Tidak seperti biasa, pagi ini Rasaya bangun dengan senyum lebar. Rasaya segera membersihkan dirinya dan bersiap untuk pergi ke kantor. Rasaya menyapa Bibi Piria yang sedang memasak di dapur dan memeluk wanita itu erat. Membuat Bibi Piria kebingungan dengan perubahan sikap Rasaya. Rasaya juga sengaja keluar rumah, melihat Pak Sapardi sedang mencuci mobilnya. Pak Sapardi sampai menjatuhkan selang air melihat Rasaya tersenyum padanya dengan lebar.
Rasaya duduk di meja makan - orang pertama yang duduk di sana. Reno dan Helen datang, dengan pakaian resminya. Selain ibu rumah tangga, Helen juga sering datang ke kantor neneknya, menggantikannya sejak neneknya memilih tinggal di Belanda. Rasaya baru ingat bahwa tiga hari lagi neneknya akan pulang. Rasaya harus menjemputnya atau neneknya akan memarahinya dan menyebutnya cucu durhaka selama satu minggu.
"Selamat pagi," ucap Aleene sambil menarik kursi di depan Rasaya.
Adiknya itu terlihat bahagia, dengan senyum manis yang menghiasi bibirnya. Rasaya mengerutkan keningnya bingung. Kenapa Aleene terlihat sangat bahagia setelah kejadian kemarin? Dengan jelas Rasaya melihat perempuan itu menangis dan ayahnya membentaknya beberapa kali.
Seperti menjawab pertanyaan Rasaya, laki-laki yang tidak pernah ia duga akan datang ke rumah ini memasuki ruang makan. Randi memakai kemeja biru, berjalan dengan santai dan menarik kursi di samping Aleene. Mereka saling bertukar senyum. Randi menyentuh kepala Aleene dengan lembut beberapa kali. Membuat Aleene mengerucutkan bibirnya dengan kesal karena ulah laki-laki itu.
"Hari ini, Kak Randi akan mengantarku sekolah, kan?" tanya Aleene dengan nada lembut.
Randi mengangguk dengan cepat, "Tentu saja."
Aleene tersenyum lebar lalu mengambilkan makanan untuk Randi. Melihat itu, kedua orang tuanya hanya tersenyum kecil. Sedangkan Rasaya sudah menggenggam erat sendoknya. Menatap dua orang di depannya dengan pandangan menusuk. Kenapa mereka bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Kenapa dua orang itu semakin menunjukkan kemesraan mereka di depannya seperti ini?
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Rasaya menyuarakan pikirannya.
"Aku sedang mengambilkan Kak Randi makanan," jawab Aleene dengan wajah polos.
Tidak puas dengan jawaban Aleene, Rasaya menengok kedua orang tuanya yang tampak tenang, "Ayah, apa arti semua ini?"
"Apa maksudmu, Ra?"
Rasaya menggebrak meja di depannya, "Kenapa Randi masih berada di rumah ini? Seharusnya Ayah mengusirnya setelah apa yang dilakukannya pada Aleene. Kenapa dia masih di rumah ini?"
Reno meletakkan sendoknya, menatap Rasaya dengan tenang, "Kenapa Ayah harus mengusir Randi?"
"Ayah! Ayah lupa apa yang dilakukan laki-laki ini pada Aleene?"
"Ayah rasa tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan. Randi dan Aleene sudah dewasa. Mereka tahu apa yang benar dan salah. Ayah tidak mau ikut campur terlalu jauh dengan hubungan mereka, Rasaya."
Rasaya terbelalak kaget mendengar penjelasan Reno. Ayahnya adalah orang yang tegas dan konservatif, Rasaya yakin ayahnya tidak akan membiarkan anaknya yang masih sekolah menjalin hubungan yang tidak sehat, apalagi dengan pria dewasa seperti Randi. Ayahnya tak mungkin menganggap apa yang dilakukan Randi pada Aleene kemarin hal yang biasa dilakukan anak berumur delapan belas tahun. Tapi sekarang, kenapa ayahnya bisa berpikir seperti itu? Kemana nilai-nilai yang selalu diajarkan ayahnya padanya sejak dulu? Apa selama meninggalkan rumah ini, semua orang berubah termasuk ayahnya sendiri?
"Ayah, jangan bilang kalau ayah menyetujui hubungan mereka?"
Reno menjawab dengan datar, "Apa ada alasan kenapa Ayah harus melarang mereka, Ra?"
Rasaya menggigit bibirnya geram. Tangannya mengepal melihat Randi yang kini menatapnya dengan alis terangkat. Kebencian kembali menyusup ke kepalanya untuk laki-laki itu, kebencian yang lebih pekat daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya. Rasanya seperti semua orang berpihak kepada Randi, tidak ada yang berpihak padanya di rumah ini. Laki-laki itu berhasil membuat semua orang berada di sisinya. Rasanya ia ingin melempar gelas di hadapannya kepada laki-laki itu.
"Demi apapun, Randi berumur tiga puluh dua tahun, Ayah. Umur mereka berjarak empat belas tahun. Aleene masih sekolah, Aleene masih kecil. Aleene tidak pantas menjalin hubungan dengan laki-laki dewasa seperti Randi."
"Lalu siapa yang pantas? Kau merasa lebih cocok dengan Randi daripada Aleene?"
"Ayah!" bentak Rasaya kepada Reno sambil berdiri.
Helen menengahi perdebatan mereka, menarik tubuh Rasaya untuk duduk kembali. "Tenanglah, Raya! Jangan menggunakan emosimu seperti ini."
"Kalau Ayah menjadi Randi, Ayah juga akan tegas memilih Aleene daripada kau, Rasaya. Lihatlah! Di usiamu yang dua puluh enam tahun, kau masih bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Kenapa kau membuat keributan seperti ini di pagi hari?"
"Ya, aku perlu membuat keributan untuk menyadarkan Ayah apa yang salah di sini. Aku bisa mengalah pada keputusan Ayah sebelumnya, tapi bukan kali ini. Ayah telah membuat keputusan yang salah dengan menyetujui hubungan mereka berdua."
Rasaya bisa menerima apapun yang dilakukan Ayahnya, mulai dari membiarkan Randi tinggal rumah ini, membiarkan Randi mendapatkan posisi wakil direktur di perusahaan ayahnya, tapi bukan kali ini. Randi laki-laki yang sudah dewasa, ia pasti menginginkan hubungan serius yang mengarah pada pernikahan. Tidak mungkin Randi menunggu Aleene sepuluh tahun lagi untuk benar-benar siap menikah. Perbedaan umur mereka terlalu jauh dan Rasaya tidak bisa mengorbankan masa depan adiknya untuk menikah dengan laki-laki itu. Rasaya tahu adiknya punya cita-cita yang ingin ia capai sebelum menikah. Aleene dari dulu ingin menjadi dokter. Rasaya akan memastikan tidak ada yang menghalangi cita-cita adik satu-satunya.
Rasaya melihat Helen, orang terakhir yang bisa ia harapkan. Ibunya tidak mungkin menyetujui hubungan mereka berdua, ibunya sudah menyiapkan segala hal untuk masa depan Aleene, termasuk menyiapkan kuliah di luar negeri jika Aleene tidak diterima di perguruan negeri terbaik di Indonesia. "Apa Mami juga berpikir seperti Ayah?"
"Rasaya, Aleene dan Randi saling mencintai. Mami tidak bisa berbuat apapun untuk memisahkan mereka."
Rasaya terlihat putus asa, melihat satu-persatu orang tuanya dengan sedih. "Apa mata kalian semua sudah buta? Randi dan Aleene berbeda 14 tahun, Mi. Kalau Randi memang serius dengan hubungan ini pasti dia sudah merencanakan pernikahan. Umurnya sudah pantas untuk menikah. Dia tidak akan menunggu sepuluh tahun untuk Aleene. Kalau laki-laki itu tidak berpikir sampai pernikahan, laki-laki itu pasti hanya ingin bermain dengan Aleene. Bagaimana jika dia hanya bermain-main, tapi sudah menyentuh Aleene seperti kemarin. Apa kalian tidak memikirkan hal itu? Apa kalian masih tetap membiarkan laki-laki itu jika dia hanya ingin memainkan Aleene?"
Rasaya melirik Randi yang duduk mematung dari sudut matanya. Rasaya tidak peduli jika laki-laki itu terluka oleh kata-katanya. Rasaya tak pernah peduli apa yang laki-laki itu rasakan atas ucapan Rasaya selama ini. Rasaya hanya ingin laki-laki itu tahu bahwa Rasaya tidak akan pernah menerimanya. Baik menjadi kakaknya maupun saudara iparnya.
"Kak Raya, Kak Randi tidak pernah main-main denganku. Kak Randi mencintaiku dengan tulus. Jangan berpikir seperti itu pada Kak Randi. Kak Raya tidak mengetahui apapun soal Kak Randi," bela Aleene yang membuat darah Rasaya semakin mendidih. Semua orang di rumah ini tidak pernah ada yang memihaknya dari dulu.
"Randi tidak pernah bermain-main dengan apa yang ia lakukan, Raya. Randi bukan laki-laki seperti itu. Dia laki-laki yang bertanggung jawab," tambah Helen, melengkapi kebaikan laki-laki itu yang tidak pernah Rasaya rasakan.
"Itu artinya kalian setuju kalau laki-laki ini menikahi Aleene nanti. Aleene masih berumur delapan belas tahun, Mi," ucap Rasaya, berusaha membuka mata kedua orang tuanya meskipun itu terlihat sia-sia.
"Memangnya kenapa? Umur tidak menjadi masalah asalkan mereka saling mencintai, Rasaya." Kali ini Reno membuka suara. Dengan senyum lebar melihat Randi dengan mata bersinar. Ayahnya selalu melihat Randi seperti itu. Seperti Randi adalah laki-laki yang paling berharga di dunia ini untuk mereka. "Dan soal menikah, Randi mapan, ia sudah memiliki semuanya. Randi pintar, mungkin saja suatu saat Randi yang akan menggantikan Ayah yang sudah tua ini. Ayah selalu ingin mempunyai menantu seperti Randi dan sekarang Ayah bahagia karena keinginan Ayah akan tercapai."
Rasaya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Jika pembicaraan ini adalah sebuah pertarungan, ia sudah kalah telak dari laki-laki itu. Rasaya sudah mengeluarkan semua kekuatan dan senjata andalannya, tapi laki-laki itu - yang hanya duduk diam di depannya tanpa mengatakan apapun - berhasil mengalahkannya, sampai tidak ada yang tersisa lagi di sisi Rasaya sekarang. Laki-laki itu selalu diam seperti sekarang, seperti sudah tahu bahwa dirinya akan menang tanpa berusaha melakukan apapun. Sungguh sampai mati pun, kebencian Rasaya tidak akan pernah berkurang pada laki-laki itu.
Dengan senyum cerah, Helen berhasil menjatuhkan Rasaya di tempat yang paling rendah. "Benar apa kata ayahmu. Mami selalu ingin menantu seperti Randi. Mami yakin, Randi bisa memenuhi dan melindungi Aleene. Dan yang paling penting, Mami percaya dengan Randi."
Dengan helaan napas panjang, Rasaya mencoba mengingatkan kedua orang tuanya untuk terakhir kalinya. "Tapi Aleene mempunyai mimpi, Mi. Aleene ingin menjadi dokter. Ia tidak mungkin menikah di umurnya yang sekarang. Menikah hanya menghambat cita-citanya. Bukankah Mami orang yang paling mendukung cita-cita Aleene?"
"Kak, soal cita-citaku itu, aku bisa memikirkannya ulang. Sekarang aku hanya ingin terus bersama Kak Randi."
Rasaya tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menatap tajam Randi yang hanya tersenyum kecil padanya. Bagus, bahkan Aleene ingin memikirkan kembali cita-citanya dari kecil hanya untuk laki-laki itu. Rupanya Aleene sudah tergila-gila pada Randi. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu untuk menggoda adiknya.
"Kak Randi juga tidak ingin buru-buru menikah. Kak Randi masih punya banyak waktu, hubungan kami belum mengarah ke pernikahan. Kak Randi bisa menungguku, jadi Kak Raya tidak perlu khawatir padaku."
"Kalian semua membelanya dan aku akan semakin membencinya. Sampai kapanpun aku tidak akan merestui hubungan kalian." Rasaya menatap adiknya dengan penuh peringatan. "Aleene, kalo kau masih menganggapku sebagai kakakmu, jangan berhubungan lagi dengan sampah ini."
Setelah mengatakan ancaman yang ia tahu tidak akan mereka dengarkan, Rasaya memilih pergi. Rasaya menatap keluarganya satu-persatu, merasa tidak ada yang waras di antara mereka. Dengan langkah kesal, perempuan itu meninggalkan ruang makan. Kalau mereka berpikir Rasaya akan menyerah, mereka salah. Begini lebih baik, karena semua orang melawannya, Rasaya akan mematahkan perkataan mereka satu-persatu hingga mereka memohon agar Rasaya berhenti. Rasaya tidak akan ragu untuk memisahkan Aleene dan Randi dengan cara apapun. Meskipun caranya menyakiti laki-laki itu sekalipun.
Rasaya berjalan dengan sepatu hak tingginya menuju mobilnya, belum sempat ia masuk mobil, seseorang menarik tangannya. Rasaya melihat wajah Randi dari kaca mobil yang gelap.
"Kau tetap akan memisahkanku dari Aleene, kan?" tanya laki-laki itu.
"Aku akan menunjukkan pada keluargaku bahwa mereka salah telah menerimamu di keluarga ini."
Randi tersenyum kecil, seperti ingin menyulut kebencian Rasaya dengan sengaja, "Kau tidak akan bisa melakukannya, karena keluargamu sangat menyayangiku, Rasaya. Aku lebih lama tinggal bersama mereka daripada kau. Aku tahu apa yang dipikirkan ayahmu, apa yang diharapkan ibumu, dan apa yang diinginkan adikmu. Aku lebih mengenal keluarga ini daripada kau, anak pertama keluarga Rezardhi. Mereka akan tetap memilihku daripada kau."
Rasaya membanting pintu mobilnya. Menatap Randi dengan tajam. Selama ini, laki-laki itu menyembunyikan dirinya dengan baik. Rasaya tersenyum miring melihat Randi mulai menunjukkan taringnya. Benar, selama ini ia tak pernah menyentuh Randi karena laki-laki itu selalu bersikap baik padanya. Sekarang, Rasaya tidak akan ragu lagi menghancurkan laki-laki itu.
"Kau memang tidak tahu diri. Kalau kau memang menghormati dan menyayangi orang tuaku seperti yang kau katakan selama ini, seharusnya kau sadar apa yang kau lakukan, Ran." Rasaya melepaskan tangan Randi yang masih memegang tangannya. "Kau harusnya sadar darimana kau berasal. Dasar sampah, b******n tidak tahu diri."
Perempuan itu masuk ke mobilnya, meninggalkan Randi yang terluka oleh kata-katanya.