia ini tanpa memikirkan bagaimana perasaanya. Bagus benar-benar larut dalam lamunan panjangnya, hingga suara pintu kamar mandi yang dibuka seketika memecah keheningan. Laki-laki itu sontak menoleh ke arah pintu di mana Tiara keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya membalut tubuhnya menggunakan handuk berwarna putih. "Mas Bagus!" Tiara sontak berteriak merasa terkejut lalu membalikan tubuhnya. Sementara Bagus bergeming menatap tubuh istrinya seraya menelan ludahnya kasar. Walau bagaimana pun dia adalah laki-laki normal. Ada gejolak aneh yang terasa mengusik relung jiwanya di dalam sana. "Keluar dulu, Mas. Aku mau pakai baju," pinta Tiara kembali memasuki kamar mandi lalu menutup pintunya. Bagus seketika bangkit seraya mengusap wajahnya kasar. "Astaga, Tiara. Kalau mandi itu ya bawa baju ganti ke kamar mandi," decak Bagus, jantungnya seketika berdetak kencang tatkala membayangkan tubuh molek istrinya. "Bisa tolong ambilkan pakaian aku di lemari, Mas? Aku lupa bawa pakaian ganti," pinta Tiara dari dalam kamar mandi. "Pakaian kamu di mana?" Tanya Bagus datar. "Ya di lemari 'lah, masa di kamar mandi," jawab Tiara mengatakan hal yang sama persis seperti apa yang diucapkan oleh suaminya pagi ini. Bagus berdiri tegak lalu berjalan ke arah lemari dengan wajah kesal. "Kamu mau pakai baju yang mana, Tiara?" tanya Bagus mulai membuka pintu lemari dan menatap pakaian istrinya yang sudah tertata rapi di dalam sana. "Yang mana saja, Mas! Cepat, keburu dingin lho," Tiara kembali berteriak dari dalam kamar mandi. "Jangan lupa pakaian dalamnya juga ya." Bagus seketika bergeming. "Pakaian dalam? Astaga!" gumam Bagus jantungnya seketika berdetak kencang. "Apa dia sudah gila, saya di suruh memegang pakaian dalam wanita?" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN