BAB 7-8

1123 Kata
BAB 7 Setelah semua masakannya matang, Widia menata makanan itu di atas meja makan sambil menunggu Dokter Ardian turun. Tidak berapa lama kemudian Dokter Ardian menuruni anak tangga sambil mengancingkan lengan kemejanya. Hari ini ia akan mulai bekerja seperti biasa. Di rumah sakit sudah banyak pasien yang menunggunya. Widia yang melihat Dokter Ardian menuruni anak tangga, dengan segera ia membenahi pakaian dan merapikan rambutnya. Kemudian ia menyambut Dokter Ardian di anak tangga terakhir. “Selamat pagi, Kak …,” sapa Widia dengan tersenyum riang. “Pagi,” balas Dokter Ardian singkat seraya melewati Widia dan berjalan menuju meja makan. Widia pun cemberut lalu mengikuti Dokter Ardian menuju meja makan. “Aku sudah memasak semua ini untuk Kak Ardian loh. Biar aku ambilkan, ya,” tutur Widia menawarkan diri seraya mengambil piring yang ada di depan Dokter Ardian. Ia ingin menggantikan pekerjaan Nadia mengurus Dokter Ardian saat ini. “Terima kasih, tapi aku bisa mengambilnya sendiri. Mulai besok tidak usah repot-repot memasak untukku. Di rumah ini sudah ada Bik Yati yang memasak,” ujar Dokter Ardian seraya mengambil piring dari tangan Widia lalu menyendok makanan yang ada di atas meja makan sendiri. “Tolong panggilkan Citra. Dia juga harus sarapan sekarang,” imbuh Dokter Ardian. “Citra siapa?” tanya Widia dengan mengernyitkan dahinya. “Pengasuh anakku. Kemarin kamu sudah bertemu dengannya,” jawab Dokter Ardian lalu memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Widia pun cemberut dan memutar bola matanya dengan malas. Namun, ia tetap melangkahkan kakinya pergi naik ke lantai dua untuk memanggil Citra. Sesampainya di depan pintu kamar Citra, Widia langsung membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ketika pintu itu terbuka, Widia tidak melihat sosok Citra di dalam kamar itu. Ia pun masuk tanpa permisi untuk melihat isi kamar itu. Tidak berapa lama kemudian, Citra masuk ke dalam kamar. Ia baru saja dari balkon kamar untuk menjemur si kecil supaya tidak ikterus (kuning). “Kenapa Mbak masuk ke dalam kamar saya?” tanya Citra ketika melihat Widia sudah berada di dalam kamarnya. Widia pun menoleh ke arah Citra dengan melipat kedua tangan di depan dadanya. “Tuh, disuruh Kak Ardian sarapan di bawah. Kalau bukan Kak Ardian yang nyuruh, aku nggak akan masuk ke kamar ini!” jawab Widia ketus lalu pergi keluar dari dalam kamar Citra. Ia buru-buru pergi ke meja makan supaya bisa sarapan bersama Dokter Ardian. Citra pun membawa bayi Dokter Ardian turun ke lantai bawah untuk sarapan. Kebetulan perutnya memang sudah sangat lapar. Setelah salat subuh tadi, ia sudah repot memandikan bayi Dokter Ardian, mengganti pakaiannya, dan membuatkan s**u. Setelah agak siang, ia menjemur bayi itu di balkon kamarnya. Sesampainya Widia di meja makan, Dokter Ardian sudah selesai menghabiskan sarapannya. Widia pun semakin kesal karena tidak bisa mendapatkan perhatian Dokter Ardian. Citra yang baru sampai di meja makan merasa canggung. Ia tidak biasa makan di meja makan seperti ini. Apalagi bersama Dokter Ardian dan Widia yang baru saja ia kenal. “Sini bayinya biar saya yang gendong. Kamu makan saja dulu,” ujar Dokter Ardian seraya mengambil alih bayinya dari tangan Citra. Kemudian ia membawa bayi itu ke taman belakang rumah untuk bersantai sejenak sebelum berangkat bekerja. Citra pun duduk di meja makan dan segera mengambil makanan yang ada di atas meja. Widia memperhatikan Citra dengan tatapan tidak suka. *** BAB 8 Setelah menghabiskan sarapannya, Widia buru-buru mencari Dokter Ardian. Ia sudah tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Citra di meja makan. Ia merasa kehadiran Citra sangat mengancam posisinya yang ingin menggantikan Kakaknya menjadi istri Dokter Ardian. Namun, ia harus bersabar. Tanah kuburan Kakaknya masih belum kering. Tidak mungkin ia membicarakan pernikahan di saat semua orang masih berduka. Citra baru saja menghabiskan makanannya. Ia bingung harus mencari Dokter Ardian ke mana. Ia baru sampai di rumah ini kemarin dan belum sempat berjalan-jalan untuk mengetahui denah tata letak rumah ini. Ia pun pergi ke dapur untuk menanyakannya pada Bik Yati. Kebetulan Bik Yati sedang mencuci piring. “Bik, di mana Dokter Ardian?” tanya Citra pada Bik Yati. Bik Yati pun menoleh dan tersenyum pada Citra. “Ada di taman belakang, Mbak,” jawab Bik Yati. “Oh iya. Terima kasih, Bik,” balas Citra lalu mencari pintu yang menuju ke taman belakang. Ketika Citra sudah menemukan pintu itu, ia mendengar suara Dokter Ardian hendak masuk ke dalam rumah. “Aku harus berangkat kerja sekarang. Jika kamu tidak pulang, bantulah Citra menjaga bayi ini,” ujar Dokter Ardian pada Widia seraya masuk ke dalam rumah. Widia pun mengikuti Dokter Ardian. Ketika Dokter Ardian berpapasan dengan Citra, ia memberikan bayinya pada Citra. “Jika ada apa-apa, kamu bisa telepon aku,” pesan Dokter Ardian sebelum pergi. “Baik, Dok,” balas Citra dengan menganggukkan kepalanya. Widia pun mencebikkan bibirnya karena Dokter Ardian cuek padanya. Ia semakin tidak suka pada Citra. Ketika Dokter Ardian keluar rumah menuju mobilnya, Widia mengikutinya hingga sampai ke halaman rumah. “Hati-hati di jalan, Kak …,” pesan Widia dengan tersenyum dan melambaikan tangan pada Dokter Ardian. “Hm,” balas Dokter Ardian lalu melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahnya. Sementara itu, Citra di dalam kamarnya sedang menidurkan bayi Dokter Ardian. Kebanyakan bayi memang akan tidur di pagi dan siang hari karena mereka terjaga di malam hari. Ketika bayi itu sudah tertidur, Citra pergi ke balkon untuk menelepon Ibunya. “Assalamu’alaikum, Buk …,” sapa Citra ketika terdengar telepon sudah tersambung. “Wa’alaikum salam, Nak. Gimana kabar kamu?” tanya Bu Ratna, Ibunya Citra. “Alhamdulillah baik, Buk. Ibu sendiri bagaimana?” tanya Citra. “Alhamdulillah baik juga, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan Ibu. Ibu akan baik-baik saja di sini,” balas Bu Ratna. “Buk, Citra sekarang tidak bekerja di rumah sakit lagi, tapi menjadi pengasuh bayi di rumah seorang dokter,” ucap Citra tiba-tiba. “Iya, nggak apa-apa, Nak. Yang penting kamu merasa nyaman,” balas Bu Ratna. “Iya, Buk. Alhamdulillah, dokternya baik,” tutur Citra senang. “Syukurlah kalau begitu, Nak,” tukas Bu Ratna merasa lega. Sementara itu, Widia sedang menonton televisi di ruang tengah. Ia menggonta-ganti channel televisi tanpa tujuan karena bosan. Sebentar-sebentar ia melihat jam di layar ponselnya. Ia berharap waktu segera berlalu dan Dokter Ardian segera pulang. “Hah! Membosankan!” keluh Widia lalu merebahkan diri di atas sofa. “Pergi ke mal dulu aja deh, dari pada bantuin tuh pengasuh mengurus bayi. Nanti siang baru balik biar dikira aku mengasuh tuh bayi. Ide bagus!” gumam Widia seraya menjentikkan jemarinya. Kemudian ia bangkit dari rebahannya dan pergi dari rumah Dokter Ardian. Tanpa semua orang tahu, di rumah Dokter Ardian terpasang kamera CCTV di setiap sudut rumahnya. Dokter Ardian sengaja memasang kamera CCTV karena ia sering pergi bekerja dan meninggalkan istrinya di rumah seorang diri. Ia takut terjadi apa-apa pada istrinya, sehingga ia mengawasi rumahnya dengan kamera CCTV.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN