Keputusan

1377 Kata
“Tiranti butuh waktu, Eyang.” “Oh iya gak papa, kamu butuh waktu ya? emanng sih pernikahan itu sekali seumur hidup. Makannya jangan salah langkah. Eyang Cuma terlalu berharap lebih sama kamu, Eyang mau titipin cucu kesayangan Eyang sama kamu karena kalian bisa saling menjaga. Yaudah, Eyang mau tidur kok, kamu mending berangkat aja sana.” Percakapan antara dirinya dan Eyang membuat Tiranti tidak bisa tidur semalaman. Teringat jelas bagaimana kecewanya Eyang Dira padanya. Pernikahan bukanlah hal yang mudah, Tiranti masih 18 tahun dan umur mereka terpaut jauh, Tiranti juga tidak mengenalnya. Malam itu, berakhir dengan Tiranti yang tidur lebih malam hingga bangun pun terlambat. Namun, ini dua hari lagi dirinya ujian nasional. Tiranti harus kembali focus. Saat sudah siap, Tiranti keluar kamar dan melangkah menuju dapur. Di sana, Tiranti melihat Mbak Enik: Kepala pelayan. “Mbak, kirain masih di rumah sakit.” “Hmm, diminta Ibu Sepuh buat pulang, katanya dia mau berduaan dengan cucunya.” Pembantu itu menatap tajam pada Tiranti. “Mbak kenapa sih? tiranti ada salah ya?” hendak makan pun jadi tidak nafsu, bertambah sudah beban pikirannya. “Mbak gak biasanya gitu sama Tiranti.” “Ya kamu pikir aja, Mbak kasihan lihat Ibu Sepuh yang asuh kamu sejak usia kamu kecil loh. Terus dia minta kamu nikah sama cucunya, itu bukan musibah, tapi berkah. Kapan lagi kamu jadi istri seorang pengusaha kaya? Tuan Bara juga orangnya baik banget.” “Mbak denger?” “Orang Ibu yang ngeluh, dia khawatir gak bisa liat Tuan Bara nikah dan gak di perempuan yang tepat.” “Memangnya Eyang fikir kalau Tiranti itu adalah wanita yang tepat?” “Ran, kamu dibesarkan sama Ibu Sepuh, dia tau kalau karakter kamu itu baik dan masuk di Tuan Bara. Makannya dia minta itu sama kamu. Udah dikasih hadiah gede, eh malah nolak. Gimana sih.” “Nggak nolak, Mbak, Tiranti Cuma butuh waktu aja.” “Keterlaluan sih kalau nolak, orang kamu dibesarkan sama beliau.” Tiranti tidak bisa mengelak, dia mengambil potongan sandwich itu ke dalam kotak bekal dan berniat sarapan di sekolah. Kotak makan siang itu mengingatkan Tiranti pada Eyang Dira, mereka membelinya sama sama saat ke mall. “Ini belinya yang gede aja, Ran, biar buah buahan juga masuk. Kamu kalau bawa bekel yang banyak.” Memang sudah terlalu banyak jasa yang Eyang Dira berikan padanya. ketika harus berakhir di panti asuhan, tapi sosok itu membawanya. “Tiranti berangkat dulu ya, Mbak.” Melangkah keluar dan melihat Bara yang baru saja keluar dari mobil. “Saya antar ya, Ran.” Sepertinyaa ada yang ingin dibicarakan oleh pria itu, jadi Tiranti mengangguk saja. “Boleh, Mas.” *** “Tentang apa yang dikatakan Eyang semalam….” Bara menggantungkan ucapannya. “Kalau kamu gak mau, gak usah maksa.nanti saya bilang baik baik sama Eyang.” “Kalau Mas sendiri gimana?” “Jujur sih kalau saya belum nemu perempuan yang cocok, selama ini saya juga fokusnya di pekerjaan jadi gak pernah kepikiran buat nikah. Tapu liat Eyang yang berharap saya nikah, saya akan mengikuti keinginannya. Terlebih perempuan itu pilihan Eyang sendiri, saya yakin kalau Eyang tidak akan pernah salah memilihkan pendamping untuk saya.” Masih dalam perjalanan, Bara sengaja memelankan kecepatan mobil supaya bisa bicara dengan serius bersama Tiranti. Kali ini, Bara tidak lagi bertingkah konyol, dia akan bersikap dewasa dan menunjukan sisi prianya. “Menurut pandangan Mas, nikah sama aku gak masalah karena pilihan Eyang?” “Iya, dia tau yang terbaik.” “Kalau keluarga Mas sendiri gimana?” “Emang mereka gimana? Mereka gak akan bisa nentang kalau itu memang pilihan Eyang Dira.” Tiranti diam, tidak ada kata kata yang bisa dia ucapkan lagi. Begitu sampai di sekolah, Bara menarik napasnya dalam. “Jangan banyak pikiran, kamu focus aja pendidikan kamu. Nanti saya yang ngomong sama Eyang ya.” Tiranti mengangguk. Dan anggukan itu membuat jantung Bara berdetak kencang, artinya Tiranti menolaknya bukan? “Terima kasih, Mas,” ucapnya melangkah keluar. Bara menatap sendu pada Tiranti yang perlahan melangkah menjauh. Dia mengusap daadanya sendiri. “Situ yang tenang ya, gak baik juga kalau memaksakan.” Kemudian tatapan Bara turun pada selangkangannnya. Dia menyentil bagian tersebut. “Situ jangan baperan, gitu aja bangun. Malu sama umur,” ucapnya kesal. Sementara itu di sisi lain, Tiranti berlari karena baru sadar kalau dirinya terlambat. “Santai aja, bareng sama ku masuknya ayok.” “Ya ampun, Seno! Bikin kaget aja!” teriak Tiranti ketika melihat sosok tersebut di belokan tikungan. “Kamu belum masuk?” “Belum, nunggu kamu dulu. ayok bareng.” “Kita udah telat loh, nanti pasti kena marah.” “Enggaklah, kan aku mantan ketua OSIS. Semuanya aman,” ucap pria yang kini berjalan di samping Tiranti. “Udah sarapan?” “Belum, ini bawa makan kok.” “Lah, makan dulu aja yuk. Lagian soalnya baru muncul 30 menit kemudian.” “Enggak.” Tiranti menarik lengan Seno yang menghentikan langkahnya. “Udah ayok kita masuk.” Benar saja, guru menghadang dengan tatapan tajam. Namun begitu Seno yang menyapa lebih dulu dan mengatakan alasan terlambat, akhirnya mereka diizinkan masuk. Semua orang melihat pada Tiranti yang baru saja masuk bersama Seno. Posisi duduk Seno ada di tengah, sementara Tiranti ada di belakang. “Cie, yang bareng sama Ayang,” goda salah satu teman Tiranti: Puspa namanya. “Apasih, jangan kayak gitu. Nanti ada gossip lagi.” “Tapi yang ini real, Ran.” Berdehem sebelum berbisik. “Aku tadinya gak mau bilang hal ini, tapi aku khawatir kamu langsung pulang. Sebenarnya, Seno berencana buat nembak kamu hari ini.” Mata Tiranti membulat. Apa benar? *** Sebenarnya, Tiranti juga menaruh rasa kepada Seno. Tapi dia tidak ingin mengecewakan Eyan Dira juga. Satu satunya cara untuk menjaga hati Seno dan membuat hubungan mereka terjaga adalah dengan mengatakan kalau dirinya harus pulang cepat karena Eyang Dira ada di rumah sakit, jadi rencana menembak Tiranti itu akan terlupakan. Setelah berfikir cukup lama, Tiranti akhirnya memutuskan untuk mengikuti perintah Eyang Dira. Sadar diri kalau dirinya tidak akan bisa sekolah tanpa sosok tersebut. sepulang sekolah, Tiranti langsung kembali ke rumah. pikirnya, Eyang Dira sudah di sana. “Mang, Eyang belum pulang?” tanya Tiranti pada sang satpam. “Belum, Ran. Katanya harus dirawat lebih lama.” Tiranti semakin khawatir. “Tolong bilangin Mang Asep buat antar Tiranti ke rumah sakit ya, Mang.” “Siap, Ran.” Untuk membujuk Eyang, Tiranti membuatkan dulu pudding kesukaan Eyang Dira. Baru berangkat ke rumah sakit dengan hati yang was was, takut Eyang kenapa napa. Ketika sampai di sana, Tiranti mendapati Eyang Dira yang bersandar sambil menonton televise. “Eh, ada Tiranti. Gimana ujiannya hari ini?” “Alhamdulillah lancar, Eyang.” Mendekat dan mencium tangan Eyang Dira. “Tiranti bawain pudding.” “Makasih ya.” “Kata dokter kenapa? bukannya hari ini Eyang bisa pulang?” “Eyangnya ngerasa gak baik baik aja, jadi Eyang mau di sini dulu,” ucapnya sambil focus menatap televise. Mata Tiranti berkaca kaaca merasa diabaikan. “Eyang,” panggilnya lagi, tangan Tiranti menggenggam tangan keriput tersebut. “Eyang, Tiranti mau nikah sama Mas Bara.” “Gimana?” Eyang menaikan nada bicara. “Ekhem. Gimana?” kini bertanya lagi dengan nada suara yang lembut dan terdengar seperti orang yang sakit. “Tiranti mau nikah sama Mas Bara, Tiranti bakalan jaga cucu kesayangan Eyang.” “Terima kasih, Tiranti. Akhirnya Eyang bisa semangat lagi buat nyiapin pernikahan kalian.” Tiranti tersenyum, akhirnya ditatap lagi dengan manik hangat Eyang Dira. “Tapi, apa gak masalah Eyang? Tiranti bukan dari kalangan orang kaya, bukan turunan seorang terpandang juga. Mas Bara itu cucu pertama Eyang kan? Tiranti gak bisa kasih apa apa sama keluarga Eyang.” “Bisa. dengan kamu yang mengandung anak Bara dan lahirkan anak pertama Bara, itu udah lebih dari cukup.” Mata Tiranti membulat, tapi akhirnya dia mengangguk juga. “Iya, Eyang.” Dan tanpa diketahui oleh Eyang Dira maupun Tiranti, sedari tadi Bara mendengarkan dari kamar mandi. Senyumannya merekah, bahkan Tiranti tidak akan menunda nudan lagi momongan dengannya. “Yes!” melompat dan… BRUK! Bara jatuh karena lantainya licin. Untungnya, kamar mandi itu kedap suara. Eyang Dira dan Tiranti bertukar tatapan bingung. “Kenapa geter ya, Eyang? Gempa kah?” “Nggak deh, gak ada yang goyang lagi kok.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN