11. Andai Masih Sendiri

1319 Kata
“Niha, turunlah.” Suara seseorang itu akhirnya membuatku menoleh. Ada Arjuna yang berdiri di belakangku. “P-pak Arjuna.” Aku tergagap. “Pak Heru bohong sama saya?” Arjuna menatap satpam tajam. “I-itu, Tuan–“ “Saya yang memintanya berbohong. Jadi, jangan salahkan beliau, jangan hukum beliau. Saya minta maaf. Salahkan saja saya. Saya hanya tidak mau terus merepotkan Pak Arjuna.” Aku memotong ucapan Pak Heru. “Saya maafkan asal turunlah dari motor. Saya yang akan mengantarmu pulang.” Aku pun menurut. Arjuna memberikan uang kepada pengemudi ojek. Aku makin merasa tidak enak. “Sebagai hukuman karena kamu sudah bohong, ayo saya antar. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.” Aku bernapas panjang, lalu mengangguk. Terpaksa kuikuti langkahnya menuju mobil dan masuk. "Pak, tolong jangan pecat Pak Heru, ya. Beliau bohong karena saya yang meminta." "Tergantung." "Hah? Maksudnya?" "Asal kamu kasih nomor ponsel kamu." Aku pun akhirnya mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari tas. Kembali ponsel itu aku isi daya batreainya. "Nunggu bentar lagi. Baru nanti bisa dinyalakan." “Oke. Sekarang katakan, saya harus mengantarmu ke mana?” tanyanya saat mobil hendak melaju. Aku bingung harus ke mana. Pulang ke rumah, jangan dulu. Aku masih sangat kecewa dengan Mas Aqsal. “Ke rumah teman aja, Pak.” “Kenapa nggak pulang ke rumah?” “Takut dimarahi karena pulang telat. Lagian, saya tadi bisa dibilang kabur dari acara.” “Baiklah.” Mesin mobil dinyalakan, kemudian melaju. “Kamu tinggal di mana sebenarnya?” Ya ampun, pria ini sangat cerewet dan kepo. “Di rumah Mas Aqsal.” Terpaksa aku jujur. “Ooh. Kakimu gimana? Masih sakit?” “Alhamdulillah udah enggak. Tukang urutnya keren.” Arjuna tertawa. “Meski terkesan pekerjaan yang diremehkan, tapi jangan tanya kemampuannya.” Pria itu sangat pandai mencari bahan obrolan. Ada saja yang dibahas dan aku sebisa mungkin mengimbangi. Tiba di depan rumah Asti, mobil berhenti. “Yakin ini rumah temanmu? Nggak bohong lagi?” “Iya, sumpah. Nasib saya, ya. Sekali bohong, terus dicap sebagai pembohong. Saya tadi melakukan itu karena saya–“ “Sudah, tidak usah diteruskan. Saya paham. Maaf kalau kamu tersinggung. Saya hanya bercanda.” Aku tersenyum. “Terima kasih sekali lagi. Malam ini, saya sudah banyak merepotkan Bapak.” “Bapak lagi. Lama-lama saya adopsi kamu jadi anak saya.” Kami tertawa. “Maaf, belum terbiasa. Biar seperti ini saja. Lagian, ini pertemuan pertama. Tidak sopan rasanya jika kaum Sudra seperti saya memanggil sebutan lain selain pak.” “Jangan merasa seperti itu. Saya tidak pernah menilai seseorang dari segi sosial, harta, atau takhta.” Andai masih sendiri, aku pasti akan jatuh hati pada pria ini. Namun, sayang kondisi dan status sudah berbeda. Meskipun Mas Aqsal tidak pernah menghargai pernikahan kami, meski dia merahasiakan kebenaran, ada simpul suci yang mengikat dan tidak bisa aku langgar seenaknya. Aku bukan Mas Aqsal yang bisa sesukanya. “Niha, kamu ngelamun?” Pertanyaan Arjuna membuatku terkesiap. “Enggak. Hanya mikir sedikit. Ya sudah, saya turun. Terima kasih. Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Dia tersenyum. Jika raut muka Mas Aqsal tegas dan tampan, pria ini lebih ke arah teduh dan manis. Ah, sadar, Niha. Dengan hati-hati, aku turun masih dengan kruk yang dipinjamkan tukang urut. Katanya, sewaktu-waktu aku bisa mengembalikan. “Ketuklah pintunya dulu. Setelah memastikan temanmu membuka, saya baru pergi.” Aku mengangguk dan berjalan menuju pintu rumah Asti. Kuketuk beberapa kali, tidak ada sahutan dan Arjuna masih belum beranjak. Arjuna, ayolah. Jangan membuat istri orang ini baper. Entah pada ketukan keberapa, pintu akhirnya terbuka. Wajah Asti tampak malas dan berantakan. “Niha! Lu?” Wanita itu tampak terkejut. “Ya ampun, kenapa sampai pake kruk gini? Kamu habis kecelakaan? Lu ke sini sama siapa?” cecarnya lagi. Aku menoleh ke belakang. Kaca mobil Arjuna masih terbuka. Dia tersenyum. Suara klakson terdengar, lantas dia berlalu setelah mengangguk sopan. “Sama orang tadi?” tanya Asti. Aku mengangguk. “Dia yang nabrak lu? Lu minta ganti rugi nggak?” “Interogasinya ntar lagi napa? Lu nggak mempersilakan gue masuk? Pegel kaki gue.” Asti tertawa. “Ya udah, masuk-masuk.” Dengan hati-hati, aku masuk. Asti kembali mengunci pintu. “Gimana pestanya? Tapi gue lihat-lihat, baju lu ganti?” “Iya, tadi gue beli di tengah jalan. Ti, gue numpang salat Isya dan tidur di sini, ya, malam ini?” “Oke, tapi lu utang penjelasan sama gue. Apa yang udah terjadi sampai lu mengenaskan gini.” “Oh, ya. Dari tadi gue telepon, lu ke mana aja?” “Gue tidur. Lu gedor-gedor tadi baru gue bangun.” Aku hanya mengangguk-angguk. Asti memang punya ART, tetapi berangkat pagi, pulang sore. Jadi, dia atau orang tuanya yang membuka pintu jika ada tamu. ** “Beb, udah, dong, jangan nangis terus. Gue ikutan sedih, nih.” Asti menenangkanku yang kini menangis di pangkuannya. Dalam kamar gadis itu, aku menceritakan semua yang kualami barusan dan menumpahkan segala sesak. “Ti, maafin gue, ya? Tiap ketemu, gue selalu mewek, selalu berkeluh kesah sama lu. Sering ngerepotin juga,” ucapku padanya. Asti tidak menyahut. Dia hanya membelai lembut lenganku. Beruntung saat ini, orang tua Asti sedang keluar kota, jadi aku bisa leluasa bercerita dan menginap di sini tanpa harus mencari alasan kenapa tidak pulang ke rumah. Sungguh, aku belum siap bertemu lagi dengan Mas Aqsal. Jika pulang, sudah dipastikan penyiksaan yang akan kuterima. “Tega bener itu suami lu. Udah bikin kaki lu terkilir, ninggalin gitu aja pula. Sumpah, Ha, rasanya gue pengen ngutuk dia jadi kebo.” Asti kembali bersuara. “Katakan, apa gue harus menyerah sekarang, Ti. Gue harus gimana?” “Ha, sejatinya pernikahan itu adalah ibadah. Ibadah dua orang untuk mengarungi biduk rumah tangga dengan segala masalah dan kebahagiaannya. Tapi di sini apa yang lo dapat dari itu semua? Neraka dunia. Gue bukan orang yang ngerti secara detail hukum agama. Yang gue tahu perceraian itu dibenci Allah, tapi jika pernikahan ini tetap diteruskan, gue yakin lu yang paling menderita. Allah membuat hukum tidak untuk memberatkan. Jika perceraian adalah jalan terbaik, tak ada salahnya diambil.” Aku makin tenggelam dalam tangis. Dari dulu hidupku selalu penuh lika-liku. Setelah Bapak dan Ibu meninggal, aku harus berjuang keras banting tulang demi sesuap nasi dan membayar utang, hingga akhirnya harus menikah dengan pria tak punya perasaan. Apakah kebahagiaan terlalu mustahil untuk kugapai? “Tapi gimana dengan mama Elena, Ti? Gue nggak tega jika harus meninggalkannya saat kondisinya seperti itu.” “Ha, sudah cukup lo bersikap terlalu baik pada mereka. Bu Elena punya anak, punya harta. Biar itu jadi urusan Aqsal,” tutur Asti. “Lu tahu sendiri, Ti. Banyak banget yang udah dikasih Mama Elena ke gue. Apa pantas gue pergi gitu aja saat beliau sakit sementara guelah penyebab beliau sakit?” tanyaku pada Asti lagi. Gadis itu diam. “Lalu lu tetap jadi wanita lemah yang tertindas? Bisa-bisa mati berdiri lu!” “Mungkin ini hukuman karena kesalahan gue ke Mama Elena. Gue akan bertahan dulu. Entah sampai kapan. Semoga beliau segera sembuh.” "Serah, serah lu. Lu itu keras kepala banget." Aku diam. “Ha, begitu banyak cobaan yang menimpa lu. Semoga lu tetap waras dan sabar. Gue bersaksi lu orang baik. Semoga kelak lu bahagia. Yang harus lu tahu, gue selalu ada untuk lu kapan pun lu butuh gue. Maaf tadi ponselnya sedang gue isi batrenya, jadi nggak tahu kalo lu telepon.” Asti berbicara sambil membingkai pipiku dengan tangannya. Aku mengangguk dan memeluk tubuhnya. Asti, dialah satu-satunya tempat bersandar paling nyaman. Entah sampai kapan tangis ini menjadi nyanyian di hidupku. Ingin menyerah, tetapi aku masih punya seseorang yang harus aku perjuangkan. “Gue pinjem charger. Mau ngisi ponsel buat telepon. Mau izin sama Aqsal kalo gue nggak pulang. Seperti apa pun sikapnya, dia tetep suami gue,” ucapku sambil bangkit dari pangkuan Asti. Saat aku mencarinya di tas, ponsel itu tidak ada. Ke mana? “Ti, ponsel gue nggak ada.” “Lah, kok, bisa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN