PART 7 - Pertemuan

1832 Kata
"Kenapa kau berkata seperti itu ke Rasaya, Ran?" Jejak telapak tangan Rasaya di pipinya masih terasa sakit. Bukan karena rasa perih di wajahnya, tapi di hatinya. Rasaya tidak pernah menamparnya, betapapun perempuan itu membencinya, Rasaya tidak pernah menyakitinya secara fisik. Tapi tiga puluh menit yang lalu, perempuan itu menatapnya dengan kebencian yang tidak pernah dilihatnya. Tatapan itu membuat Randi sadar betapa perempuan itu membencinya. "Kau sadar apa yang kau katakan tadi bisa menjadi bumerang pada dirimu sendiri, Ran?" tanya Reno. Randi menggeleng pelan. "Aku ingin tahu bagaimana Rasaya melihatku. Kalau aku tidak mengatakan itu, aku tidak akan tahu Rasaya begitu rendah melihatku, Paman. Sekarang aku tahu seberapa besar Rasaya membenciku selama ini." Reno berdiri, melihat Randi dengan sedih, "Aku akan memanggil Rasaya dan menjelaskan semua padanya." "Tidak. Biarkan Rasaya menganggap aku dan Aleene saling mencintai. Aku ingin melihat apa yang ia lakukan padaku, Paman. Kalau Paman menyuruhku untuk mendapat perhatian Rasaya, ini adalah cara yang patut untuk dicoba." "Tapi Paman tidak bisa melihat Rasaya menghinamu seperti tadi. Rasaya - dasar anak itu! Kenapa dia bisa berpikir kau menjalin hubungan dengan adiknya." Reno melihat Aleene yang masih terisak di dekat Helen. "Dan kau, Aleene, Ayah belum memaafkan apa yang kau lakukan. Cepat bawa pacarmu itu ke hadapan Ayah!" "Jangan menyalahkan Yuval, aku yang merayunya, aku yang mengajaknya ke kamarku. Yuval tidak melakukan kesalahan apapun, Ayah." "Darimana kau belajar bersikap seperti ini? Sebentar lagi kau ujian masuk kuliah, bukannya sibuk belajar, kau malah berpacaran dengan laki-laki tidak jelas seperti Yuval itu. Kalau dia benar-benar mencintaimu, dia akan menemui Ayah sekarang." "Ayah, aku mohon jangan melakukan apapun pada Yuval. Aku sangat mencintainya," kata Aleene dengan mata berkaca-kaca, memohon pada ayahnya. Helen mengusap lembut kepala Aleene, "Bawa dulu Yuval pada kami, Ally. Kita akan bicara baik-baik padanya." Aleene mengangguk mengerti lalu memeluk ibunya kembali. Sedangkan Reno masih menatap Randi dengan sedih. Reno ingin memeluk laki-laki yang sudah ia anggap seperti anaknya itu. Mengingat kembali malam dimana Reno memutuskan untuk membawa laki-laki itu ke rumahnya dan merawatnya. Dua puluh tahun yang lalu.... "Pergi! Pergi kau sekarang! Dasar anak haram! Jangan berani kembali ke rumahku. Aku bukan nenekmu!" Rosalind - ibu mertuanya - mendorong anak laki-laki berbaju putih sampai anak itu terjatuh di depan rumah megah itu. Anak laki-laki itu menangis dengan kencang, memegang kaki Rosalind dengan erat. Melihat itu, Helen, istrinya langsung menarik tubuh anak itu dan memeluknya. Tubuh anak itu bergetar, bibirnya pucat dan wajahnya memerah seperti sedang sakit. Mata anak itu terlihat lelah, seperti belum tidur beberapa hari, tubuhnya kotor tidak terawat, dan rambutnya panjang berantakan. "Apa yang Ibu lakukan?" tanya Reno kepada ibu mertuanya yang seorang penulis n****+ terkenal dunia itu. "Anak sialan ini berani datang ke rumahku dan memintaku untuk membiarkannya tinggal di sini. Anak sialan ini! Bisa-bisanya dia datang ke sini setelah apa yang dilakukan ibunya padaku?" Rosalind menatap tajam anak laki-laki yang sekarang berada di pelukan Helen. "Apa kau tahu apa yang dilakukan ibumu padaku? Kau pikir aku bisa menerimamu kembali di rumah ini?" "Mami, tenanglah! Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Siapa anak ini sebenarnya?" tanya Helen kepada ibunya. Rosalind mendekati anak itu dan menarik tubuhnya dari pelukan Helen. Rosalind memukul kepala anak itu ke samping beberapa kali dengan kepalan tangannya. Anak itu jatuh di jalanan. Melihat itu, Reno segera menarik tubuh Rosalind, menjauhkannya dari anak itu. Sedangkan Helen membantu anak itu berdiri. Helen menundukkan wajahnya, merapikan rambut anak itu yang menutupi wajahnya dan menghapus airmatanya. "Anak sialan, apa kau pikir bisa menipuku seperti yang ibumu lakukan dulu? Apa sekarang tubuh ibumu tidak bisa dijual lagi? Aku tidak menyangka p*****r itu menyuruh anaknya untuk mengais ke rumahku meminta bantuan." "Mami!" "Dia anak Diana. Dia anak p*****r itu. Aku sangat membencinya, jadi jauhkan dia dariku sekarang! Jangan biarkan dia ada di hadapanku lagi!" Anak itu menghapus air matanya dengan tangannya yang kecil. "Ibuku sudah meninggal seminggu yang lalu." Perkataan yang diucapkan dengan bibir bergetar anak itu berhasil membuat semua orang terkejut. Rosalind berdiri kaku di samping Reno, seperti berita itu menohok tubuhnya. Sedangkan Helen membekap mulutnya sendiri sambil berusaha menggapai anak laki-laki yang sudah lepas dari pelukannya itu. "Aku tidak punya siapapun lagi untuk dihubungi. Aku tidak punya tempat tinggal, mereka mengambil semua barang-barangku untuk membayar kontrakan. Ibu bilang, aku harus ke sini untuk bertemu dengan Nenek. Ibu bilang kau bisa menjadikanku pelayan atau apapun di sini. Ibu menyuruhku untuk setia kepada keluarga ini sampai mati." Anak itu mendekati Rosalind yang berdiri kaku di samping Reno. "Aku hanya ingin mewujudkan keinginan terakhir ibuku. Ibuku juga ingin aku menyampaikan permintaan maafnya pada Nenek." Helen meraih tangan anak kecil itu dan menatap matanya dalam, "Siapa namamu, Nak?" "Namaku Randi, Tante. Aku anak yang baik. Aku murid terpintar di kelas. Aku tidak pernah membuat masalah. Aku bisa melakukan apapun yang kalian inginkan. Aku akan melakukan apapun untuk keluarga Tante." Anak itu memegang kaki Helen dengan erat, takut Helen menolaknya seperti Rosalind. Karena jika itu terjadi anak itu tidak mempunyai siapapun lagi yang bisa membantunya. "Aku mohon beri aku tempat tinggal. Aku ingin sekolah lagi, Tante." Air mata Helen turun dengan deras, perempuan berhati lembut itu memeluk Randi dengan erat. "Jangan menangis lagi, sekarang tidak akan ada yang berani menyakitimu, Randi." "Pergi! Pergi dari rumahku sekarang!" kata Rosalind dengan wajah berkaca-kaca. "Sampai mati pun aku tidak akan memaafkan ibumu. Jadi jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Rosalind pergi memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Wanita berusia lima puluh tahun itu tampak terpukul dengan berita yang ia dengar. Setelah Rosalind menutup pintu rumahnya, Reno mendekati Randi yang sudah berada di pelukan Helen. "Sekarang, Paman dan Bibi akan merawatmu. Kau tidak perlu khawatir, kami mengenal ibumu dengan baik. Ibumu orang baik, kami tahu. Jangan dengarkan apa yang dikatakan Nenek tadi. Kamu akan aman di rumah kami," ucap Reno menenangkan anak kecil itu. Malam itu Reno membawa Randi ke rumahnya. Anak kecil itu tidak melepaskan tangan Helen di perjalanan. Tangisnya masih tidak berhenti. "Apa kau lapar, Randi?" tanya Helen. Randi mengangguk dengan malu-malu. Mereka berhenti di restoran, memesan makanan untuk Randi. Anak kecil itu makan dengan lahap sampai hampir tersedak. Anak itu bercerita bahwa ia belum makan dari dua hari yang lalu. Mendengar itu, hati Reno terenyuh. Tak bisa membayangkan apa yang sudah dilalui Randi selama ini. Setelah menghabikan semua makanan yang Reno pesan, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sampai di rumah, Reno melihat Rasaya duduk sendirian di depan rumah dengan ponsel di tangannya. Rasaya berdiri ketika melihat mobil ayahnya datang. Perempuan kecil itu mendekati ayahnya. Langkahnya terhenti ketika melihat Randi. Saat itu pertama kalinya Reno melihat Rasaya bisa menatap seseorang dengan begitu dingin. Reno merasakan Randi ketakutan melihat tatapan Rasaya dan melepaskan genggamannya dari tangan Reno. "Siapa dia Ayah? Kenapa Ayah membawa anak itu ke rumah kita?" "Rasaya, kenalkan ini Randi. Dia akan menjadi kakakmu mulai sekarang. Randi anak yang pintar, dia murid terbaik di sekolahnya," kata ibu Rasaya sambil menyentuh kepala anak laki-laki itu. Rasaya semakin menatapnya tajam, matanya berair, tapi kemarahan jelas terlihat di mata Rasaya. "Randi, mulai sekarang jadilah kakak yang baik untuk Rasaya, dia anak yang manis dan lembut. Ajarilah dia agar bisa sepertimu, menjadi anak pintar dan mandiri. Sudah saatnya Rasaya tidak bergantung dengan kami lagi." "Aku tidak butuh kakak. Aku tidak mau. Aku tidak mau dia tinggal di sini," teriak Rasaya sambil menangis dan menunjuk Randi dengan tangan kanannya. "Rasaya, Randi bisa menjadi teman mainmu. Kalian bisa sekolah bersama. Randi anak yang baik." "Tidak mau, Mami. Aku tidak mau anak kotor itu tinggal di sini. Aku tidak mau." "RASAYA!" bentak Reno kepada Rasaya. "Ayah tidak pernah mengajarimu bersikap seperti ini kepada orang lain. Randi akan tinggal di sini. Randi akan menjadi kakakmu. Randi adalah anak Ayah dan Mami sepertimu. Bersikaplah baik kepada Randi!" Melihat Rasaya menangis sesenggukan, Reno menyesal telah membentak Rasaya, "Ayah tidak pernah marah pada Rasaya selama ini. Ayah tidak pernah memarahi Rasaya. Apa sekarang Ayah tidak sayang lagi pada Rasaya hingga membawa anak kotor ini ke rumah? Aku tidak mau dia tinggal di sini, Ayah." "Rasaya, Randi tidak punya tempat tinggal selain di sini. Dia anak saudara Mami. Kita satu keluarga, Sayang. Randi adalah keluarga baru kita." Rasaya menggelengkan kepalanya kuat, "Tidak mau." Perempuan itu menatap Randi yang diam menundukkan kepalanya. "Pergi kau dari sini! Pergi!" "RASAYA!" Rasaya melihat ayahnya dengan kecewa, "Kalau Ayah lebih memilih anak itu daripada Rasaya, Rasaya tidak akan tinggal bersama Nenek. Rasaya tidak mau serumah dengan anak itu. Rasaya benci pada kalian semua." Dengan air mata yang membasahi pipinya, Rasaya meninggalkan mereka. Reno melihat kepergian anak satu-satunya itu dengan hati teriris. Reno sadar mereka terlalu memanjakan Rasaya dari kecil. Rasaya tidak pernah suka berbagi, dia selalu ingin menang dari temannya, hingga anaknya itu tidak banyak teman di sekolah. Reno mengkhawatirkan sikap putrinya yang masih kecil itu, ia pikir dengan adanya Randi di rumah bisa mengubah sikap Rasaya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Rasaya semakin tidak suka apapun miliknya disentuh orang lain. Apalagi oleh anak laki-laki bernama Randi. Reno tahu bahkan sejak pertemuan pertama mereka, Rasaya tidak menyukai Randi. Tapi Reno berharap seiring berjalannya waktu, mereka berdua akan saling membantu di masa depan. Randi anak yang bisa ia andalkan untuk menjaga Rasaya. Selama dua puluh tahun ini, Randi tidak pernah mengecewakannya. Jika Reno harus memilih satu laki-laki yang bisa ia percaya untuk menjaga Rasaya, Reno dan Helen setuju kalau orang itu hanyalah Randi. Meskipun Rasaya tidak pernah melihat Randi seperti mereka melihat laki-laki itu. "Randi, aku ingin kau menjaga Rasaya, tapi bukan dengan menyakiti dirimu sendiri seperti ini. Rasaya akan tambah membencimu dengan cara ini. Biarkan aku menjelaskan semuanya pada Rasaya, bahwa kau bukan seperti yang dia pikirkan." "Benar, Kak Randi. Sampai kapan Kakak akan membiarkan Kak Rasaya menghinamu seperti tadi? Aku tidak tahan melihat Kakak terluka seperti tadi." "Ini salahku, aku yang mencintai Rasaya, aku berhak mendapat semua penghinaannya karena berani mencintainya. Jika Rasaya tidak bisa menerimaku mencintai adiknya, ia tidak akan bisa menerimaku mencintainya juga, Paman. Rasaya pikir aku tidak pantas mencintai siapapun. Aku hanya ingin tahu apakah perkataan Rasaya benar, ataukah ia akan berubah pikiran, atau sampai akhir Rasaya tetap melihatku seperti itu." "Kak Randi..." "Randi, jangan berpikir seperti itu, Nak." Randi mencoba tersenyum pada ketiga orang di depannya. Randi tahu mereka mengkhawatirkan Randi. Setelah ini, Rasaya pasti akan melakukan segala hal untuk membuatnya menjauhi adiknya. Apa yang keluar dari mulut perempuan itu akan semakin tajam, tamparan Rasaya akan semakin keras, dan tatapan perempuan itu - Randi tidak bisa membayangkan tatapan Rasaya padanya nanti. Perempuan itu pasti akan melihatnya sangat rendah mulai sekarang. Laki-laki yang dibencinya - laki-laki yang hidup dari rasa kasihan orang tuanya - berani mencintai adik Rasaya yang lima belas tahun lebih muda darinya. Randi bisa membayangkan kemarahan Rasaya padanya. "Aku cukup tahu siapa diriku, Tante. Aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dengan bantuan kalian, kecuali Rasaya. Aku adalah laki-laki yang sanggup melewati sepanjang apapun jalanan berduri hanya untuk mendapat senyumnya." Randi berdiri, berniat meninggalkan rumah utama keluarga itu. "Aku akan mencari celah itu jika memang ada. Meskipun jalan itu menyakitiku sekalipun."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN