12. Kangen Kamu

1270 Kata
“Astagfirullah, Asti. Sepertinya ketinggalan di mobil pria tadi!” pekikku. Antara sadar dan tidak, antara ingat dan tidak, aku merasa ponsel belum aku cabut. “Pria tadi kayaknya tampan, Ha. Hayo, siapa tahu dia jodoh lu selanjutnya.” Aku memukul pelan lengan Asti. “Sembarangan kalo ngomong.” “Kenalin, dong, pan kapan. Siapa tahu dia cocok sama gue kalo lu nggak mau.” “Eling, Ti. Katanya lu udah punya cowok? Cowok lu, tuh, yang harus lu kenalin sama gue.” Ah, aku sampai lupa dengan kesedihanku gara-gara ponsel. Asti beberapa kali cerita kalau dia punya pacar. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dan berkenalan. “Jangan dulu. Tunggu sampai dia lamar gue dan kami tunangan. Takut doi naksir sama lu. Karena jujur, gue kalah tampang sama lu.” “Heh, ngomong apaan lu ini! Gini-gini gue udah nikah meski pernikahan gue nggak normal. Udah, pokoknya gue tunggu kapan lu bakal ngenalin ke gue.” “Ya. Udah nikah, tapi belum kawin. Ngenes banget sumpah nasib lu.” Kami tergelak. “Siapa namanya pria tadi?” tanya Asti. “Arjuna.” “Cocok sama tokoh pewayangan di mana nama Arjuna itu sangat tampan. Embat, Ha. Aqsal nikah lagi, lu bisa cari pacar baru. Biar skor sama.” “Enggak. Gue masih waras. Nggak kayak Mas Aqsal yang sakit jiwa yang doyan semua jenis. Cewek iya, cowok iya juga mungkin.” Asti terbahak-bahak. Seperti inilah saat aku bersama Asti. Awalnya membahas hal apa, lama-lama menjadi bahasan lain dan random. Inilah yang membuatku nyaman bersahabat dengannya. “Ya udah, kita tidur. Udah malem.” Aku mengangguk. Kami merebahkan diri bersisian. “Ti, gue besok mau ngapel. Udah lama gue nggak ngunjungi dia. Kangen.” “Oke. Perlu dianter?” Aku menggeleng. Besok akan menjadi hari bahagia. Aku akan bertemu dengan seseorang yang paling kusayang. ** Ini hari Minggu. Sesuai keinginan, aku akan pergi. Ponselku entah ke mana belum ketemu. Ingin menghubungi Mas Aqsal atau telepon rumah, tetapi aku tidak hafal nomornya. Alhasil, sejak kemarin aku tidak tahu perkembangan rumah. Pagi-pagi sekali, aku diantar Asti mengambil sepeda motor di salon yang kemarin aku datangi. Sepeda motor aku titipkan di rumah Asti. Jika biasanya aku mengendarai sepeda motor atau bus, kali ini aku lebih memilih menggunakan jasa travel agar lebih mudah karena aku tidak ada ponsel untuk memesan ini-itu jika naik kendaraan lain. Karena tak mungkin memakai baju bekas pesta, aku meminjam baju Asti. Walaupun dia bukan gadis berhijab, tetapi dia mempunyai beberapa gamis yang jarang digunakan. Sepeda motor sudah aman, aku pun langsung bertolak menuju Bandung. Perjalanan yang lumayan melelahkan. Butuh waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai di tempat tersebut. Dalam mobil, aku lebih banyak tidur karena semalam bisa dibilang kurang tidur. Di Bandung, aku mengunjungi Nizam, adikku. Dialah alasan kedua aku tetap bertahan di tengah gempuran sikap Mas Aqsal yang makin menjadi-jadi. Nizam bersekolah di pesantren modern sekaligus menghafal Al-Qur’an. Dia mondok sejak baru lulus SD. Untuk itulah, aku bekerja keras bagai kuda demi membiayai sekolah dan pondoknya yang tidaklah murah. Adikku itu mempunyai kecerdasan dan daya ingat luar biasa. Keinginan menjadi tahfidz juga datang dari dirinya sendiri. Sebagai satu-satunya keluarga yang dimilikinya, aku jelas mendukung sepenuh hati. Kucarikan dia sekolah dan pesantren terbaik. Kurang beberapa bulan lagi, Nizam lulus Madrasah Aliyah. Sementara hafalannya belum sempurna 30 juz. Selama itu pula, aku masih membutuhkan banyak uang dan itu kudapat dari gaji di konfeksi Mama Elena. Sementara uang nafkah dari Mas Aqsal, belum pernah aku sentuh. Pria itu memberikanku satu kartu ATM yang katanya selalu ditransfer uang. Namun, aku tidak pernah melihat atau mengambilnya. Gajiku masih cukup untuk Nizam. Aku tidak mau kalau suatu saat uang itu akan diungkitnya. Meskipun mendapat beasiswa karena kepintarannya, tetap saja Nizam butuh uang banyak untuk keperluan lain-lain. Setelah Nizam lulus, baru aku berencana kabur dari Mas Aqsal dan pernikahan sampah ini. Aku tersenyum senang ketika sudah sampai. Gerbang pesantren bertuliskan ‘Pondok Pesantren Modern dan Tahfiz Insan Qur’any’ menyambut. Aku turun dengan tertatih. Kruk masih menjadi penopang tubuhku. “Pak, tunggu sampai selesai, ya? Kalau Bapak butuh istirahat atau mencari makan, silakan. Mungkin sore kita baru kembali," ucapku pada sopir. “Siap, Mbak.” Setelah beberapa meter berjalan, aku menemui pengurus dan sempat sowan kepada kiai dan bu nyai. Aku masih harus menunggu untuk beberapa saat di aula tunggu. Di hari libur seperti ini, banyak sekali wali santri yang datang mengunjungi anak atau saudara mereka. “Assalamualaikum, Mbak,” sapa Nizam saat berada di depanku. Dia mengambil tanganku, lantas menciumnya takzim. “Waalaikumussalam. Zam, apa kabar, Sayang?” tanyaku. Kuraba setiap inci wajahnya. Wajah yang membuatku bisa bertahan sampai sejauh ini. Dialah sumber kekuatanku. Nizam tersenyum. “Alhamdulillah baik. Mbak bagaimana?” Aku mengangguk. Kutenggelamkan wajahku di dadanya. Tangis ini pun pecah. Aku tak peduli ramainya tempat di mana kini sedang berada. “Mbak kangen, Zam.” Nizam mengelus bahuku. “Aku juga, Mbak.” Suaranya terdengar bergetar. “Mbak kenapa nangis? Bagaimana keadaan Mbak? Ada yang sakit? Kenapa ada kruk? Bagaimana pria itu? Apa masih menyakiti Mbak? Apa sakit ini juga dia penyebabnya?” cecarnya. Aku menggeleng. Bingung harus menjawab apa. Dulu, aku tidak pernah bilang kepada Nizam kalau Mas Aqsal itu kasar. Sampai pada suatu hari, Mas Aqsal ketahuan sedang menamparku saat Nizam berkunjung ketika libur sekolah. Nizam kalap. Dia dan Mas Aqsal nyaris adu jotos, tetapi aku berhasil menenangkannya. Sehalus mungkin, aku terus meyakinkan kalau aku baik-baik saja bersama Mas Aqsal meskipun kenyataannya menderita. Dalam tubuh remaja kelas tiga MA ini, aku terus menangis. Tubuhku dibalas dengan didekapnya erat. Wahai air mata, tak bisakah berhenti sejenak merembes? “Mbak rindu sangat sama kamu.” Pelukannya, merupakan charger berdaya kuat untuk kekuatan hidupku. Entah Nizam malu atau tidak dengan posisi seperti ini. Hampir dua bulan aku tak bertemu dengannya. Biasanya, sebulan sekali aku ke sini. Berhubung akhir-akhir ini kesibukan di konfeksi tak bisa ditinggal, baru kali ini aku mengunjunginya. Setelah beberapa saat, aku mengurai pelukan. “Kita makan bareng,” ajakku. “Mbak belum menjawab pertanyaanku. Kaki Mbak kenapa sampai diperban dan pake kruk? Apa ini ulah pria itu?” “Bukan. Ini cuma terkilir biasa. Sudah diurut kemarin, tinggal pemulihan. Belum Mbak lepas biar nata dulu urat-uratnya,” ucapku sambil mengelus kaki yang sakit. “Mbak Niha jangan bohong!” “Enggak, Sayang. Mbak nggak bohong. Ya udah, ayo makan.” Tatapannya masih menyorotku tajam. Saat di jalan tadi, aku sengaja mampir ke sebuah kedai untuk membeli udang asam manis kesukaan Nizam. Sementara aku yang alergi makanan itu, membeli gurami bakar. Kami mencari tempat untuk makan. Nizam menggandeng tanganku dan kami berhenti di sebuah bangku panjang, di bawah pohon mangga. Di sana, kami duduk. Tempatnya juga cenderung sepi. Aku menata makanan. Nizam mengambil makananku yang berada di tangan. Aku mengerutkan kening ke arahnya. “Mbak harus banyak makan. Aku lihat tiap ke sini tubuh Mbak makin kurus. Sini aku suapi,” ucapnya sambil menyuapkan sesendok padaku. Anak ini, dewasa dengan sendirinya karena tekanan dan keadaan. Aku pun membuka mulut, menerima suapannya. Sesekali dia memakan makanannya sendiri. Bibirku tersenyum, tetapi pipi ini selalu basah. “Kenapa nangis?” Aku menggeleng. “Kamu harus belajar yang rajin. Berjanjilah sama Mbak.” Nizam tersenyum sembari mengangguk. “Assalamualaikum.” Sebuah suara menginterupsi keromantisan kami. Aku menoleh, terlihat seorang berdiri dengan senyuman ke arah kami. Cepat-cepat aku mengusap air mata. “Waalaikumussalam, Ustaz,” jawab Nizam sambil berjalan ke arahnya, mencium takzim tangan pria itu. “Siapa namamu? Kamu tahu, kan, apa konsekuensi telah melanggar peraturan?” Pria itu kembali bertanya penuh penekanan. “Saya Nizam, Ustaz. Melanggar maksud Ustaz?” “Ikut saya! Kamu harus ditakzir sekarang juga! Kamu harus digundul!” Apa-apaan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN